Kamis, 26 Agustus 2010

MANAJEMEN KURIKULUM UNTUK MENGEMBANGKAN AFEKTIF MURID

Oleh :
Jejen Musfah*


Abstrak: Educational process at school only concerns to developing students cognitive and psychomotor, and neglectful to developing their attitude. The fact of students shows us bad attitude as smoking, free sex, engage in a gang fight, and using narcotics. Then, school must design curriculum which preserves students from bad attitudes. Curriculum meaning is not just the subjects. Curriculum involves all of students experiences with all school staffs and facilities that prepared seriously and planned well, to achieve education purposes. From this reason we understand that the developing of students attitudes is not only responsibility of religion and citizenship teachers, but duties of all teachers and staffs.

Kata Kunci: kurikulum, afektif, sekolah, guru, masyarakat.


Latar Belakang Masalah

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 Poin 1 dijelaskan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Berkenaan dengan pengembangan akhlak dalam pendidikan, Miller dan Seller (1985: 47) menjelaskan bahwa, “Education should teach children to restrain and control themselves.”

Dua tujuan pendidikan di atas mengandung aspek kematangan karakter dan atau kepribadian dan moral. Namun sekolah belum berhasil mengembangkan murid menjadi manusia yang bermoral. Moral murid sangat rendah. Murid masih sering melakukan tawuran/kekerasan, seks bebas, membolos, tidak mengerjakan PR, dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa tujuan kurikulum/pendidikan belum sepenuhnya tercapai, yaitu perubahan kognitif, afektif, dan psikomotor murid.
Sekolah didirikan untuk mencerdaskan dan mengembangkan afektif dan moral murid. Karena itu, masyarakat menaruh harapan pada sekolah untuk membina murid menuju kematangan intelektual, emosional, dan spiritual. Emile Durkheim, sosiolog asal Prancis, menyatakan bahwa, “the school must be the guardians par excellence of our national character,”; the school must “train the child in terms of the demands of society” (Miller dan Seller, 1985: 46).

Sudah saatnya kepala sekolah mengevaluasi visi, misi, kurikulum, kinerja guru, dan staff sekolah. Di atas kertas mungkin sistem pendidikan sudah terlihat baik, namun dalam pelaksanaannya bisa jadi menyimpang, karena kendala internal maupun eksternal, finansial maupun non-finansial.

Seperti apa mutu lulusan pendidikan tergambar dalam kurikulum sekolah, yang—salah satunya—diturunkan dalam bentuk mata pelajaran. Pengembangan aspek moril murid secara khusus diamanahkan pada guru Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, namun setiap guru mata pelajaran harus bisa memberikan aspek nilai dalam proses pembelajarannya. Karena pada dasarnya setiap guru adalah pendidik. Henson (1995: 89) menulis, “Teachers cannot avoid teaching ethics. Teachers must be concerned with ethics is that, in any society, education serves to help initiate its young into its culture, and certainly moral beliefs are a large part of any culture.” Dan Michiyo Kawaguci menegaskan, “Tujuan pendidikan di Jepang adalah untuk menyempurnakan manusia, sehingga yang diutamakan adalah pendidikan moral, meskipun pengetahuan juga sangat penting.”

Diakui bahwa tidak mudah mengubah perilaku (attitude) dan karakter (character) murid. Karena itu, masyakat sekolah (school community): guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan harus bekerjasama menciptakan budaya sekolah yang baik. Melalui pemanfaatan sumber belajar, sarana dan prasarana sekolah, upaya tersebut mungkin bisa terwujud. Diharapkan murid memperoleh pengalaman—di sekolah—yang mengembangkan karakter positifnya.

Kajian Teori

Jean Jacques Rousseau (1712-1778) percaya bahwa anak lahir baik, akan tetapi rusak dalam tangan manusia. Karena anak manusia pada dasarnya baik sewaktu dilahirkan, maka anak harus diberi kebebasan untuk berkembang secara wajar, menurut alam kodratnya (naturalism), tanpa dikorupsi oleh orang dewasa atau masyarakat. Ia juga tidak diberikan pendidikan agama, karena apakah yang baik dan benar akan ditemukannya sendiri berkat pengalamannya.
Pandangan Rouseau tentang pendidikan agama tidak dianut oleh kebijakan kurikulum pendidikan kita. Pendidikan agama diberikan dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Seseorang bertindak berdasarkan apa yang diketahuinya/pengetahuannya.
Peck dan Havighurst (Cronbach, 1954: 578-587) mendasarkan teorinya atas pandangan psiko-sosial mengenai motivasi moral manusia. Mereka mendapatkan lima tipe kepribadian yang berbeda-beda, yakni tipe:
  1. Amoral (anak itu ego-sentris, fokusnya pada dirinya sendiri).
  2. Expedient (ia patuh, belum ada sistem moral internal).
  3. Conformist (ia menyesuaikan diri, takut akan ditolak dan tak diterima, ia menerima sistem moral dalam kelompok sosialnya).
  4. Irrational conscientious (ia mempunyai sistem moral yang tak fleksibel dalam penerapannya, ia berpegang dengan ketat pada kode moralnya dan tak rela menyimpang sedikitpun orang lain).
  5. Rational altruistic (ia mengembangkan sistem moral yang tinggi sehingga rela berkorban bagi kepentingan orang lain).

Pembahasan

Tulisan ini akan mengkaji manajemen kurikulum di sekolah yang meliputi input, proses, instrumental input dan environmental input dalam rangka mengembangkan afektif murid. (dengan tidak bermaksud mengabaikan pentingnya aspek kognitif dan psikomotorik) Ronald C. Doll (1974: 22) menyatakan, “The commonly accepted definition of the curriculum has changed from content of course of study and list of subjects and courses to all the experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school…” Dalam tulisan ini pemahaman kurikulum bukan hanya setiap materi yang disampaikan guru di kelas/ mata pelajaran, tapi meliputi segala ucapan dan tindakan guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan. Semua yang disebut tadi memiliki pengaruhnya masing-masing bagi perkembangan aspek afektif murid.

Beberapa Pengertian

Manajemen umumnya diartikan sebagai proses perencanaan, mengorganisir, pengarahan, dan pengawasan. Usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Inti dari manajemen adalah pengaturan.

Sama dengan Doll, Eisner (2002: 26) menjelaskan makna kurikulum, yaitu “all of the experience the child has under the aegis of the school.” Ia juga menjelaskan bahwa, “the curriculum of a school, or a course, or a classroom can be conceived of as a series of planned events that are intended to have educational consequences for one or more students.” Afektif meliputi perasaan, sikap, dan emosi. Thus, diharapkan anak berubah agar berkelakuan sesuai dengan keinginan masyarakat dan pencipta-Nya.

Input: Guru, Siswa, dan Staf Administrasi

Guru. Seorang guru harus memiliki moral yang tinggi di samping kompetensi pedagogis. Guru yang berakhlak lebih mudah menyampaikan pelajaran dan pendidikan. Moral peserta didik tergantung pada moral gurunya, sebab mereka akan belajar dari apa yang ia lihat dan dengar dari gurunya. Maka guru harus senantiasa berusaha menjadi manusia baik, terutama pada saat berada di lingkungan pendidikan, khususnya saat mengajar di kelas.

Hal tersebut memang tidak mudah bagi guru, karena mereka terlahir membawa karakter masing-masing—yang biasanya sulit diubah. Pendidikan dan pengalaman kadang belum bisa mengubah karakter seseorang secara tuntas ke arah yang ideal. Karena itu, guru harus selalu berlatih dan belajar mengendalikan emosi agar bisa memberikan hal-hal yang baik bagi para siswanya.

Siswa. Sekolah hendaknya tidak menentukan syarat nilai raport dan NEM yang tinggi bagi calon siswanya—sebagaimana diterapkan beberapa sekolah, sebab tugas sekolah memperbaiki dan mengembangkan potensi-potensi manusia, yang lemah maupun yang kuat. Setiap peserta didik memiliki potensi, keunikan, dan membawa kecerdasannya masing-masing.
Setiap anak pada dasarnya baik. Kebaikan itu akan tumbuh baik dalam lingkungan yang baik. Sebaliknya lingkungan yang buruk akan meredupkan sinar kebaikan dalam diri anak-anak. Sekolah harus menjadi tempat bagi berseminya potensi baik anak-anak, melalui transfer ilmu, keterampilan, dan teladan, sehingga anak-anak mengenal baik dan buruk, serta keindahan dalam kehidupannya.

Henderson (1960: 114) menulis, “We can find the basis for morality in our own natures, in the conduct necessary to realize our best potentialities and the kind of society in which man could live as man.” Peserta didik pada dasarnya mengetahui nilai-nilai moral, tugas pendidik menguatkan dan membimbing mereka agar cenderung pada kebaikan, menghindari dan mencegah keburukan. Singkatnya, sekolah harus lebih percaya pada proses pendidikan daripada masukan pendidikan.

Staf Administrasi. Staf administrasi memberikan pelayanan kepada civitas sekolah sebaik-baiknya: ramah, tersenyum, efektif, cepat, menggunakan bahasa yang sopan dan baik, dan melayani dengan sepenuh hati. Murid belajar dari sikap dan cara yang dilakukan oleh mereka. Spirit kerja mereka adalah mendukung terciptanya masyarakat sekolah yang berakhlak dan disiplin, yang menunjukkan budaya mutu tinggi.

Sebagai bangsa, Indonesia memiliki modal budaya yang sangat relevan dengan sikap-sikap tersebut. Dalam lingkungan dan pikiran serta bahkan darah bangsa ini telah hadir dan mengalir sifat-sifat dan perilaku yang bermutu dan sangat baik. Maka sepantasnyalah lembaga pendidikan/sekolah di negeri ini memiliki budaya pelayanan yang baik dan bermutu, sehingga siapa pun yang berhadapan dengan persoalan administratif akan merasakan kenyamanan dan kepuasan.

Instrumental Input: Kebijakan, Pimpinan, Sarana dan Prasarana

Kebijakan. Sekolah memiliki kebijakan bahwa pimpinan, guru, dan tenaga kependidikan harus bersikap disiplin dan terpuji, sesuai tata tertib sekolah khususnya dan umumnya norma sosial dan agama, sehingga peserta didik memperoleh teladan baik dan menerapkannya dalam kehidupan di masyarakat.

Ada imbalan bagi mereka yang disiplin dan hukuman bagi mereka yang melanggar tata tertib sekolah, yang berlaku bagi peserta didik, pimpinan, guru, dan staff.

Pimpinan. Kepala sekolah dan para pejabat lainnya di sekolah adalah figur teladan bagi bawahan dan peserta didik. Mereka idealnya memiliki jiwa kepemimpinan yang tegas, rendah hati, membimbing, ramah, dan melindungi. Karena ucapan dan tindakan pemimpin sangat berpengaruh bagi orang-orang di sekitarnya. Karena itu, ia harus senantiasa baik dalam tutur kata dan perilaku.

Pemimpin harus menjadi guru bagi stafnya. Professor Noel Tichy dari University of Michigan, Barth, dan Benfari, sama-sama pada kesimpulan bahwa teaching is the most important job of every leader (Reeves, 2002: 59-60). Pemimpin bisa memberi pengetahuan dan keterampilan pada stafnya, dan kadang mampu menjadi pendengar yang baik, serta bersedia menerima masukan dari stafnya.

Kouzes dan Posner bertanya pada para staf tentang bagaimana mereka mengetahui bahwa seorang pemimpin dapat dipercaya. Semua sepakat bahwa, seorang pemimpin dapat dipercaya jika, “They do what they say they will do" (Hesselbein, 1996: 107).

Sarana dan Prasarana. Masjid, toilet, ruang kelas, dan lingkungan sekolah harus selalu bersih dan nyaman. Kondisi tersebut dapat menumbuhkan nilai-nilai positif pada diri murid, karena antara teori dan praktik mereka rasakan sejalan. Di sini pentingnya kesadaran dari pegawai kebersihan, bahwa pekerjaan mereka amat vital. Meskipun demikian, semua masyarakat sekolah berkewajiban menjaga kebersihan lingkungan sekolah dengan menjalankan hidup disiplin dan bersih. Sekolah dipandang baik—salah satunya—dari kondisi kebersihan toilet dan lingkungannya. Sudah saatnya setiap sekolah memiliki tempat cuci tangan yang disediakan di tempat yang mudah dijangkau seluruh pegawai dan peserta didik, misalnya.

Sekadar contoh, sebagai muslim kita sering mendengar guru berkata bahwa “kebersihan itu sebagian dari iman”, namun apakah kondisi toilet, tempat wudu, mushala/ masjid, ruang belajar, dan sekolah kita sudah mencerminkan kalimat tersebut. Jujur, mayoritas sekolah dan PT kita belum memerhatikan dengan serius persoalan ini. Mungkin dalam rapat-rapat sudah dibahas dengan baik, namun pada tahap implementasi semua pihak tidak ada yang peduli.

Biaya. Idealnya sekolah memiliki biaya yang besar, agar mampu menggaji para pegawainya di atas UMR, memberikan THR, dan bonus-bonus lainnya yang dianggap perlu. Tujuannya adalah kesejahteraan, agar setiap pegawai mampu menjalankan perannya masing-masing dengan maksimal sesuai standar kerja yang telah disepakati. Pegawai sejahtera, lingkungan sekolah yang bersih dan nyaman, sarana dan prasarana yang memadai, didukung oleh para pegawai yang disiplin dan berbudi luhur, merupakan modal besar bagi tumbuhnya nilai-nilai positif dan moral para peserta didik. Tenu saja, semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, sekolah harus memiliki sejumlah metode untuk mengumpulkan dana, selain dari orang tua siswa. Misalnya, memiliki kantin, koperasi, dan kerjasama dengan masyarakat atau golongan mampu dan industri yang ada di lingkungannya.

Mengenai biaya, menarik uraian Henderson (1960: 375) berikut ini, “Teaching needs more man of a high caliber. Improved salaries and greater prestige in the eyes of the public are greatly needed as incentives”; Ia melanjutkan, “A school need not be a palace. Money had better be spent on salaries for able teachers than on luxuries and elaborate buildings.” Inilah yang kerap luput dari perhatikan pemilik sekolah dan pemerintah. Uang memang bukan segalanya, tapi tanpa uang (kesejahteraan), guru, kepala sekolah dan karyawan sangat sulit bekerja secara maksimal dan penuh dedikasi, serta produktif. Seseorang sulit bekerja produktif dan maksimal jika upah pekerjaannya tidak menjamin kebutuhan hidupnya.

Enviromental Input: Iklim Akademik, Keluarga, Masyarakat, Lembaga Terkait

Iklim akademik. Anak-anak sangat membutuhkan suasana akademik. Belajar sepanjang hayat (lifelong education), any time, any where, baik di sekolah, rumah, maupun di masyarakat tempat mereka bergaul. Dengan demikian ia sadar betul pentingnya belajar bagi hidupnya di masa sekarang dan mendatang. Di sekolah anak bertemu dengan perpustakaan, di rumah mereka terdapat perpustakaan, juga di masyarakat mereka melihat suasana belajar. Pertanyaannya, apakah setiap rumah sudah memiliki perpustakaan pribadi (private library)? Bruner (1973: 52) menulis, “For the limits of growth depend on how a culture assist the individual to use such intellectual potential as he may posses.”

Keluarga. Peran sekolah sebagai tempat menanamkan nilai-nilai baik dengan beragam metodenya tidak bisa dipisahkan dari peran keluarga sebagai tempat orang tua mendidik anaknya. Bahkan pengaruh lingkungan keluarga sangat besar bagi terbentuknya karakteristik dan attitude peserta didik. Setiap orang tua harus menyadari bahwa anak-anak membutuhkan kasih sayang, teladan baik, dan rasa aman, sehingga mereka merasa nyaman dan senang di rumahnya sendiri, sehingga tidak mencari tempat lain sebagai tempat menghibur dan menyenangkan hatinya.

Dalam kehidupan keluarga, dalam menanamkan pendidikan kepada anak-anak para orang tua harus dapat memberikan contoh yang baik, agar mulai sejak anak-anak mereka dapat menyerap akhlak yang baik.

Masyarakat. Tempat di mana anak bermain bersama anak-anak seusianya. Setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda-beda, dan akan berpengaruh terhadap attitude anak-anak. Orang tua harus bisa memilih lokasi rumah yang baik bagi pertumbuhan mental anak-anak, di samping faktor keamanan. Sebagaimana diketahui, suatu masyarakat bisa dinilai sebagai agamis, penuh kekeluargaan, toleransi tinggi, individualis, penuh gotong royong, dan seterusnya.

Lembaga terkait. Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), remaja masjid, dan karang taruna, merupakan lembaga yang berpotensi bagi pengembangan nilai-nilai positif dan perilaku anak, yaitu melalui kegiatan hari-hari besar keagamaan semacam: halal bihalal, isra miraj, maulid Nabi, nuzulul Quran, dan lain sebagainya.

Proses

1. Manajemen Pendidikan

Peran kepala sekolah dalam manajemen pendidikan sangat vital, yakni bagaimana SDM, sarana dan prasarana, dan biaya yang dimiliki direncanakan, diorganisir, dan dipraktikkan di sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Kepala sekolah juga mengontrol sejauhmana praktik di lapangan, sesuaikah antara visi dan misi dengan fakta di lapangan. Kontrol meliputi pegawai administrasi, kebersihan lingkungan, proses KBM, dan seterusnya.

Mengenai peran pemimpin tersebut menarik apa yang ditulis Sallis berkaitan dengan konsep TQM (1993: 86) “Leadership is the essential ingredient in TQM. leaders must have the vision and able to translate it into clear policies and specific goals.” Seorang pemimpin harus memiliki visi dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam program-program kerja yang jelas dan terukur.

2. Program

Kurikulum. Guru bisa membentuk dan mengembangkan kurikulum sesuai kondisi sekolah, karakteristik peserta didik, dan kebutuhan lingkungan masing-masing. Hal ini sesuai dengan semangat MBS, KTSP, dan desentralisasi pendidikan.

Para pengembang kurikulum harus memerhatikan aspek moral, sebagaimana ditegaskan John D. McNeil (1977: 213-4) “People are becoming increasingly aware that without a moral base, no governmental, technological, or material approach to these issues will suffice. Hence, curriculum developers, too, are animated by an undercurrent of moral concern.”

Isi kurikulum mencakup pembinaan aspek afektif (nilai dan moral), yang terdapat dalam setiap bidang studi, baik tertulis maupun tak tertulis (hidden), tentu saja dengan tidak mengabaikan aspek kognitif dan psikomotorik. Setiap bidang studi menguatkan aspek afektif, yang sejatinya terdapat dalam bidang studi pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Ada korelasi positif antara semua bidang studi untuk tercapainya pembinaan afektif peserta didik, sehingga anak memiliki kecerdasan emosional dan spiritual.

Menurut Kohlberg, “Wanted to see people advance to the highest possible stage of moral thought. The best possible society would contain individuals who not only understand the need for social order, but can entertain visions of universal principles, such as justice and liberty” (Crain, 2000: 165).

Pembelajaran. Proses pendidikan ditujukan untuk penguasaan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka pengembangan peserta didik. Hal tersebut diterapkan dalam proses belajar mengajar di kelas. Semua guru bidang studi menekankan aspek afektif dalam pembelajaran. Guru menunjukan keterkaitan materi dengan moral dan nilai. Misalnya guru memulai KBM dengan basmalah dan mengakhiri dengan hamdalah. Bisa juga membacakan ayat tertentu pada awal atau akhir KBM. Ayat tersebut berkaitan dengan materi yang akan diajarkan oleh setiap guru bidang studi.

Setiap siswa bisa belajar nilai dari berbagai mata pelajaran, baik mata pelajaran humaniora, ilmu pengetahuan sosial, maupun ilmu pengetahuan alam. Caranya, guru membimbing siswa mencari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pelajaran.

Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara sekuler senantiasa mengajarkan nilai dalam setiap mata pelajaran, apalagi Indonesia sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai religius, maka sewajarnya guru selalu memberikan makna dan nilai dalam setiap mata pelajaran.

Dengan memaknai setiap mata pelajaran yang diberikan, maka dengan sendirinya kita mengajarkan bahwa setiap sesuatu bukanlah value free. Semua hal itu, termasuk ilmu pengetahuan selalu memiliki muatan nilai. Dengan demikian, guru secara otomatis mengajarkan nilai-nilai penting tentang kehidupan, tanpa harus mengajarkan nilai secara khusus.

Dalam KBM setiap guru bertindak sebagai pendidik. Bertutur dan bertindak selalu yang baik. Guru tidak menghukum secara fisik, tapi dengan teguran dan nasihat; sesekali memberi hadiah bagi siswa yang berprestasi. Kita diingatkan oleh Brumbaugh dan Lawrence (h. 114) bahwa “If we wish to establish morality, we must abolish punishment,”

Di kelas guru memahami bahwa semua peserta didik sama, sehingga tidak cenderung pada anak-anak tertentu. Perilaku guru di kelas sangat penting dan berpengaruh bagi peserta didik, apalagi berkaitan dengan pendidikan moral. Ormord menulis, “Many aspects of moral thinking and moral behavior are apparently influenced by observation and modeling” (2003: 136).

Menurut Pinar (2004: 16) para peserta didik akan hidup dalam masyarakat, karena itu para guru perlu mengkomunikasikan persoalan sosial, etik, dan konsekuensi politis dari suatu perbuatan. Guru menyadari bahwa esensi pendidikan adalah menjadikan peserta didik yang bermoral dan religious, seperti kata Whitehead (1957: 26) “The essence of education is that it be religious.”

Esensi pembelajaran adalah perubahan perilaku. Guru akan mampu mengubah perilaku peserta didik jika dirinya telah menjadi manusia baik. Beberapa aspek penting pendidikan dalam teladan ditulis Ajami (2006: 131) yaitu pertama, manusia saling memengaruhi satu sama lain melalui ucapan, perbuatan, pemikiran, dan keyakinan; kedua, perbuatan lebih besar pengaruhnya dibanding ucapan; ketiga, metode teladan tidak membutuhkan penjelasan.

Umar bin Utbah berkata kepada guru anaknya: “Hal pertama yang harus Anda lakukan dalam mendidik anakku adalah memperbaiki dirimu sendiri, karena matanya melihatmu. Kebaikan baginya adalah apa yang kau lakukan, dan keburukan adalah apa yang kau tinggalkan” (Ajami, 2006: 132). Dikatakan: carilah guru yang baik agamanya untuk mengajar anakmu, karena agama anak tergantung pada agama gurunya. Dalam syair Arab disebutkan, “Perbuatan satu orang di hadapan seribu orang lebih baik dibanding perkataan seribu orang di hadapan satu orang (Fi’lu rajulin fî alfi rajulin khairun min qauli alfi rajulin fi rajulin).”

Betapa kita membutuhkan pendidik yang saleh dalam akhlak, perbuatan, sifat, yang bisa dilihat oleh muridnya sebagai contoh. Ajami menulis (2006: 133) “Para murid bisa lupa perkataan pendidik, tapi mereka tidak akan pernah melupakan sikap dan perbuatannya.” Al-Quran mencela orang-orang yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (QS Ash-Shaf: 2). Jangan melarang sesuatu sedangkan engkau melakukannya, aib besar jika engkau melakukannya (Lâ tanha ‘an khuluqin wa ta’tiya mitslahu ‘Ârun ‘alaika idzâ fa’alta ‘adzîmu). Demikian syair Arab melukiskan. Hal senada diungkapkan dalam QS Maryam: 28.

Sia-sia seorang guru mengajarkan kebaikan jika ia sendiri bukan sosok pribadi yang baik. Pribadi guru yang baik mengajar dan mendidik dengan perkataan dan perilakunya di hadapan murid, disengaja maupun tidak disengaja. Disadari ataupun tidak, peserta didik selalu belajar dari figur guru dan orang-orang yang dianggapnya baik. Dengan demikian, harus ada banyak sosok guru, kepala sekolah, orang tua, yang benar-benar baik dan saleh, sehingga mereka selalu belajar nilai-nilai dan perilaku baik dari sebanyak mungkin figur. Anak-anak membutuhkan contoh nyata tentang apa itu yang baik melalui sikap dan perilaku orang-orang dewasa. Hal ini lebih mudah dan efektif bagi anak-anak dibanding sekedar ucapan dan tulisan.

Output

Dari penjelasan di atas diharapkan lahir lulusan yang berakhlak, matang perilaku dan karakteristiknya, karena mereka berada dalam lingkungan yang memiliki budaya yang baik. Yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat yang kondusif bagi tumbuhnya karakter baik. Para lulusan yang mengerti baik dan buruk serta sanggup memilih dan melaksanakan yang baik, meninggalkan dan mencegah yang buruk. Phenix menulis (1964: 215) “The essence of ethical meanings, or of moral knowledge, is right deliberate action, that is, what a person ought voluntarily to do.”

Generasi berakhlak sangat penting bagi masa depan bangsa, sebab mereka akan menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Good governance dan clean governance akan terwujud jika sumber daya manusia suatu bangsa, terutama para pemimpinnya, memiliki moralitas yang tinggi. Melihat kondisi bangsa kita saat ini, di mana korupsi semakin menggurita, kita sadar bahwa sekolah—khususnya kurikulum—telah gagal menanamkan moralitas bagi para pemimpin sekarang.

Generasi berakhlak dimaksud adalah pribadi-pribadi yang memiliki disiplin kerja karena Allah (lillâh) dan memiliki rasa malu melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum, bersedia hidup sederhana, dan baik terhadap sesama. Mereka menjalani hidup sebagai amanah Allah yang harus diisi dengan sesuatu yang selalu baik, sebab sadar hidup di dunia saatnya menanam, yang akan dipetik di kehidupan akhirat.

Melahirkan generasi berakhlak memang tidak mudah. Namun melalui manajemen kurikulum yang dilaksanakan di sekolah, bekerjasama dengan keluarga dan masyarakat, tujuan tersebut tidak mustahil terwujud.

Simpulan

Manajemen kurikulum yang berorientasi pada afektif murid di sekolah akan berhasil jika kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan, bekerjasama menunjukan sikap dan perilaku yang disiplin dan berakhlak di sekolah. Peserta didik belajar tentang nilai dan moralitas dari sikap nyata lingkungannya, bukan sekedar teori yang diterimanya di kelas melalui ucapan dan tulisan.
Demikian juga para guru di kelas, mengajar dengan hati dan pikiran. Mengajar peserta didik ilmu pengetahuan sekaligus tentang makna-makna dan fakta kehidupan, serta bagaimana menghadapinya. Guru harus bisa menjadi panutan peserta didik tentang kebaikan, dalam ucapan, perilaku, kepribadian, bahkan kebiasaan.

Mendidik anak merupakan tanggung jawab keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, komunikasi antara mereka harus terjalin baik. Keluarga harus memahami pentingnya peran sekolah dan masyarakat dalam membentuk perilaku dan karakteristik anak. Demikian juga sebaliknya.

Mewujudkan generasi berakhlak, berilmu, dan terampil membutuhkan kerjasama sekolah, keluarga, dan masyarakat. Kerjasama tersebut harus direncanakan, dilaksanakan, dan dikontrol sejauhmana efektifitas dan pengaruhnya bagi perkembangan akhlak peserta didik. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, bisa menjadi motor penggeraknya. Tanpa kerjasama ketiga pihak tersebut, apa yang ditulis Sadelar dalam Learning the Treasure Within, tentang empat esensi pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together in peace and harmony, sulit diwujudkan.

Rekomendasi

Setiap sekolah perlu memberikan pengarahan dan bimbingan secara terencana kepada seluruh pegawainya tentang pentingnya pengembangan afektif murid, di samping kognitif dan psikomotorik. Sekolah menjelaskan apa dan bagaimana cara mencapai pengembangan tersebut. Bahwa tujuan tersebut bisa tercapai jika seluruh pegawai menyadari bahwa masing-masing punya peran sama besar dalam terbentuknya akhlak peserta didik, selama mereka berada di sekolah.

Guru sebagai orang yang berhadapan langsung dengan peserta didik harus berusaha menjadi teladan baik dalam segala hal, sebab murid akan lebih mudah belajar dari sikap dan perilaku nyata seorang guru di kelas. Guru harus selalu belajar bagaimana berpenampilan, berkata, menjelaskan, dan berperilaku yang baik sesuai dengan norma sosial dan agama.

Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus meningkatkan komunikasi dan kerjasama dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi peserta didik, utamanya masalah moral, nilai, dan akhlak.

Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus menyadari bahwa peran mendidik tidak bisa dilimpahkan atau menjadi tanggung jawab satu di antara ketiganya, melainkan tanggung jawab bersama, sebab peserta didik tumbuh dan berkembang dalam ketiga lingkungan tersebut. Akan sangat berat jika tugas tersebut ditangani sendiri-sendiri, tanpa komunikasi yang tulus dan ikhlas.


Daftar Pustaka

Ajami, Al-, M.A. (2006). Al-Tarbiyah al-Islâmiyah: Al-Ushûl wa al-Tathbîqât. Riyadh: Dâr Al-Nâsyir Al-Daulî. Cet. I.
Armstrong, T. (1994). Multiple Intelligences in the Classroom. USA: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).
Brumbaugh, R. S. dan Lawrence, N.M. Philosophers on Education: Six Essays on the Foundations of Western Thought. USA: Houghton Mifflin Company.
Bruner, J.S. The Relevance of Education. New York: The Norton Library.
Crain, W. (2000). Theories of Development; Concepts and Applications. New Jersey: Prentice Hall.
Cronbach, L.J. (1954). Educational Psychology. USA: Harcourt, Brace, and Company.
Doll, R. C. (1974). Curriculum Improvement, Decision Making and Process. Boston: Allyn & Bacon, Inc.
Eisner, E. W. (2002). The Educational Imagination on the Design and Evaluation of School Program. Third Edition. New Jersey: Merril Prentice Hall.
Goleman, D. (2006). Social Intelligence: The New Science of Human Relationship. New York: A Bantam Books.
Hall, C.S. dan Lindzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons.
Henderson, S.V.P. (1960). Introduction to Philosophy of Education. Chicago: The University of Chicago Press.
Henson, K. T. (1995). Curriculum Development for Education Reform. New York: Longman.
Hesselbein, F, et al. (Editors). (1996). The Leader of The Future. San Francisco: Jossey-Bass.
Longstreet, W. S. dan Shane, H. G. (1993). Curriculum for a New Millenium. Boston: Allyn and Bacon.
Ormrod, J.E. (2003). Human Learning. Fourth Edition. New York: Pearson Prentice Hall..
Petty, G. (2004). A Practical Teaching Today. 3rd Edition. UK: Nelson Thornes Ltd.
Pinar, W.F. (2004). What Is Curriculum Theory? New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Phenix, P.H. (1964). Realm of Meaning: A Philosophy of the Curriculum for General Education. USA: McGraw-Hill.
McNeil, J. D. (1977). Curriculum: A Comprehensive Introduction. Canada: Little, Brown & Company.
Miller, J. P. dan Seller, W. (1985). Curriculum: Perspectives and Practice. New York & London: Longman.
Reeves, D. B. (2002). The Leader’s Guide to Standards: A Blueprint for Educational Equity and Excellence. San Francisco: Jossey-Bass.
Salis, E. (1993). Total Quality Management in Education. London: Kogan Paged Limited.
Whitehead, A.N. (1957). The Aims of Education and Other Essays. England: William and Norgate, Ltd.


*)Jejen Musfah, dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kependidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. E-mail: jejenm@yahoo.com.

Jumat, 19 Februari 2010

PENDIDIKAN RUHANI

BELAJAR DARI PENGALAMAN BERAGAMA
PARA ANGGOTA
TAREKAT QADIRIYAH WA NAQSYABANDIYAH

Penulis : Sururin


Abstrak

Didaktika Islamika - This research illustrates the women in tarekat from the view of religious psychology particularly focused on the experiences of those women in Qadiriyah wa Naqsyabandiyah group. This study approach is phenomenal description taking five area samples which are Surabaya, Bojonegoro, Jombang, (East Java), Gubug (Central Java) and Jakarta. Religious experience of women in the TQN mostly are mundane experience like any body else but some do experience specifically mystically. The ordinary experience here means among women of TQN are of feeling safe, close to GOD, hope and pray are mostly achieved and also surrender, full of faith to Allah, longing for Allah, satisfied , happy, peace, relieved and the like. These finding support James’ thesis (1902) of the consequence of religious experience which is more mentally healthy. Several factors contributing as women motivation to join the TQN, which are private relationsip (family), reguler activity of these women such as attending religious meeting, friends’ recommendation and religious leader recommendation. However, some women did join the group due to long searching journey for spiritual need, even some started with isyarah (dream). Women of TQN in urban cities join the group mainly because of a friend. In the rural areas women join the TQN mainly because of attending religious meeting and the women are family member of the religious leader in local level. Having various motivation of the women, that made they have different style implementing the TQN activities (amalan). Nevertheless, thru intensive teaching by the appointed teacher (mursyid) that started by baiat/talqin then regular gathering with other members (khsusiyah, istighatsah, manakiban, selapanan, etc) then finally, their motivation is toward closeness with GOD ONLY and they wish to die as a good one (husnul khotimah).

Kata Kunci: Perempuan, Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah, Psikologi Agama dan Pengalaman Beragama.


Pengantar

Inti ajaran Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah adalah dzikir. Amalan Dzikir dalam tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah meliputi dzikir lisan dan dzikir qalbu. Dzikir lisan atau disebut juga dzikir nafi itsbat yaitu ucapan lâ ilâha illa Allah. Pada kalimat ini terdapat hal yang menafikan yang lain dari pada Allah dan mengitsbatkan Allah. Sedangkan dzikir qalbu yaitu dzikir yang tersembunyi di dalam hati, tanpa suara dan kata-kata. Dzikir ini hanya memenuhi qalbu dengan kesadaran yang sangat dekat dengan Allah, seirama dengan detak jantung serta mengikuti keluar masuknya nafas. Dzikir qalbu atau dzikir ismu dzat adalah dzikir kepada Allah dengan menyebut Allah, Allah, Allah secara sirr atau khafi (dalam hati) dzikir ini juga disebut dengan dzikir lathâif yang merupakan ciri khas tarekat Naqsyabandiyah (Abdullah, 2004: 83).

Dengan melaksanakan dzikir secara konsisten diyakini akan menimbulkan pengalaman beragama tersendiri bagi pengamalnya, yang pada gilirannya melahirkan perasaan selalu dekat kepada Allah dan Allah senantiasa hadir dalam jiwanya. Kondisi seperti tersebut di atas yang menjadi obyek kajian psikologi agama. Selanjutnya, pengalaman beragama pengamal tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah inilah yang menjadi fokus utama penelitian ini.

Pengalaman beragama menurut William James adalah segala perasaan, tindakan dan pengalaman pribadi manusia dalam kesendiriannya, sejauh mereka memahami diri mereka sendiri saat berhadapan dengan apa yang mereka anggap sebagai yang Ilahiah. Berangkat dari pengertian agama tersebut, maka pengalaman beragama mencakup pemikiran, penghayatan, keyakinan, dambaan dan prilaku yang berkaitan dengan hal-hal yang religius. James berpendapat bahwa pengalaman beragama berakar dan berpusat pada kesadaran mistis, pengalaman dan kesadaran ini bersifat unik dan personal (James, 1982, kuliah ke 19 dan 20).

Pembahasan mengenai pengalaman beragama pada ujungnya akan masuk pada pengalaman mistik. Wolter Housten Clark (1969: 263) menyatakan bahwa pengalaman mistik adalah sebuah pengalaman subyektif tentang pemahaman kekuatan kosmik atau kekuatan yang lebih besar dari dirinya, pengalaman tersebut lebih bersifat intuitif dari pada dapat diindra atau rasional. Sedangkan menurut Leuba, pengalaman mistik adalah pengalaman apa saja yang dianggap oleh orang yang mengalaminya merupakan kontak (tidak melalui panca indra, tetapi tiba-tiba, intuitif) atau kesatuan diri dengan sesuatu yang lebih besar dari dirinya yang disebut dunia Ruh, Tuhan, Yang Absolut atau lainnya.

Pengalaman beragama dalam perspektif Islam dibicarakan khusus dalam psikologi sufi, yang membahas kondisi ruhani atau pengalaman ruhani dan transformasi spiritual seseorang. Inti dari pengalaman ruhani dalam tradisi sufi adalah memperoleh pengalaman personal dengan Allah. Mereka mencari Wujud tertinggi dan menemukan kepuasan spiritual mereka dalam pengalaman personal berkomunikasi secara intens dengan Allah SWT (lihat Bagan 1).

Bagan 1

STRUKTUR PENGALAMAN BERAGAMA

William James (1982) membagi pengalaman beragama menjadi dua: pengalaman beragama yang sifanya sporadis dan pengalaman beragama yang terlatih. Pembagian serupa dilakukan oleh Deikman. James juga membagi bentuk pengalaman beragama menjadi dua, agama dalam pikiran yang sehat dan dalam jiwa yang sakit. Beragama dengan jiwa yang dalam pikiran yang sehat, dalam beragama akan berpikir secara sistematis, optimis, dapat dijadikan sebagai relaksasi, sugesti, meditasi, rekoleksi dan adaptasi. Buah dari kondisi religius demikian akan menghasilkan jiwa yang lemah lembut dan kasih, ketenangan hati, kepasrahan, ketabahan, kesabaran, dan sebagainya. Sebaliknya, beragama dengan jiwa yang dalam pikiran yang tidak sehat maka akan memunculkan pemikiran yang abnormal, ketidakstabilan, kegagalan, keputusasaan, ketidakbahagiaan, anhedonia, melankolia, perasaan yang porak poranda dan sebagainya.

Buah dari kondisi religius di atas juga banyak dirasakan oleh para pengamal tarekat yang selalu dekat dengan Allah, yang senantiasa hadir dalam hatinya. Buah pengalaman beragama tersebut dirasakan oleh setiap orang tanpa mengenal perbedaan jenis kelamin (bias gender). Dalam Islam perlakuan antara laki-laki dan perempuan, senantiasa mendapatkan tempat dan kesempatan yang sama untuk mendekatkan diri pada Allah. Secara spiritual, perbedaan jenis kelamin—laki-laki dan perempuan—tidak menjadi soal. Sebagaimana tersebut alam al-Qur’an surat al-Ahzab (33) ayat 35.

Meskipun dalam ayat Al-qur’an tersebut menjelaskan bahwa laki-laki dan perempuan mempunyai kesempatan yang sama dengan laki-laki, serta status yang sama di hadapan Allah, akan tetapi dalam kenyataannya, tidak banyak perempuan yang menjadi guru sufi.

Dan dalam dunia tarekat lebih dari separuh anggotanya adalah perempuan. Menurut Martin Van Bruinessen (1998), dalam perkiraan kasar sekitar 30-40% murid tarekat Qadiriyah Naqsyabandiyah seantero Nusantara adalah kaum perempuan. Sedangkan melalui pengamatan langsung dalam berbagai kegiatan TQN, hampir dua pertiga anggota tarekat yang hadir adalah perempuan. Walaupun jumlah perempuan lebih banyak dari pada anggota laki-laki. Dalam tradisi TQN tidak dijumpai mursyid dari kalangan perempuan. Hal ini dikuatkan dengan hasil kesepakatan muktamar ke-2 Jam’iyyah Ahli Thariqah al-Mu’tabarah, di Pekalongan pada tanggal 9 November 1959 yang memutuskan bahwa perempuan tidak sah menjadi khalifah untuk tarekat mu’tabarah. Keputusan tersebut terus berlaku hingga saat ini.

Selanjutnya, penelitian ini lebih difokuskan pada pengalaman beragama perempuan anggota tarekat. Permasalahan utama yang dijawab dalam penelitian ini adalah: ”Bagaimanakah pengalaman beragama yang dialami oleh perempuan anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah?” Untuk menjawab permasalahan utama tersebut, dibatasi dan dirinci dalam sub-sub masalah sebagai berikut:

1. Bagimanakah pengalaman awal mula perempuan mengikuti tarekat?
2. Apakah motivasi perempuan dalam mengamalkan tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah?
3. Bagaimanakah perasaan beragama para penganut Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah?
4. Bagaimanakah pengalaman beragama perempuan anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah?
5. Adakah pengalaman mistik atau pengalaman spiritual yang luar biasa?

Penelitian dibatasi pada tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah dengan pusat kemursyidan di pondok pesantren Darul Ulum Rejoso Jombang dengan mursyid K.H.A. Dimyati Romli (disingkat TQN Rejoso); TQN di Bojonegoro yang mengambil baiat pada Mursyid K.H. Zamroji Saerozi yang berpusat di Pare Kediri (TQN Bojonegoro), TQN dengan kemursyidan K.H. Zuhri di Gubug Grobokan Jawa Tengah (TQN Gubug), TQN dengan mursyid K.H. Ahmad Asrori Usman di Surabaya (TQN Surabaya) dan TQN di Jakarta yang mengambil talqin pada mursyid K. H. Shahibul Wafa Tajul Arifin (Abah Anom) di Suryalaya Tasikmalaya (TQN Suryalaya).

Sejauh pengamatan yang ada, belum ada penelitian fenomenologis tentang perempuan yang melihat apa yang sebenarnya terjadi pada diri perempuan dalam kaitannya dengan pengamalan ajaran agamanya. Penelitian mengenai perempuan dalam kaitannya dengan sufi lebih banyak menampilkan tokoh-tokoh perempuan, Untuk penelitian mengenai tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah telah banyak dilakukan beberapa penelitian mengenai tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah tersebut, akan tetapi belum ada penelitian yang membahas pengalaman beragama, khususnya yang pengalaman beragama perempuan pengamal tarekat dalam perspektif Psikologi Agama.

Jenis penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dan pendekatan dalam penelitian berikut ini menggunakan pendekatan kualitatif fenomenologis dalam kerangka kajian Psikologi Agama.

Hasil Penelitian

1. Faktor Yang Mempengaruhi Perempuan Mengikuti TQN

Beragam pengalaman perempuan memasuki dunia tarekat. Oleh sebab itu beragam pula faktor yang mempengaruhi perempuan untuk mengikuti TQN, antara lain hubungan antar pribadi, keluarga; kebiasaan rutin, seperti menghadiri pengajian atau pertemuan-pertemuan rutin; anjuran atau ajakan dari orang-orang terdekat; dan pengaruh pemimpin agama. Di samping faktor yang bersifat ekstern tersebut, terdapat pula perempuan yang mengikuti TQN karena didorong oleh kemauan sendiri dan isyarah melalui mimpi. Untuk responden di perkotaan, faktor ajakan dari teman dan hubungan antar pribadi lebih banyak dari pada anggota dari pedesaan. Sedangkan pengaruh pemimpin agama dan menghadiri pertemuan rutin serta keluarga banyak dialami oleh anggota TQN dari daerah/pedesaan.

Dari data yang ada (lihat Tabel 1), menunjukkan bahwa responden sebelum mengikuti tarekat telah mengamalkan agama dengan baik. Artinya, tidak ditemukan responden yang mengalami perubahan secara drastis. Sebagaimana diketahui bahwa terdapat dua macam konversi/perubahan keyakinan.

Temuan yang ada menunjukkan bahwa di samping faktor di atas, faktor usia juga berperan dalam kehidupan perempuan memasuki dunia tarekat, oleh karena mayoritas pengamal tarekat usianya sudah menginjak pada masa dewasa dan sebagian besar telah usia lanjut (60 tahun).

Perempuan anggota TQN—khususnya di daerah—mayoritas telah berusia lanjut dan sebagian besar telah berstatus janda. Status demikian menguatkan hasil penelitian yang dilakukan oleh beberapa ahli, antara lain penelitian yang dilakukan oleh Gofer—sebagaimana diterangkan kembali oleh Robert H. Thouless (1979: 108)—menunjukkan bahwa kegiatan keagamaan orang yang masih belum berumah tangga sedikit lebih banyak daripada kegiatan orang-orang yang sudah berumah tangga, sedangkan kegiatan orang-orang yang sudah bercerai atau pasangannya meninggal jauh lebih besar dari kedua-duanya.

Yang menjadi catatan, dari perjalanan perempuan masuk tarekat tersebut, tidak ditemukan murid mencari guru (mursyid) sebagai mana layaknya seorang pengamal tarekat pada masa lalu.

Demikian pula persyaratan untuk mengamalkan ajaran tarekat tidaklah sulit sebagaimana masa lalu. Kondisi demikian membuat peran mursyid dalam pembinaan murid tidak seintensif guru-guru sufi pada masa awal perkembangan tarekat. Semestinya mengikuti tarekat harus mantap dulu syariatnya, akan tetapi yang terjadi di sebagian besar pengikut tarekat adalah mereka yang masih awam. ‘Daripada mereka tidak tahu kedua-duanya, lebih bagus mengikuti tarekat dengan pendidikan apa adanya, setelah masuk baru dibina kedua-duanya seiring sejalan’, demikian komentar Zamrozi (51 tahun), salah seorang khalifah TQN Rejoso.

2 . Motivasi Beragama Perempuan Anggota TQN

Motivasi perempuan dalam mengikuti tarekat antara lain: untuk melebur dosa yang pernah dilakukannya, mohon ampun pada Allah, mendekatkan diri pada Allah, beribadah pada Allah, dan mengharapkan akhir hayatnya dengan husnul khatimah. Motivasi beragama perempuan dalam mengamalkan tarekat didorong oleh rasa rindu dan cinta pada Allah. Dengan demikian, sumber motivasi yang ada lebih bersifat intrinsik, tanpa dipaksakan dan penuh dengan kesadaran yang tinggi. Untuk sampai pada motivasi tersebut mereka dibimbing dan diarahkan dengan pembinaan yang intens oleh mursyid, yang diawali dengan baiat/talqin dan dilanjutkan dengan pengajian-pengajian dalam pertemuan rutin (khususiyah, istighatsah, manakiban, selapanan, dan sebagainya). Dengan demikian, kesimpulan ini menolak teori yang dikemukakan oleh Sigmund Freud bahwa motivasi beragama seseorang hanya fungsional belaka, meskipun dari beberapa amalan yang dilakukan, juga terdapat maksud-maksud dan tujuan tertentu (doa/permohonan tertentu).

3. Perasaan Beragama Perempuan Anggota TQN

Perasaan beragama yang biasa dan pada umumnya dialami oleh perempuan anggota TQN adalah merasakan khusyu’ di hati, merasa dekat Allah, doa dan harapan banyak yang tercapai, pasrah, tawakkal pada Allah, rasa rindu lebih dalam pada Allah, merasakan kepuasan batin, bahagia, damai, lebih lapang, tentram, merasakan kenikmatan dalam hati. Kondisi demikan menguatkan teori William James (1982) tentang buah dari kondisi religius yang sehat jiwanya.

4. Pengalaman Mistik Perempuan Anggota TQN

Dalam ajaran TQN, dikenal dengan dzikir lathâif-lathâif, atau tingkatan-tingkatan dzikir. Akan tetapi dari jawaban responden yang ada, tidak dikemukakan tingkatan dzikir tersebut. Beberapa kali peneliti menanyakan masalah itu kepada responden, akan tetapi tidak ada jawabannya. Yang menjadi pertanyaan, apakah mereka tidak memahami tingkatan-tingkatan dzikir tersebut, sebagaimana dikemukakan oleh Asep Usman Ismail, yang mengatakan bahwa bisa jadi mereka memang tidak memahami ajaran tarekat, apalagi dengan tingkatan dzikir dengan makna filosofisnya, mereka hanya mengamalkan apa yang diajarkan oleh mursyid atau wakil talqin; ataukah mereka sebenarnya mengalami tingkatan dzikir tersebut, akan tetapi tidak mau mengungkapkannya, karena itu adalah hak mursyid untuk mengetahuinya.

Yang jelas, dengan dzikir seperti itu akan membawa kedamaian, karena hidup itu tujuannya untuk kedamaian. Kalau orang sudah damai, aliran darah kita akan lancar, badan akan sehat dan tidak mudah sakit, karena sumber penyakit yang berat dari pikiran susah. Dengan dzikir jiwa menjadi pasrah, tawakkal pada Allah. Kepasrahan ini akan membawa kenikmatan dan keajaiban. Dalam bahasa lain, orang yang menjalani demikian akan mendapat ma‘unah dari Allah SWT.

Pengalaman lain yang banyak dikemukakan antara lain adanya isyarah, atau feelling, semacam intuisi yang tajam, yaitu daya atau kemampuan mengetahui atau memahami sesuatu tanpa dipikirkan atau dipelajari. Bisa pula intuisi diartikan dengan bisikan hati bahwa akan terjadi sesuatu, atau merasakan sesuatu yang kemudian benar-benar terjadi. Dzikir yang dilakukan pengamal tarekat, khususnya dzikir sirri, dalam kegiatan khususiyah penuh konsentrasi dan penghayatan mendalam, sehingga seperti ada kekuatan batin atau energi dalam.

Dalam tradisi tarekat dikenal adalanya tawasul“. Tradisi demikian memungkinkan mereka untuk berkomunikasi dengan mursyid secara tidak langsung. Yang juga termasuk dalam pengalaman mitik yang ditemukan dalam penelitian ini adanya kondisi fana’ fil mursyid”. Sementara responden lainnya mengungkapkan bahwa pengalaman mistik yang dirasakan adalah merasakan sesuatu yang sulit untuk dilukiskan. Kesimpulan ini menguatkan dan menjadi bukti dari beberapa teori yang berkaitan dengan tanda-tanda pengalaman mistik sebagaimana dikemukakan oleh James H. Leuba, Wolter Housten Clark, dan beberapa tokoh Psikologi Agama lainnya.

Implikasi Pengalaman Beragama dalam Kehidupan Perempuan Anggota TQN

Dari pengalaman tersebut membawa implikasi dalam kehidupan perempuan, baik secara emosi, sosial maupun secara fisik. Secara fisik/jasmani, terlihat kecerahan yang terpancar dari raut wajah perempuan-perempuan anggota TQN. Bukan wajah yang layu dan menderita. Meskipun mayoritas mereka telah berusia lanjut, akan tetapi masih mampu menjalankan rutinitas yang memerlukan energi.

Secara emosi dapat dikatakan bahwa perempuan anggota TQN sebagian besar cerdas emosi. Kecerdasan emosi adalah kemampuan merasakan, memahami, dan secara efektif menerapkan daya dan kepekaan emosi sebagai sumber energi, informasi, koneksi, dan pengaruh yang manusiawi.( Daniel Goleman, 1995) Yang dapat dikategorisasikan cerdas emosi yang dimiliki oleh perempuan anggota TQN antara lain: tidak suka marah, tidak mau bohong, sabar, tenang, berkah, bahagia, dan merasakan kepuasan.

Karakteristik orang yang cerdas emosi adalah yang mampu mengendalikan marah, dan mampu mengatur kapan dan bagaimana marah yang sesuai dengan kondisi, dengan demikian mampu mengendalikan emosi. Begitu pula dengan tanda yang kedua, tidak suka bohong, oleh karena menyadari bahwa setiap saat Allah hadir dalam jiwanya. Karakteristik berikutnya adalah sabar, yang sebenarnya memuat karakteristik pertama dan kedua, tidak suka marah dan tidak mau bohong. Perempuan anggota TQN merupakan insan yang sabar, hal ini ditunjukkan dengan kemampuannya mengendalikan emosi negative dan upayanya untuk selalu memunculkan emosi positif. Perempuan yang sabar adalah orang yang memiliki kompetensi dan kecerdasan emosional yang tinggi. Ia biasanya tabah dalam menghadapi kesulitan. Ia berhasil mengatasi pelbagai gangguan dan tidak memperturutkan emosinya, akan tetapi dapat mengendalikan emosinya. Kemampuan mengendalikan emosi dan menahan diri inilah yang disebut sabar.

Berdasar pengalaman perempuan anggota TQN di atas, terdapat pula beberapa karakteristik yang dapat diklasifikasikan dalam cerdas sosial, antara lain: empati, suka menolong orang, banyak bersedekah, hati bisa gampang tersentuh, cari yang baik-baik dan sering silaturahim, banyak saudara.

Sementara, dengan mengamalkan ritual yang terdapat dalam ajaran TQN para anggota tarekat semakin memahami eksistensi dirinya, dan menyadari tugas maupun tanggung jawabnya sebagai hamba Allah, sehingga ia nampak semakin cerdas secara spiritual dan tegar dalam menyikapi maupun menghadapi pelbagai deraan kehidupan yang mengungkungnya. Sikap mental demikian jarang ditemukan di kalangan perempuan yang tidak memiliki komitmen/yang tidak bergabung dalam jamaah tarekat, karena biasanya seseorang yang belum mengikuti tarekat dalam meniti kehidupannya tanpa dilandasi kesadaran orientasi yang jelas di masa mendatang. Akan tetapi setelah mengikuti tarekat dalam praktek kehidupannya mencitrakan suasana damai, tenteram, berpikir positif dan optimis. Mereka merasakan nikmatnya hidup beragama secara sungguh-sungguh, serta memiliki keinginan yang sangat kuat untuk memahami, menghayati dan mengamalkan tarekat dalam kehidupannya sehari-hari. Mereka meyakini dan merasakan bahwa ajaran tarekat yang mereka amalkan lebih merupakan jiwa pengamalan agama, sehingga mereka meyakini bahwa jalan inilah yang bisa mewujudkan kebahagiaan dan keselamatan selama hidup di dunia hingga menuju akhirat.

Indikator kecerdasan spiritual ini dapat dilihat melalui aktivitas dzikrullah, sebab mereka memiliki keyakinan bahwa ia berasal dari Allah dan akan kembali kepada Allah. Oleh karena itu selama mengisi usia yang tersisa ia ingin selalu dekat dengan Allah, karena hanya dengan dzikrullah ia benar-benar siap untuk kembali menghadap Allah, tanpa menafikan amalan lainnya. Amaliah dzikrullah yang dilaksanakan secara konsisten oleh anggota tarekat ini yang akan mengasah dan meningkatkan potensi ruhaniyahnya. Mereka meyakini bahwa dzikrullah merupakan ibadah yang paling utama, dan inti semua ibadah adalah dzikrullah. Melanggengkan dzikrullah merupakan amal yang paling besar pahalanya dan menghapuskan segala dosa. Di samping itu dengan dzikir dan istighfâr secara terus menerus iblis tidak dapat memperdayakan manusia yang senantiasa ikhlas dan istiqamah dalam beribadah. Selanjutnya, tujuan setiap bentuk ibadah adalah memperbaiki kondisi jiwa/akhlaq, agar berubah menjadi insan yang berakhlaqul karimah. Apabila hati sudah bersih dari pelbagai macam penyakit, ia benar-benar menjadi manusia yang ikhlas dan tawakal, serta mampu mengaplikasikan ketaqwaan dalam hidup sehari-hari.

Kecerdasan spiritual akan menghasilkan kedamaian dalam hubungannya dengan Allah. Sedang kecerdasan emosional membuahkan kesuksesan hidup baik individual maupun sosial. Kecerdasan-kecerdasan yang dimiliki oleh perempuan anggota TQN—yang sebagian besar telah berusia lanjut—terwujud salah satu diantaranya karena karakteristik perempuan itu sendiri yang berbeda dengan laki-laki yang terbentuk oleh budaya. Karakteristik tersebut antara lain: Pertama, perempuan tidak tergantung dan siap menghadapi masa tuanya. Kebiasaan untuk mengerjakan kebutuhan rumah tangga inilah yang menjadikan perempuan lebih siap untuk mengisi hari-hari tuanya dengan aktifitas yang selama ini dilakukan. Kedua, perempuan terbiasa mengurus dirinya sendiri. Kabiasaan tersebut tentunya juga berawal dari kebiasaannya mengurus rumah. Meskipun dihari tuanya ia menjadi janda, misalnya, bagi perempuan tersebut bukan memberatkan jika harus mengerjakan dan menjalani kehidupan ini seorang diri. Ketiga, perempuan mempunyai kemampuan berkomunitas dengan baik, dan keempat, ketika perempuan sudah terbiasa hidup melakukan aktifitas dan mandiri serta suka bersosialisasi, maka kecenderungan perempuan jika telah berusia lanjut untuk tinggal di rumah. Secara psikologis dan sosiologis kondisi demikian berbeda dengan laki-laki.

Sejauh pengamatan peneliti pada responden penelitian, dalam kehidupan berkeluarga perempuan anggota TQN tercipta kondisi keluarga yang harmonis, sakinah mawadah wa rahmah. Meskipun sebagian dari perempuan tersebut menjadi single parent yang memunculkan kekhawatiran anak yang kurang kasih sayang, atau anak tidak hormat terhadap ibunya—yang sekarang banyak dialami oleh ibu-ibu—terkikis. Putra-putri mereka sangat hormat dan respek pada orang tuanya, khususnya kepada ibunya.

Simpulan

Dari uraian pengalaman beragama perempuan anggota TQN tersebut, diharapkan mampu menjadi salah satu solusi bagi masalah moral yang sekarang menjadi masalah bangsa. Kemudahan yang disyaratkan untuk memasuki dunia tarekat membuka jalan bagi siapa pun untuk mengikuti tarekat, termasuk diantaranya mereka yang berusia remaja. Dengan menjalankan tarekat membuat orang semakin baik moral dan akhlaknya. Dengan demikian perlu diperkenalkan sejak awal ajaran-ajaran tarekat—yang intinya dzikir—khususnya dalam pembinaan jiwa, agar ke depan mampu memperbaiki moral anak bangsa.

Ketegaran perempuan anggota TQN—yang sebagian besar telah berusia lanjut—dalam menghadapi hidup dan menjadikan hidupnya lebih bermakna dapat dijadikan sebagai model pengembangan dan pembinaan mental bagi usia lanjut.

Perlu dilakukan penelitan lebih lanjut tentang pengalaman beragama tidak hanya pada perempuan, akan tetapi juga dari kaum laki-laki anggota Tarekat Qadiriyah wa Naqsyabandiyah. Di samping itu, juga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut guna mengintegrasikan antara psikologi dengan dunia tasawuf yang menjadi inti dari psikologi agama dalam perspektif Islam.

Tema penelitian ini merupakan titik awal bagi penelitian tokoh-tokoh perempuan dalam dunia tarekat, khususnya di Jawa. Oleh sebab itu disarankan agar dilakukan pengembangan penelitian berikutnya tentang sufi perempuan di Nusantara.


Daftar Pustaka

Abdullah, M.Z. (1989). Tasawwuf dan Dzikir. Solo: Ramadhani.
Abdurrahman, M. (tt.). Futuhat Robbaniyah. Semarang: Thoha Putra.
Aqib, K. (2004). Al-Hikmah, Memahami Teosofi Tarekat Qadiriyah wa Naqsabandiyah. Surabaya: Bina Ilmu.
Arifin, S.W.T. (2005). Miftahus Shudur; Kunci Pembuka Dada. Tasikmalaya: PT. Mudawwamah Warohmah, Yayasan Berba Bakti Pesantren Suryalaya.
Bruinessen, M.V. (1998). Tarekat Naqsabandiyah di Indonesia. Bandung: Mizan. Cet. V.
Clark, W.H. (1969). The Psychology of Religion, Introduction to Religious Experience and Behavior. Canada: Mc Milan.
Crapps, R.W. (1994). Perkembangan Kepribadian dan Keagamaan. Yogyakarta: Kanisius.
Diester, N.S. (1992). Pengalaman dan Motivasi Beragama. Yogyakarta: Kanisus. Cet. III.
Goleman, D. (1995). Emotional Intelegence, Why It can Matter More than IQ. New York: Bantam Books.
Ishaqi, Al-, S.M.U. (2005). al-Fath al-Nuriyah. Surabaya: Yayasan al-Khidmah.
James, W. (1982). The Varietes of Religious Experience. The Penguin American Library.
Mulyati, S. (2004). Mengenal & Memahami Tarekat–Tarekat Muktabarah di Indonesia. Jakarta: Prenada Media. Cet. 2.
Schimmel, A. (1997). Mystical Dimensions of Islam. The University of North Carolina Press. Cet. II.
Spilka, B. (1985). The Psychology of Religion, An Empirical Approach. New Jersey: Prentice Hall.
Sya’roni, A.W. (tt.). Al-Anwarul Qudsiyah fi Ma’rifat Qaw’id al-Sufiyah. Jakarta: Dinamika Berkat Utama.
Sururin. (2002). Rabi’ah al-Adawiyah: Hubb al-Ilahi Evolusi Jiwa Manusia Menuju Mahabbah dan Makrifah. Jakarta: RajaGrafindo Persada. Cet. I.
Tamim, R. (2004). Tsamrotul Fikriyah, Risalah Silsilah Thoriqot Qodiriyah dan Naqsabandiyah. Jombang: PP Darul Ulum.
Tanbih, Tawasul dan Manakib. Bandung: Wahana Karya Grafika.
The Ensiclopaedia of Islam, vol. IV. (1987). New York: MacMilan Publishing Co.
Thouless, R.H. (1979). An Introduction to The Psychology. Chambridge: Chambridge University Press.
Zohar, D. dan Marshall, I. (2000). SQ: Spiritual Intelegence The Ultimate Inelegence. London: Bloomsbury.


Sururin, dosen Pendidikan Agama Islam FITK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. E-mail: ririnch@yahoo.com.

PAHALA DAN HUKUMAN

Metode Pendidikan Islam
bagi Penghapusan Korupsi

Penulis : Moh. Sulhan


Abstrak

Didaktika Islamika - Serious problem faced up by Indonesian community is korruption. Recently corruption grew up widely in any sectors of life. Not only money hustle but also grow more scare fully caused due to contaminate in all attitudes, behaviors, values, mental and cultures which are called corrupted mind. It’s Ironic Matter and miserable. As a psychological disease can bring social chaos and abuse of power particularly in country where Islam is religion hold by majority of people in this country. To respond this critical problem, Islamic education offers “reward and punishment”, new method as an alternative to solve the problems as ethical review on corruption practices recently in Indonesian community.

Kata Kunci: korupsi, pendidikan Islam, metode hukuman dan pahala.


Pendahuluan

Pendidikan Islam, jika dilihat dari sumbernya Al-Quran dan As Sunnah, dapat disejajarkan dari kehendak agama Islam, sebagai agama kemanusiaan yang membawa misi pembebasan dan keselamatan. Islam hadir di muka bumi dalam rangka memberikan moralitas baru bagi transformasi sosial. Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai sumber moral, dikarenakan karakteristik Islam yang metafisik dan humanis. Islam tidak saja membawa ajaran yang menekankan pada aspek vertikal, pengabdian ilahiyyah, tetapi juga aspek sosial-horizontal. Mohammad Imarah (1996: 13-22) melihat watak Islam seperti ini, sebagai konsekwensi dari Islam yang hadir untuk memberi pemecahan terhadap problem realitas (al Islam huwa al hal). Islam, menurutnya, adalah ajaran yang bersumber dari Tuhan dan berorientasi kemanusiaan. Atas dasar seperti ini, Islam adalah agama yang tidak hanya agama yang membawa wahyu Tuhan, melainkan juga agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Pendidikan Islam agaknya, tetap memiliki momentum untuk unjuk peran dalam problem umat kekinian, sebagai sumber nilai yang diderivasi dari ajaran pokok Islam. Pendidikan Islam dipahami para ahli memiliki fungsi starategis bagi upaya menciptakan struktur masyarakat yang adil dan sejahtera. Pesan startegis yang dibawa oleh ajaran Islam ini, disebut Fazlur Rahman (1992: 123) sebagai nilai penting yang diperjuangkan Islam sebagai agama yang peduli pada problem kemanusiaan. Atas alasan ini, Islam akan tetap diterima sebagai sumber pedoman hidup yang sejalan dengan perjalanan sejarah umat manusia.

Kekayaan nilai dan perhatian Islam yang demikian baik pada persoalan kemanusiaan, menempatkan pendidikan Islam sebagai harapan masa depan. Khususnya sebagai landasan nilai untuk bersikap dan bertindak, agar manusia tidak terjebak pada kesesatan dan buramnya kehidupan. Noeng Muhadjir (1996: 20-30) secara teosentris humanis melihat pendidikan Islam menjadi harapan untuk masa depan kemanusiaan. Pendidikan Islam menurutnya, merupakan pendidikan yang dijiwai oleh nilai-nilai akidah dan moral Qurani, dan diterapkan pada semua level dan jenjang serta jenis pendidikan. Asumsi dasarnya adalah, bahwa nilai-nilai moral yang dikandung dalam Al-Quran dan Sunah Rasul memiliki sifat yang unggul, kompetitif, dan universal terhadap nilai moral yang selama ini berkembang dan diterapkan dewasa ini.

Keyakinan akan keunggulan nilai yang diusung oleh pendidikan Islam ini, desebabkan karena luasnya cakupan, ajaran, tradisi, dan dimensi yang disentuh oleh pendidikan Islam. Pendidikan Islam mengikat fungsi spiritual yang merupakan kebutuhan dasar umat dalam menemukan keutamaan akidah, keyakianan, dalam menuju hakikat, dan tujuan hidup manusia. Fungsi pendidikan ini memberikan jawaban atas problem spiritualitas, guna menemukan kebenaran dan makna hakiki kehidupan. Psikologi manusia yang seringkali dihadapkan pada ketidaknyamanan ontologis (ontological insecurity), psimisme dan penyakit psikologis (psychological maladjustment), secara klinis juga menjadi bagian menarik yang menjadi perhatian dan tujuan pendidikan Islam. Bagaimana manusia berprilaku, menyesuaikan sikap, akhlak dengan lingkungan, baik sebagai individu maupun sosial secara preskripsi diatur jelas dalam pendidikan Islam. Manusia tidak berdiri sendiri, tetapi ia terikat oleh lingkungannya. Oleh sebab itu manusia harus memerhatikan lingkungan dimana ia berpijak. Aspek sosial dan fungsi pendidikan Islam itu, mengatur hubungan manusia satu dengan lainnya, anggota masyarakat satu dengan lainnya, mengatur hak dan tanggung jawab antar warga di dalam kehidupan masyarakat (Langgulung, 1980: 12-24).

Dengan kata lain, tujuan pendidikan Islam adalah bagaimana mewujudkan aspek psikologis, spiritual dan sosial berdasar nilai dan petunjuk ajaran Islam. Ia bukan sekedar nilai normatif semata, tetapi bagaimana tujuan tersebut memberi sifat (nilai) pada setiap usaha manusia (Marimba, 1962: 45-6). Ada usaha-usaha yang tujuannya luhur dan mulia. Untuk itu pendidikan Islam memberikan sifat agar tindakan manusia memiliki nilai yang tinggi dan mulia. Keseimbangan dari seluruh aspek kehidupan merupakan ciri dari kurikulum pendidikan, yang secara umum menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, dan metodenya. Luasnya cakupan pendidikan Islam dan menyeluruh isi kandungannya, merupakan inti kurikulum yang mencerminkan semangat, pemikiran, ajaran yang komprehensif. Seluruh aspek perkembangan, kepribadian, intelektual, psikologis, spiritual dan sosial mendapat perhatian yang sama (Saibani, 1979: 476). Desain kurikulum pendidikan Islam seperti ini, diyakini akan menciptakan pribadi yang mantap untuk kehidupan saat ini, dan yang akan datang (Ahmad, 1981: 7-20). Pendidikan Islam akan menjadi rujukan sebagai etika kehidupan (Abdalati, 1981: 23) basis nilai yang mantap untuk membina generasi, agar memiliki komitmen berbuat dan bertindak sesuai dengan ajaran Islam.

Dari konstruksi pemikiran dia atas, setidaknya ada hal menarik yang dapat menjadi pijakan bersama, guna mengasumsikan pendidikan Islam sebagai salah satu instrumen untuk ikut memberikan pemecahan terhadap problem riil keumatan, yang membawa dampak pengaruh sangat luas, yaitu penyimpangan atau perilaku korupsi. Ketertarikan tersebut didasari atas alasan sebagai berikut. Pertama, respon masalah aktual ini merupakan wujud komitmen Pendidikan Islam pada problem realitas. Kedua, menguji kekayaan nilai dan pengajaran yang selama ini digambarkan para ahli Pendidikan Islam. Ketiga, Mengembangkan kajian Pendidikan Islam yang bertumpu pada masalah sosial kekinian, sebagai sumber argumen baru, untuk pengayaan konsepsi dan teori Pendidikan Islam.

Pendidikan Islam saatnya disinggungkan dengan realitas yang melingkupi kehidupan. Munculnya kasus-kasus korupsi yang menjerat para politisi, birokrasi, pejabat publik akhir-akhir ini menjadi sumber pudarnya kepercayaan masyarakat pada penyelenggara negara. Masalah terbaru mengenai kasus perseteruan KPK dan POLRI disinyalir karena masalah korupsi. Kasus Bank Century yang sedang menjadi perhatian publik, juga syarat penyimpangan keuangan. Dimulai dari proses dan berlangsungnya pemilu 2009 yang diikuti 38 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh (44 partai) masih tak lepas dari masalah politik uang. Bahkan ketika partai sedang menjual citra dirinya, malah didapati anggotanya yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini adalah masalah mendasar yang perlu dicermati. Pendidikan Islam punya momentum untuk ambil bagian dalam proses pembersihan dari penyimpangan kekuasaan. Mengabaikan fakta ini, sama saja dengan penghinaan nilai luhur yang selama ini dianut dan diajarkan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya, menjaga nilai luhur manusia dan komitmen pada nilai keadilan dan kemaslahatan manusia adalah perwujudan pengabdian pada Tuhan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimanakah pendidikan Islam memberikan kontribusi bagi basis rujukan etis atas praktik korupsi? Bagaimanakah metode Pendidikan Islam dalam meminimalisir praktik korupsi yang sudah menjalar demikian kritisnya? Sebagai komitmen pada tujuan kurikulum dan karakteristik ajaran sesuai dengan pemikiran Islam, pendidikan Islam kiranya dapat memberikan panduan etis, atas problem korupsi yang selama ini menjadi keprihatinan bersama.

Problem dan Antologi Korupsi

Korupsi dapat dilihat dari berbagai modus, yang prinsipnya berangkat dari penyimpangan kekuasaan atas aturan hukum atau norma-norma yang berlaku. Teten Masduki (2004: 78-85; 87-90) mendefinisikan korupsi sebagai pemikiran untuk berkuasa dengan cara merampas, mencuri, merampok, menjilat, atau menyuap. Perilaku korupsi dan penyimpangan kekuasaan, menjadi problem akut yang sekarang ini menjadi penyakit kronis yang menggerogoti seluruh dimensi kehidupan. Korupsi dilakukan tidak saja pada birokrasi-kekuasaan, pusat bisnis, partai, lembaga-usaha, bahkan sampai pada lembaga pendidikan dan keagamaan. Gejala ini nampaknya sudah sampai pada taraf yang nyaris mustahil disembuhkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa korupsi sudah demikian mengakar dalam sistem, dan bahkan dalam nilai-nilai budaya yang cenderung membenarkan tindakan haram tersebut. Hal ini terlihat dari pesimisme dan sekaligus sinisme yang berkembang di masyarakat ketika isu ini menjadi topik perbincangan.

Ragam korupsi terjadi dan menjelma dalam berbagai bentuk. W.F. Wertheim (1965) menyebut diantaranya: (1) penyuapan, (2) pemerasan, (3) nepotisme. Dalam terminologi ajaran Islam mirip dengan (1) risywah, yang dimaknai oleh Azumardi Azra (2000: 3) dengan suap. Menurutnya, pola seperti ini akan mengacaukan manajemen organisasi, lembaga pemerintah, karena relasi yang terjadi bukan pada standar mutu, tetapi jumlah nominal tertentu. Alasan inilah dalam tradisi Islam sering menyebut harfiah suap dengan al-birthil, yang berarti ‘batu bulat jika dibungkamkan ke mulut seseorang ia tidak dapat berbicara apa pun’ (M. Al Azhuri III/I). Suap membungkam seseorang dari kebenaran (A’la, 2004: 181-2). (2) Ghulul (penipuan), menurut Masdar F. Mas’udi (2001: 13) dapat terjadi kepada seseorang yang diberi amanah tertentu, diupah dengan harga tertentu, meminta biaya tambahan sebagai imbalan terhadap orang yang menggunakan jasa pada bidang yang menjadi otoritasnya. (3) Ulama mutakhirin mengidentikan dengan syariqoh, yaitu pencurian, penjarahan, dimana dengan wewenang yang dimiliki, Ahl zimmah, penguasa mengambil kesempatan dengan menggunakan otoritas yang dimilikinya, mengambil keuntungan untuk memperkaya diri. Secara khusus syariq biasa merujuk pada pencurian tanpa hak, yang dilakukan seseorang, lembaga atau penguasa.

Penyimpangan yang membawa pengaruh yang sangat luas ini harus secepatnya dibenahi. Korupsi biasa terjadi akibat rendahnya perilaku kekuasaan dan rendahnya kontrol diri, pengawasan, yang menyebabkan penyimpangan. Akibat akut dari kontrol diri yang lemah ini, banyak orang, pejabat yang ramai-ramai menjarah uang yang seharusnya ia kelola untuk memakmurkan masyarakatnya. Kwik Kian Gie menyatakan bahwa korupsi harus di berantas. Pemberantasan korupsi yang diistilahkan KKN, harus menjadi prioritas utama, karena kalau mengabaikan ini, apa pun yang dilakukan untuk memperbaiki bangsa ini tidak akan optimal. KKN adalah akar dari segala praktek permasalahan bangsa yang sedang kita hadapi dewasa ini. KKN is the root of all evil (2003: 1). Perilaku korupsi selain menciptakan kesulitan hidup masyarakat, mengacaukan manajemen organisasi/pemerintah, menghilangkan kepercayaan publik, lambat laun juga akan membentuk sikap mental, nilai, budaya, pola pikir, dan tindakan seseorang yang disebut corrupted mind.

Budaya korupsi, kolusi, nepotisme pada dasarnya berpusat pada kultur politik yang menjadi struktur birokrasi kekuasaan (Asy’ari, 2001: 66; 2005), tetapi ini juga berlaku bagi siapa saja yang bermental korup. Budaya korupsi, menurut Robert Klitgard (2001: 123) bisa juga berlaku bukan saja, pada setiap orang yang melakukan korupsi, tetapi juga diperparah gejala, kebanyakan orang yang enggan melaporkan koruptor. Laporan UNDP 2001 yang dipresentasikan pada 20 Oktober 2001, menyebutkan bahwa korupsi disektor publik itu dianggap lazim oleh 75% responden. Ini diperparah oleh temuan lainnya bahwa 45% dari repsponden bukan hanya menduga tentang praktik korupsi, tetapi terlibat secara langsung dalam praktik ini. Terutama menyangkut pejabat daerah. Dari 40% responden yang telah melihat korupsi, kurang dari 10% yang dilaporkan. Responden rumah tangga menempati prosentase tertinggi dalam hal tak melaporkan kasus korupsi (98%). Penelitian ICW (Indonesian Corruption Watch), sebanyak 43,7% responden tak melaporkan korupsi, 29,9% menegur, dan 26% melaporkan.

Pengawasan dan kontrol masyarakat yang minim, menyebabkan korupsi menyebar ke segala penjuru. Waterbury menyebut tiga hal penyebaran utama masalah ini; (1) korupsi epidemis, berhubungan dengan kegiatan pemerintahan, menyangkut perizinan, menyangkut penegakan hukum, pelayanan dan sebaginya, (2) korupsi terencana, berhubungan dengan politik, penyimpangan anggaran (mark up, duplikasi, fiktif), (3) korupsi pembangunan, berkait dengan peningkatan usaha rumah tangga, seperti pengusaha, export, import, produsen, penyalur, dan sebagainya.

Dalam pasal 2 dan 3 UU No. 31/1999, menyebutkan bahwa tindakan seseorang disebut korupsi, apabila memuat beberapa unsur berikut : (1) bertentangan dengan hukum, (2) memperkaya diri sendiri atau orang lain/lembaga tertentu, (3) merugikan keuangan negara, (4) menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau lembaga tertentu, (5) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana karena jabatan atau kedudukan.

Menurut Suparno, “Korupsi terjadi karena disebabkan lemahnya mental agama pelaku, kolusi, lemahnya pengawasan masyarakat dan pemerintah, dan lemahnya manajemen serta administrasi” (Kompas, 11 Maret 2003). Hal ini ditambah dengan lemahnya peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum. Korupsi dewasa ini dapat terjadi kapan pun dan di mana pun. Di legislatif, misalnya dalam pembuatan kebijakan (DPD, DPRD, DPR, MPR, BPD). Korupsi pada eksekutif bisa terjadi, misalnya dalam pelaksanakan kebijakan (RT, RW, desa, kelurahan, kabupaten, kecamatan, kota madya, propinsi, pemerintah pusat, BUMN, BUMND), sekolah, rumah sakit, kepolisian, militer, departemen, dan lain-lain. Korupsi di Yudikatif sangat erat terkait dengan lembaga peradilan (kejaksaan, pengadilan, Mahkamah Agung, Badan Pengawas, Dirjen hingga BPK). Pada kehidupan swasta juga terjangkit persoalan korupsi, misalnya badan, industri kecil, menengah, besar. Organisasi politik dan kemasyarakatan; seperti parpol, ormas, OKP, yayasan, kelompok kerja, LSM dan lain-lain.

Sementara jika diamati, pelaku korupsi dapat dilakukan siapa saja yang menyalahgunakan wewenang, penyuapan, penggelapan, penipuan, dan pemerasan. Korupsi juga dapat dilakukan oleh anggota BPD, DPRD, DPR, MPR, RT, RW, camat, kepala desa, bupati, walikota, gurbernur, presiden, direktur, dan bawahan-bawahannya. Pelaku korupsi yang paling ramai di lembaga peradilan, yang melibatkan jaksa, hakim, terdakwa, pengacara dan sebagainya.

Teten Masduki (2001: 15) menyebutkan penyalahgunakan kekuasaan saat ini makin menyebar dan dilakukan orang yang memegang kekuasaan. Ciri-ciri pelaku biasanya: (1) memiliki jabatan atau wewenang, (2) dilakukan secara sembunyi-sembunyi, (3) berlindung dibalik pembenahan hukum, (4) melanggar norma masyarakat, (5) melibatkan beberapa orang yang memiliki jabatan dengan timbal balik keuntungan dan (6) korbannya adalah masyarakat dan negara.

Sesuatu yang sangat menyedihkan, Indonesia yang jumlah penduduknya 210 Juta Jiwa, mayoritasnya (80%) adalah pemeluk agama Islam, namun masalah korupsi pada peringkat nomor satu. Besarnya pemeluk Islam yang mayoritas ini, belum sejalan dengan harapan dan cita-cita Islam membentuk masyarakat adil, etis, egaliter, yang memiliki keamanan ontologis, baik secara individu maupun masyarakat. Jumlah besar pemeluk agama ini masih belum disertai kualitas, sehingga agama gagal dalam menjadi basis nilai untuk menunjang pembangunan. Malah sebaliknya, agama hanya sebagai tirai yang cenderung dimanipulasi. Korupsi di negeri kaum beragama, adalah satire bagi legitimasi keagamaan. Adakah korupsi itu identik dengan iman? Padahal nalar sehat mafhum, tak mungkin iman yang tulus dan ikhlas menerima korupsi. Ini jelas faktor kemunafikan semata.

Saatnya mengambil pelajaran penting, pendidikan Islam berbicara dan fokus pada masalah realitas. Bagaimana Pendidikan Islam menjadi nilai penting sebagai pengalaman individu, penunjang akhlak sosial, sehingga akrab sebagai pengalaman sehari-hari. Jika pendidikan Islam berkutat pada persoalan normatif, spiritualitas semata, akan menuai kegagalan dalam tingkat implementasi. Akibatnya, hiprokasi, kemunafikan menjamur sebagai penyakit mental yang sulit disembuhkan. Fenomena belakangan ini, muncul orang bagus dari sisi luar, fisik, tetapi sebenarnya ia sakit, hina, karena mengorbankan hal yang paling asasi dari dirinya, yaitu kebaikan hatinya.

Inilah penyakit mental terbesar dasa warsa terakhir ini. Orang mengkhianati hati nuraninya. Manusia bohong pada diri sendiri, sehingga tidak aneh jika banyak orang merasa tak berdosa jika berbohong di depan publik. Demi kekuasan, uang dan kedudukan, apapun dikorbankan asal tujuan tercapai. Kondisi seperti ini akan menggiring pada wilayah yang sering disebut Syed Husain Al-Atas (1981; 1987) dengan sosiologi korupsi.

Amanah Kekuasaan

Islam adalah agama nilai, dimana ajarannya kaya akan petunjuk bagi umat manusia. Atas alasan ini Islam menyebut dirinya rahmatan lil ‘alamin, karena memang jika diterima sepenuhnya, nilai-nilai, aturan hukum, dan norma-norma yang dikandung ajarannya, akan menciptakan struktur masyarakat yang adil dan didasarkan pada etika (Rahman, 1996: 54).

Dalam hubungannya dengan masyarakat dan relasi diantara anggota masyarakat, prinsip persamaan, persaudaraan, musyawarah, kebebasan, dan keadilan harus diutamakan sebagai nilai-nilai yang membatasi, sekaligus menjadi acuan nilai di dalam masyarakat yang dibentuk oleh manusia. Dalam Islam ada istilah al-kulliyat al-khamsah yang terdiri dari: memilihara agama (hifz ad-dîn), menjaga keturunan (hifz al-nasl), memelihara kreativitas akal (hifd al-‘aql), menjaga keselamatan jiwa (hifd al-nafs), dan menjaga hak milik (hifd al-mâl). Ini merupakan kaidah yang harus dihormati, sebagai sarana memelihara keseimbangan dalam interaksi anggota masyarakatnya, sehingga tidak ada kezaliman, menghisap, menindas, hegemoni dan semacamnya.

Untuk itu, ahli dzimmah, ahli amanah, penguasa dan siapa saja yang diberi atau menerima amanat dari anggota, masyarakat, atau lembaga, harus memelihara dengan sebaik-baiknya. Al-Qur’an menyebut dalam surat al-Nahl ayat 90, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan berbuat baik”. Begitu juga dalam surat an-Nisa ayat 58, Al-Qur’an menjelaskan: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menyampaikan amanat kepada ahlinya”. Dari ayat di atas, ada dua kunci yang menjadi dasar nilai yang hendaknya ada pada seorang pemimpin, yaitu tuntutan untuk berbuat adil dan amanah.

Konsep amanah itu melebur dari komitmen pemimpin, baik dalam rasa atau perbuatannya. Sebagian ulama memberi tafsir amanah sebagai perasaan seseorang dengan segala perangainya pada setiap perkara yang diserahkan kepadanya, (Hamsiy, t.th.).

Sedangkan makna adil, sebagian mufasir menjelaskan makna adil sebagai ‘memberikan setiap hak kepada orang yang berhak menerimanya’. Pemaknaan ini lebih emansipatoris dari pendekatan konvensional yang menyebut adil sebagai ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’. Karena sering berlaku tidak demokratis, karena melihat sesuatu berdasarkan posisi dan kedudukan, tidak seimbang antara satu dengan yang lainnya.

Kedua konsep di atas, yaitu adil dan amanah, adalah dua hal yang memiliki nilai tinggi, sebagai rambu-rambu yang menjadi acuan pemimpin atau ahli amanah. Jika mengabaikan dua prinsip di atas, pemimpin akan menjadi sewenang-wenang, otoriter, dan hanya memerhatikan dirinya sendiri. Akibatnya, betapa banyak organisasi, lembaga, badan usaha, departemen, sampai negara yang jatuh terperosok dalam krisis yang berkepanjangan. Pangkalnya dari pemimpin atau ahli amanah yang tidak adil lagi amanah, (Sulhan, 2004: 151-171). Akibatnya, inefisiensi dimana-mana, lemahnya kualitas lembaga, etos kerja menurun, bahkan krisis kepemimpinan selalu terkait dengan tidak adanya komitmen yang tegas pada keadilan dan amanah. Praktik telanjang dari tidak adanya amanah dari kalangan pemimpin dapat disaksikan tiap detik di negeri ini.

Amanah dan adil, semua orang mudah mengingat, tetapi sulit diwujudkan dalam komitmen. Untuk hal ini harus dimulai menjadi kesadaran umum, membiasakan diri berbuat jujur, adil dan tidak menggunakan barang yang bukan menjadi haknya. Para pemegang amanah, sejak dini harus menyadari bahwa amanah itu nanti akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah SWT. Salah satu Hadits riwayat Bukhori, Nabi menyebut bahwa, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggung jawabannya,” (HR Bukhari).

Pemimpin adalah abdi bagi umatnya. Pemimpin adalah pelayan masyarakatnya, karena umat yang memberi amanah. Umat yang memilih, untuk itu setiap kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kemaslahatan umat. Kaidah fikhiyah menyebutkan ‘tasarraful imâm ala ra’iyyatihi manûtun bil maslahah; kebijakan seorang imam atau pemimpin harus mengacu pada kemaslahatan masyarakatnya’.

Jika pemimpin, masyarakat dan siapa saja mau mendengar suara hati, menggunakan mata dan telinga yang benar, maka tidak akan pernah ada cerita tentang penyimpangan, penyelewengan, korupsi, manipulasi, duplikasi atau proyek fiktif. Kasus-kasus seperti BUMN yang mencapai kerugian nyata sebesar 17.09 triliyun, yang menimpa PT DI, PT KAI, PT TASPEN, dan PT PUSRI adalah karena adanya biaya tinggi dan rendahnya mentalitas prilaku kekuasaan. Untuk itu saatnya untuk mendengar nasihat dari dalam diri manusia. Dalam surat Al-Isra ayat 36 diebutkan: “Sesungguhnya penglihatan, pendengaran dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawaban”.

Jika semua ahli amanah, pemimpin, dan siapa saja yang memiliki komitmen pada suara hati, nilai-nilai Islam dan nasihat sekelilingnya, maka tidak ada lagi penyimpangan. Kekecewaan masyarakat yang memiliki hak, dapat diminimalisir sedemikian rupa. Karena kesewenang-wenangan seorang pemimpin sangat melukai hati nurani masyarakat. Nasehat ini harus menjadi renungan, guna mencapai tujuan pendidikan Islam, yaitu untuk memperoleh keamanan ontologis baik pada tingkat individu maupun masyarakat.

Pahala dan Hukuman: Metode Pendidikan Islam

Pahala dan Hukuman (at-targhib wa tarhib) adalah bentuk ancaman dan juga reward sebagai panduan etis untuk basis berperilaku. Dalam istilah lain sering disebut dengan carrot and stick. Metode ini menjadi pilihan alternatif ketika metode yang lebih halus tidak sanggup memberikan pemecahan terhadap problem kehidupan manusia. Muhammad Qutub (1984) mengatakan: “Bila teladan dan nasihat tidak mampu, maka pada waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakan persoalan di tempat yang benar. Tindakan itu adalah hukuman”.

Islam menggunakan seluruh teknik pendidikan, tidak membiarkan satu jendelapun yang tidak dimasuki untuk sampai ke dalam jiwa. Islam menggunakan contoh teladan dan nasihat, serta pahala dan hukuman, tetapi disamping itu juga menempuh cara dengan menakut-nakuti dan mengancam dengan berbagai tingkatannya dari ancaman sampai pada pelaksanaan ancaman itu. Di dalam Al-Qur’an, hukuman biasa dikenal dengan nama “adzab” yang diulang sebanyak 373 kali (Baqy, tt: 450). Jumlah yang besar ini menunjukkan perhatian Al-Qur’an yang amat besar terhadap masalah hukuman ini. Ini berarti sekaligus meminta perhatian umat manusia.

Sedangkan kata pahala dalam Al-Qur’an disebut dalam kata “ajrun” yang diulang sebanyak 150 kali dan ini tentu jumlah yang cukup besar. Berkaitan dengan hukuman ini, misalnya dijumpai ayat-ayat yang artinya: “Bila kamu tidak patuh, seperti dulu kamu pernah tidak patuh Dia akan menghukummu dengan siksaan yang pedih” (Q.S. 48 :16), “Bila kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan menggantimu dengan bangsa lain”, (Q.S. 9: 74), “Bila mereka tidak patuh, maka Allah akan menghukum mereka dengan hukuman yang pedih di dunia dan di Akhirat (Q.S. 9: 74), “Laki-laki dan perempuan yang berzinah, masing-masing deralah 100 kali”, (Q.S. 24: 24), “Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah olehmu kedua tangannya, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan”, (Q.S. 5: 38).

Ayat-ayat tersebut selain mengakui keberadaan hukuman dalam rangka perbaikan umat manusia, juga menunjukkan bahwa hukuman itu tidak diberlakukan kepada semua manusia, melainkan khusus kepada manusia yang melakukan pelanggaran saja. Manusia yang seperti ini, biasanya sudah sulit diperbaiki hanya dengan nasihat dan keteladanan, melainkan harus lebih berat lagi, yaitu hukuman.

Berdasar pada pendapat Muhamad Qutub, dan juga argumentasi pada ayat di atas, maka metode pendidikan Islam yang tepat bagi penyimpangan atau perilaku korupsi adalah melalui ancaman dan hukuman. Hukuman ini menjadi sarana ancaman bagi para pelaku korupsi dengan segala derivasinya baik dalam bentuk syariq, ryswah atau ghulul. Dalam surat Al Maidah ayat 38, Al-Qur’an menyebut: “Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya olehmu sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan”, (Q.S. Al Maidah: 38). Sabda Nabi: “Orang-orang terdahulu itu binasa karena bila seorang pejabat mencuri atau menjarah, mereka membiarkannya saja, namun bila yang mencuri rakyat kecil, maka ditegakkan hukum atasnya, (H.R. Bukhari dan Muslim).

Ancaman terhadap ryswah sangat jelas disebut dalam surat Al-Baqarah: 188. Allah berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan cara berbuat dosa, padahal kamu mengetahui”. Sabda Nabi: “Allah mengutuk orang yang menyuap dan yang menerima suap”, (H.R. Ahmad); “Rasulullah SAW. melaknat orang yang menyuap dan menerima suap”, (H.R. Imam Abu Daud dan Al Tirmidzi); “Orang yang menyuap dan yang disuap, Neraka tempatnya”, (Al Hadits).

Ancaman penipuan (ghulul) nampak dari sabda Nabi, dari riwayat Makil bin Ya’sar r.a., berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda, ‘barang siapa ditaklifkan Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga padanya,’” (H.R. Bukhori).

Dari Khaulah Al Anshoriyah r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menggunakan harta orang-orang muslim secara bathil, bagi mereka adalah api Neraka di akhirat,’” (H.R. Bukhari).

Sabda Nabi diriwayatkan dari Urwah bin Murah, berkata kepada Muawiyah, sesunguhnya saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang pemimpin mengunci pintunya sehingga orang-orang yang mempunyai kepentingan, kefakiran, dan kemiskinan menjadi terhalang, kecuali Allah akan mengunci pintu-pintu langit, sehingga ia terhalang kepemimpinannya, kefakirannya, dan kemiskinannya”. Maka Muawiyah menjadi pemimpin yang berada di atas keperluan-keperluan manusia (H.R. Timidzi). Dari riwayat Aisyah r.a., Rasulullah bersabda: “Ya Allah, semoga orang yang mengurusi umatku, lalu mereka memberatkan mereka, maka beratkanlah dia. Dan barang siapa mengurusi urusan umatku lalu menyayangi mereka, maka sayangilah dia,” (H.R. Muslim).

Haramnya ghulul terlihat juga dalam Lu’lu’ wal Marjan dimana Nabi berdiri di hadapan para sahabat menerangkan tentang ghulul. Hadis tersebut berbunyi: “Berdiri Nabi di hadapan kita berbicara tentang ghulul dan besar dosanya, ‘Jangan sampai aku bertemu dengan salah satu dari kalian di hari Kiamat, di punggungnya kambing yang sedang mengembek, pada pundaknya kuda yang sedang beker’. Mereka berkata: ‘Tolonglah saya ya Rasulullah?’ Jawab Nabi, ‘Saya tak ada kuasa apa-apa padamu, saya sudah sampaikan kepadamu berita (ghulul). Orang yang di pundaknya unta yang sedang bersuara beker’. ‘Tolonglah aku ya Rasulullah?’ Jawab Nabi, ‘Aku tak punya kuasa padamu suatu apa pun. Sudah kusampaikan berita (ghulul) kepadamu’”, (H.R. Bukhori).

Sementara hadis dari Ibnu Hamid As-Saidi, tentang haramnya menerima hadiah dari pekerjaan. Dapat dilihat berikut ini. Katanya, “Nabi menugaskan seorang laki-laki dari Bani As’at yang disebut Ibnu Al Lutiyah untuk mengambil zakat, kemudian setelah kembali ia berkata kepada Nabi: ‘Ini untuk tuan dan ini diberikan kepadaku’, kemudian Nabi bangkit ke mimbar, Nabi menyebut puji Allah dan menyanjung-Nya lantas bersabda, ‘Apa-apaan tugas ini, aku utus kembali seraya berkata, ‘Ini untukmu dan ini diberikan kepadaku?’ Maka cobalah ia duduk saja di rumah orang tuanya (tidak menjadi petugas) dan mengandaikan ia diberi hadiah atau tidak? Demi Zat yang di tangan-Nyalah diriku, maka ia tidak mendapat apa-apa kecuali datang di hari kiamat dengan memikul di atas leher, kalaupun berupa unta, sapi atau kambing yang semuanya meringkik.’ Kemudian Nabi mengangkat kedua tangannya sampai kulihat putihnya ketiak beliau dan sabda Nabi, ‘Bukankan telah aku sampaikan?’” diulanginya tiga kali, (H.R. Bukhari).

Alasan yang paling mendasar kenapa Nabi melarang hadiah bagi pegawainya itu adalah kekuasaan. Hal ini terekam dari sabda beliau, “fahala jalasa fi baiti abihi…, dari sini juga dapat pula dijadikan dasar hukum, hibah atau hadiah aparat, para pejabat, pekerja, hakim dan lain-lain. Larangan hukum ini terjadi akibat indikasi tidak akan diberikan kecuali karena dijadikan alat bagi pemberinya untuk melemahkan hati orang yang diberi. Jika hati berhasil dikuasai, otomatis ia akan selalu memihak kepada pemberi. Hadis Nabi, riwayat Ahmad dan Bukhari dari Abu Hamid As-Saidi dari Abas dari Nabi SAW.: “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: ‘Hadiah-hadiah pada pejabat adalah pengkhianatan’”. Rasulullah menegaskan, dari riwayat Abu Ya’la dari Khuzaifah, Rasulullah bersabda: “Hadiah-hadiah para aparat (negara) haram hukumnya”.

Sementara dari hadis riwayat Ali r.a., Nabi bersabda: “Penerimaan hadiah oleh seorang penguasa adalah bentuk pengambilan barang haram dan penerimaan suap seorang hakim adalah bentuk kekufuran”.

Berdasarkan hadis-hadis tersebut, Umar bin Khattab memberi peringatan keras kepada para pegawainya, “Berhati-hatilah pada hadiah, karena hadiah termasuk suap”. Ungkapan ini disandarkan pada hadis dari Buraidah dari Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa kami kerjakan untuk tugas tertentu dan kami telah memberinya rizki atau ongkos sebagai gaji tetap, maka apa pun yang diambil di luar ketentuan gaji itu adalah bentuk penghianatan (ghulul)”.

Sebaliknya, jika para pemegang amanah itu adil dan istiqomah terhadap tanggung jawabnya, baginya pahala yang baik dari sisi Allah. Firman Allah, “Mereka itu balasannya ampunan dari Tuhannya, dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang-orang yang beramal (Q.S. 3: 135). Sabda Nabi pula, “Pemimpin adalah payung Allah di muka bumi, berlindung kepadanya orang-orang yang teraniaya dari hamba-Nya, jika adil baginya pahala, dan rakyat akan bersyukur, tetapi jika ia kejam, centang dan zalim, baginya dosa”, (H.R. Ibnu Majah).

Beberapa Hadis dan Firman Tuhan di atas, dapat dijadikan panduan etis dalam membina perilaku manusia dalam mengemban amanah kekuasaan. Untuk itu metode ini kiranya dapat dipromosikan sebagai kampanye anti korupsi, sekaligus sebagai kontribusi pemikiran pendidikan Islam dalam ikut membenahi praktik penyimpangan kekuasaan yang demikian luar biasa dampaknya bagi kehidupan secara keseluruhan. Sekaligus komitmen pendidikan Islam dalam merespon problem riil yang terjadi saat ini.

Simpulan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan secara sederhana dalam dua catatan berikut ini.

1. Metode pendidikan Islam bisa meminimalisir penyimpangan dan praktik korupsi, melalui metode pahala dan hukuman. Cara ini merupakan pilihan, sebab metode cerita, keteladanan, nasihat, kisah-kisah, pembiasaan, ceramah dan diskusi, kurang membawa perubahan yang signifikan. Metode ancaman dan pahala menjadi pilihan terakhir, guna ikut meminimalisir perilaku korupsi yang sudah demikian membudaya, merasuk di berbagai lini kehidupan.
Keberadaan hukuman dan pahala diakui dalam Islam dan digunakan dalam rangka membina umat manusia melalui kegiatan pendidikan. Hukuman dan pahala ini diberikan kepada sasaran untuk pembinaan yang lebih khusus, yaitu hukuman untuk orang melanggar dan berbuat jahat, sedangkan pahala untuk orang patuh dan menunjukan perbuatan baik. Pahala dan hukuman menjadi semacam panduan etis bagi para pemangku jabatan, pekerja, dan para pemegang amanah yang mengurusi masalah publik.
2. Problem korupsi adalah problem mentalitas, problem akhlak dan problem lemahnya kontrol diri. Melalui metode pahala dan hukuman, pendidikan Islam dapat diperkenalkan sejak dini, menyangkut kekayaan tentang nilai, konsepsi dan antologi kekuasaan. Tujuan pendidikan Islam untuk membentuk kepribadian sempurna, sikap mental yang kokoh, memperbaiki budi pekerti sebagaimana dikampanyekan Hamid Affandi (1996), Athiyah (1978), Al-Ghazali atau Syed Ali Ashraf, dapat diwujudkan dalam tingkat implementasi, aktualisasi dalam setiap tindakan. Membentuk kepribadian total manusia yang tidak mudah terombang ambing, khususnya ketika berhadapan dengan kekuasaan. Perfect humanisme, istilah Edgar Faure (1972), manusia yang memiliki budi pekerti istilah Athiyah, memang perlu diperjuangkan guna mencapai struktur masyarakat bebas korupsi.


Daftar Pustaka

Abdalati, H. (1981). Islam dalam Sorotan. Anshari Thoyib (Pent.). Surabaya: Bina Ilmu.
Abrasiy, Al-, A. (1978). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bintang.
Affandi, M.H. “Nahwa Manhaji Islamiatin”, diindonesiakan dalam publikasi Jurnal Lektur, seri 4. 1996.
Ahmad, M.A.Q. (1981). Thuruq at Ta’lim at Tarbiyat al Islamiyat. Mesir: Maktab an Nahdlah al Misriyat.
Atas, Al-, S.H. (1981). Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES.
Atas, Al-, S.H. (1987). Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.
A’la, R. (2004). ”Suap dalam Perspektif Islam”, dalam Korupsi di Negeri Kaum Beragama. Jakarta: P3M-Partnership.
Asy’ari, M. (2005). “Keluar dari Kemelut Multi Dimensi”, dalam Memerangi Korupsi. Jakarta: P3M.
Azra, A. (2000). Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.
Burhan, AS. (Editor). (2004). Menolak Korupsi; Membangun Kesalehan Sosial. Jakarta: P3M.
Faure, E. et al. (1972). Learning To Be World of Education To Day and Tomorrow. London: UNESCO Press.
Gie, K.K. (2003). Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan. Jakarta: tp. Edisi revisi, II.
Hamsiy, A. (t.th.). Al Quran al Karim al Bayan ma’a Asbab an Nuzul li as Suyuty. Beirut: Dar Fikr.
Imarah, M. (1996). Hal al Islam Huwa al Hall: Kaifa wa Limadza? Kairo: Dar al Shorouk.
Langgulung, H. (1980). Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al Ma’arif.
Marimba, A.D. (1962). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al Ma’arif.
Masduki, T. (2004). “Strategi Memerangi Korupsi”; “Gerakan Sosial Memerangi Korupsi; “Suatu Pilihan Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih”, dalam Korupsi di Negeri Kaum Beragama. Jakarta: P3M-Partnership. hal. 78-85 dan 87-90.
Masduki, T. Orasi 100 Hari Hari Rusli. Bandung, 2 April 2005.
Mas’udi, M.F. “Syariah Islam tentang Uang Negara”, dalam Halaqah, Edisi 12 tahun 2001.
Mohadjir, N. (1996). “Pendidikan Islam untuk Kemanusiaan”, dalam Jurnal Lektur, Cirebon, LKPPI, IAIN Cirebon.
Qutb, M. (1984). Sistem Pendidikan Islam. Bandung: Ma’arif.
Rahman, F. (1992). Tema-Tema Pokok Al Quran. Bandung: Mizan.
Saibaniy, As., U.M.T. (1979). Falsafah Pendidikan Islam. Hasan Langgulung (Pent.). Jakarta: Bulan Bintang.
Sulhan, M. (2004). “Agama, Anggaran Publik, dan Gerakan Anti Korupsi”, dalam Memerangi Korupsi; Geliat Agamawan Atas Problem Korupsi di Indonesia. Jakarta: P3M-Partnership.
Suparno, P. “Pemberantasan Korupsi Lewat Pendidikan,” dalam Kompas, 11 Maret 2003.

Moh. Sulhan, dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. E-mail: Crisis5kng@yahoo.co.id.

PEMBELAJARAN PAI MEMBUTUHKAN INFORMASI TEKNOLOGI

Penulis : Sapiudin Shidiq


Abstrak

Didaktika Islamika - Information Technology (IT) has strategic purposes in the teaching of Islamic Education (PAI). As auxiliary equipment, Information Technology can accelerate the teaching of Islamic education effectively and easily. Because of Information Technology signification, the teaching of Islamic Education which lefts behind in human resources and instrument of information technology has to be able to catch up fact of having fallen behind with improvement of human resources and provisioning of information technology both in the school area and out of the school area.

Kata Kunci: pembelajaran PAI, peran Informasi Teknologi


Pendahuluan

Pertengahan November 2009, Jurusan Pendidikan Agama Islam Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Keguruan UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyelenggarakan Seminar Internasional dengan tema "Pembelajaran Pendidikan Agama Islam Berbasis Informasi Teknologi”. Tampil sebagai nara sumber, 1. Prof. Dr. Osman Bakar, guru besar emiritus dari Universitas Malaya Malaysia, 2. Dr. Ir. Lilik Gani HA., MSc, Phd., Direktur Pusat Teknologi dan Komunikasi Nasional (Pustekom). Seminar yang dihadiri lebih dari seratus lima puluh orang perwakilan dari mahasiswa, guru, dan dosen se-Indonesia itu berlangsung khidmat mulai dari pukul 9.00 sampai dengan jam 13.00.
Tema di atas sangat relevan dengan kondisi bahwa pembelajaran PAI mengalami ketertinggalan dalam penyediaan dan penggunaan teknologi. Jangankan untuk menciptakan teknologi, menggunakan teknologi yang sudah ada saja masih banyak yang gatek (gagap teknologi). Sudah selayaknya praktisi pendidikan merenungkan kritik yang dikemukakan oleh Abdul Halim Uwais (Khan, 2001) berikut ini:

Islam tidak membutuhkan upaya untuk dihidupkan. Setiap detik ajaran Islam selalu hidup dengan sendirinya dan segar seolah-olah baru lahir kemarin. Yang butuh dihidupkan adalah umatnya, ilmu-ilmu agama, dan cara penyajiannya. Ajaran Islam akan tetap eksis sepanjang masa, meski umatnya sudah tidak memerdulikan… yang benar adalah bagaimana menghidupkan semangat umat Islam agar setia dengan ajaran Islam dalam setiap aktivitasnya, sehingga dapat menikmati kebenaran Islam.

Osman Bakar menyoroti persoalan pembelajaran PAI berbasis IT dari aspek filosofis. Menurutnya, pembelajaran PAI berbasis IT sudah diterapkan sejak awal pengajaran Islam, yaitu sesuai dengan tingkat kemajuan teknologi saat itu. Jadi menurut guru besar yang sudah mengarang lebih dari sepuluh buku dan dua ratus lebih artikel itu, sesungguhnya ajaran Islam sangat mendukung kemajuan IT sebagai sarana yang mampu memudahkan proses pembelajaran agama Islam. Tanpa IT, proses untuk mencapai tujuan pembelajaran PAI akan lambat dan tidak efektif. Hal ini sejalan dengan spirit hukum Islam yang menghendaki kemudahan dan menjauhi kesulitan bagi manusia.

Menurut Osman, kendala yang dihadapi oleh pendidikan Islam saat ini masih rendahnya kualitas SDM dan masih adanya segelintir umat Islam yang menolak kehadiran IT, meskipun jumlahnya tidak terlalu banyak. Padahal dalam penggunaan IT dibutuhkan sumber daya manusia, baik ia sebagai guru dan dosen ataupun murid dan mahasiswa yang memiliki kemauan dan kemampuan.

Lilik Ghani lebih menyoroti pembelajaran Islam berbasis IT dari sudut pandang aplikasi praktis. Menurutnya, bukan hanya pendidikan yang butuh teknologi, kita hidup sehari-hari pun tidak bisa lepas dari teknologi. Beliau mencontohkan, bahwa anda tidak bisa hadir ke seminar ini tanpa teknologi; pakaian yang anda kenakan sekarang ini adalah hasil teknologi. Sebagai Direktur Pustekom, Ghani banyak memberikan presentasinya dengan menggunakan tampilan audio visual yang menampilkan begitu banyaknya temuan teknologi yang dapat diakses dan dijadikan sumber informasi dalam pembelajaran agama Islam. Ghani juga memutar beberapa durasi temuan-temuan teknologi saat ini yang dapat dijadikan sebagai bukti bahwa saat ini telah ditemukan berbagai macam teknologi yang beraneka ragam dan super canggih.

Dari dua nara sumber di atas—yang melihat pembelajaran PAI berbasis IT dari sudut pandang yang berbeda (filsofis dan praktis), akhirnya dapat ditarik titik temu bahwa keduanya sepakat IT diperlukan dalam pembelajaran PAI. Namun pada tingkat praktis, penggunaan IT akan menghadapi kendala, baik dari segi sumber daya manusia maupun dari segi sarana. Tidak semua guru siap menggunakan IT dan tidak semua sekolah memiliki anggaran yang cukup untuk pengadaan sarana IT.

Apa Belajar itu?

Muhammad Ali Haidar, sekarang menjadi seorang siswa sekolah menengah, sebelumnya ia adalah lulusan sekolah dasar yang letaknya tidak jauh dari rumahnya. Ketekunan dan kerajinan yang dijalaninya menjadikan ia memperoleh rangking pertama ketika ujian kelulusan, prestasi yang tidak pernah dicapai sebelumnya. Pendidikan yang dilalui oleh Haidar dari jenjang ke jenjang yang lebih tinggi membawa perubahan dalam dirinya. Semakin hari Haidar terlihat menjadi anak yang dewasa dan tumbuh kesadaran yang kuat untuk mematuhi segala titah agama dan menjauhi segala larangan. Bukan sekedar itu, ia pun menjadi anak yang patuh terhadap peraturan yang dibuat oleh sekolahnya. Kini, Haidar bukan lagi anak yang cengeng, seperti anak kecil; ia bertambah dewasa secara fisik dan kejiwaan.

Perubahan pada diri Haidar, sebagaimana dilukiskan di atas itulah yang disebut dengan belajar, karena Haidar telah melakukan beberapa perubahan dalam dirinya. Dalam dunia pendidikan Haidar sedikitnya telah melakukan tiga perubahan:

1. Behavioral, yaitu perubahan dalam prilaku;
2. Konstruktivis, perubahan dari makna yang terbentuk dari sebuah pengalaman;
3. Proses informasi, perubahan dalam pengetahuan yang tersimpan dalam memori.

Dalam imu kejiwaan, belajar diartikan sebagai sebuah proses perubahan prilaku atau pribadi berdasarkan praktik atau pengalaman tertentu. Orang dapat dikatakan telah belajar apabila dalam dirinya terdapat ciri-ciri perubahan yang meliputi:

a. Perubahan intensional, yaitu perubahan yang terjadi karena intensitas pengalaman, praktik atau latihan yang dilakukan secara sengaja. Dengan kata lain, perubahan yang dilakukan secara sengaja melalui proses belajar, bukan secara kebetulan.
b. Perubahan menuju ke arah yang positif. Artinya perubahan yang sesuai dengan yang diharapkan, baik oleh siswa, guru atau lingkungan sosial.
c. Perubahan yang efektif, yaitu perubahan yang membawa pengaruh dan makna tertentu bagi siswa, setidaknya sampai batas waktu tertentu (Azhari, 2004: 124).

Prinsip Belajar

Kalau kita perhatikan, benda yang ada di sekeliling kita selalu berubah karena proses waktu yang terus berputar. Namun tidak semua yang berubah itu dapat dikatakan belajar. Anak ayam berganti hari semakin membesar, besi bertambah hari semakin berkarat, pakaian semakin hari semakin kusut dan jelek dan penyakit seseorang semakin hari semakin parah. Apa yang dicontohkan di atas adalah proses perubahan, tapi bukanlah perubahan itu dikatakan sebagai proses belajar. Karena perubahan di atas terjadi secara alamiah, yang tidak disadari.

Perubahan dalam belajar adalah perubahan yang disadari. Seorang siswa yang belajar harus menyadari bahwa dalam dirinya terjadi perubahan atau merasakan telah terjadi suatu perubahan dalam dirinya. Misalnya, siswa harus menyadari bahwa pengetahuannya, kecakapannya dan kebiasaannya telah bertambah.

Seorang siswa bernama Fawaz, ketika ia baru masuk sekolah Taman Kanak-Kanak, ia tidak mengerti menghitung, menggambar dan bernyanyi. Tapi ketika dua tahun belajar di TK, kini pengetahuannya bertambah; ia sudah bisa menghitung angka dari satu sampai sepuluh, sudah dapat menghafal rukun iman dan rukun Islam; kecakapannya bertambah pintar, ia sekarang sudah pandai menggambar dan kebiasaannya juga berubah, yang dulunya sering menangis kini tidak lagi sering menangis. Perubahan yang dialamai oleh Fawaz inilah suatu perubahan dari hasil proses belajar.

Perubahan dalam belajar sifatnya kontinyu dan fungsional. Perubahan ini menegaskan bahwa perubahan dari hasil belajar bukan sifatnya temporer atau sewaktu-waktu saja, tapi berlangsung terus menerus, bersifat dinamis, tidak statis dan memiliki nilai kegunaan. Seorang anak yang tadinya nakal, melalui belajar yang sungguh-sungguh dan terus menerus, ia tidak lagi nakal. Bahkan setelah diamati, ia sekarang menjadi anak yang soleh. Perubahan inilah yang sebenarnya dikehendaki dari proses belajar.

Perubahan selanjutnya yang dihasilkan dari hasil belajar adalah perubahan tingkah laku yang bersifat menyeluruh dan menyentuh semua aspek tingkah laku. Perubahan yang diinginkan dari belajar bukan bersifat parsial, hanya satu aspek saja, tapi bersifat menyeluruh mencakup semua tingkah laku. Jika seorang belajar, maka perubahan tingkah lakunya menyentuh semua aspek tingkah laku yang meliputi sikap, kebiasaan, ketrampilan, pengetahuan dan lain sebagainya. Contoh, Ali belajar naik sepeda, maka yang berubah pada diri Ali bukan hanya teknik mengendarai sepeda, tapi ia akan memahami tentang cara kerja sepeda, pengetahuan tentang alat-alat sepeda, cita-cita untuk memiliki sepeda yang bagus, kebiasaan membersihkan sepeda dan lain sebagainya (Azhari, 2004: 125).

Pendidikan Agama Islam (PAI)

Istilah yang tepat untuk pendidikan Islam—sebagaimana dikemukakan oleh Syed Naquib Al-Attas—adalah istilah "ta'dib". Karena kata ta'dib mengandung arti yang strategis. Kata ta'dib tidak terlalu sempit sekedar mengajar saja dan tidak meliputi makhluk lain selain manusia, (Al-Attas, 1999: 15). Dengan demikian kata ta'dib sudah mencakup di dalamnya kata ta'lim dan tarbiyah yang dalam prosesnya melibatkan tubuh, jiwa dan ruh melalui proses pengajaran dan pengasuhan yang baik. Argumen ini didukung oleh hadits nabi, “Tuhanku telah mendidikku maka prilakuku menjadi baik” (Al-Suyuti, t.th.: 51).

Pendidikan merupakan proses yang panjang, sistematis, dan terarah yang melibatkan tubuh, jiwa dan ruh. Meminjam definisi yang dipakai oleh Toumy al-Syaibany, bahwa pendidikan itu sebuah usaha untuk mengubah tingkah laku individu dalam kehidupan pribadinya, kemasyarakatannya dan kehidupan dalam alam sekitarnya melalui proses pendidikan (Al-Syaibany, 2002: 399). Perubahan tersebut harus melalui bimbingan jasmani dan rohani berdasarkan hukum-hukum Islam menuju terbentuknya kepribadian utama menurut ukuran Islam. melalui proses pengajaran (ta'lim) dan asuhan yang baik (tarbiyah) (Marimba, 1980: 23).

Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pada hakikatnya pendidikan Islam adalah proses perubahan akhlak manusia dalam kehidupannya yang luas melalui proses pengajaran dan asuhan yang baik, dilandasi oleh ajaran Islam menuju ke titik maksimal pertumbuhan dan perkembangannya, sehingga menjadi manusia yang berkepribadian muslim.

Dalam sistem pendidikan di negeri kita istilah pendidikan agama Islam dibakukan menjadi nama mata pelajaran yang isinya berisikan tentang pengajaran Al-Qur'an, hadits, fiqh, akhlak, dan sejarah Islam.

Mata pelajaran PAI di sekolah merupakan bagian integral dari kurikulum Nasional yang wajib diajarkan di sekolah. Hal ini ditegaskan dalam Undang-undang dan Peraturan Pemerintah RI tentang Pendidikan (h. 26) dalam bab X pasal 37 tentang kurikulum yang dinyatakan dalam dalam dua pasal berikut ini:

Pasal 1, kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat:

a. Pendidikan agama;
b. Pendidikan kewarganegaraan;
c. Bahasa;
d. Matematika;
e. Ilmu pengetahuan alam;
f. Ilmu penegtahuan sosial;
g. Seni dan budaya;
h. Pendidikan jasmani dan olahraga;
i. Ketrampilan/kejujuran, dan
j. Muatan lokal.

Pasal 2, kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat:

a. Pendidikan agama;
b. Pendidikan kewaganegaraan;
c. Bahasa.

Kalau kita perhatikan nampak dengan jelas dan tegas bahwa pendidikan agama disebut dalam dua pasal di atas, masing-masing berada pada urutan nomor satu, baik pada tingkat menengah maupun pada pendidikan tinggi. Hal ini menunjukkan bahwa pendidikan agama menempati posisi yang sangat penting dalam kurikulum pendidikan Nasional. Dan pada tingkat implementasinya terbukti bahwa, pendidikan agama yang terintegrasi dengan mata pelajaran lain memainkan peranan yang sangat penting dan memberikan sumbangan yang cukup besar dalam membantu mewujudkan pendidikan Nasional, yaitu menghasilkan generasi penerus bangsa yang handal, sebagaimana diamanatkan oleh UU dan Peraturan Pemerintahan RI Tentang Pendidikan (h. 7), bab II pasal 3 yang menyatakan, ”bahwa pendidikan Nasional bertujuan mengembangkan potensi peserta anak didik agar menjadi manusia beriman dan bertaqwa kepada tuhan YME, berakhlak mulia, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab”.

Sistem pendidikan di negeri kita dilihat dari pengelolaannya terdapat dualisme, pertama pendidikan yang diselenggarakan oleh departemen pendidikan Nasional (Diknas) dan ada pendidikan yang diselenggarakan oleh departemen agama (Depag). Sekolah yang masuk ke dalam pengelolaan diknas adalah SD, SMP, SMA, SMK dan sebagainya. Sedangkan sekolah yang masuk ke dalam pengelolaan Depag atau yang sering disebut dengan istilah madrasah adalah, MI (Madrasah Ibtidaiyah), MTs (Madrasah Tsanawiyah), dan MA (Madrasah Aliyah). Perbedaan pengelolaan di atas berimplikasi kepada perbedaan kurikulum. Pendidikan yang dikelola oleh Diknas, pengajaran pendidikan agamanya hanya 2 jam dalam satu mingga dan materi yang diajarkan sifatnya global. Sedangkan pada lembaga pendidikan yang dikelola oleh departemen agama pengajaran pendidikan agamanya bersifat lebih terinci dan lebih mendalam, dan jumlah jam pelajarannya juga lebih besar. Terdapat empat mata pelajaran yang termasuk dalam pengajaran PAI di madrasah, yaitu mata pelajaran Qur'an Hadits, Fiqh, Aqidah Akhlak, dan Sejarah Kebudayaan Islam (SKI).

Pembelajaran PAI Berbasis IT

Sebelum membahas tema tentang pembelajaran PAI berbasis IT, nampaknya perlu dijelaskan tentang perkembangan IT di dunia Islam. Hal ini penting karena selama berbabad-abad Islam pernah menjadi negara "adi daya" dalam bidang ilmu pengetahuan dan tekhnologi, sementara Barat masih dalam kegelapan. Paling tidak, sejarah emas Islam tersebut bagi ummat Islam saat ini bisa menjadi "mimpi" yang membangkitkan semangat untuk menemukan kembali masa emasnya yang hilang tersebut.

Informasi Tekhnologi di Dunia Islam

Sejarah mencatat, sejak abad kesembilan sampai abad ke lima belas kaum muslimin menjadi pemimpin intelektual di bidang sains dan tekhnologi. Ketika itu Barat berada dalam masa kegelapan. Implikasi dari masa lalu itu muncul dua bentuk respons terhadap masa keemasan tersebut. Pertama, ada ummat yang merasa kagum dengan prestasi masa lalu kemudian tenggelam dalam eskapisme terhadap realitas kemunduran ummat Islam saat ini. Tentu ini adalah sikap negatif yang tidak ada gunanya. Kedua, menjadikan masa kemajuan Islam sebagai ilham dan inspirasi untuk sekali lagi mencapai kehebatan itu dengan mengikuti langkah-langkah positif para pendahulu menuju kemajuan. Ini adalah respon yang sangat positif (Bakar, 2008: 397). Namun berdasarkan pengamatan, realitas ummat saat ini menunjukkan bahwa sikap ummat Islam masih mayoritas terbelenggu oleh respon pertama yang tidak banyak membawa kemajuan.

Kita harus mengambil pesan positif "periode keemasan" Islam. Caranya dengan mempelajari dengan baik sejarah itu dengan tujuan mengambil pelajaran yang berguna. Kita mesti tertarik untuk mengetahui faktor-faktor yang mampu menghadirkan kemajuan sains dan tekhnologi serta pertumbuhan pemikiran ilmiah yang kreatif dan orisinal. Kita pun perlu mengetahui faktor-faktor kemunduran dan stagnasi sains dan teknologi Islam. Menurut Osman Bakar penyebab kemunduran ini adalah gabungan antara hilangnya faktor-faktor positif dan munculnya faktor-faktor negatif. Penyebab munculnya kemajuan sains dan teknologi dalam Islam menurut Bakar (2008: 400) adalah sebagai berikut:

1. Kesadaran religius sebagai daya dorong untuk menuntut sains dan tekhnologi. Dari pemahaman yang benar tentang semangat tauhid akan mengalir penghargaan terhadap ilmu pengetahuan. Dengan kata lain, terjadi penyebaran ilmu pengetahuan dan semua aspeknya dengan luas.
2. Lahirnya gerakan penerjemahan yang berlangsung berabad-abad. Sejarah penerjamahan pada periode Islam klasik adalah yang terbesar dalam sejarah penyebaran pengetahuan.
3. Suburnya filsafat yang diterapkan pada pengajaran, kemajuan dan pengembangan ilmu.
4. Luasnya santunan bagi aktifitas sains dan teknologi oleh para penguasa dan wazir.
5. Adanya iklim intelektual yang sehat, sebagaimana diilustrasikan oleh sejarah bahwa para sarjana dari berbagai mazhab pemikiran (hukum, teologi, filsafat dan spiritual) melangsungkan debat intelektual secara jujur dan rasional tapi dalam semangat saling menghormati. Perdebatan antara Ibnu Sina dan al-Biruni adalah salah satu yang paling luar biasa dalam sejarah intelektual Islam.
6. Peran penting yang dilakukan oleh lembaga-lembaga pendidikan dan ilmiah terutama di universitas-universitas.

Tinjauan Filosofis

Pembelajaran PAI merupakan sebuah sistem yang di dalamnya terdapat berbagai komponen yang saling terkait dan memiliki fungsi masing-masing. Komponen terpenting yang sangat menentukan keberhasilan pembelajaran PAI adalah komponen sumber daya manusia, yaitu guru/dosen dan murid/mahasiswa dan fasilitas atau alat pendukung proses pembelajaran.

Menurut Osman, peran guru/dosen dan murid/mahasiswa sangat penting. Sebelum interaksi pembelajaran dimulai, harus ada semacam kontrak yang disepakati oleh kedua belah pihak tentang muatan ajaran Islam yang akan diajarkan, mengingat sangat luasnya aspek ajaran Islam yang tidak mungkin diajarkan dalam satu semester.

Langkah selanjutnya, guru/dosen dituntut untuk menjelaskan metodologi pengajaran. Menurut Bakar, ada dua macam metodologi pengajaran. Pertama metodologi konseptual. Pendekatan ini terkait dengan pendekatan (approaches) dalam rangka memahami ajaran Islam. Di dalamnya terdapat pendekatan filosofis, pendekatan sejarah atau historis, pendekatan sosiologis, dan sebagainya.

Kedua pendekatan teknikal yang terkait dengan isu-isu peralatan pengajaran (technical teaching tools), seperti penggunaan video, presentasi power point, internet, dan lain sebagainya (Bakar, 2009: 1).

Tak terbantahkan bahwa fungsi informasi teknologi saat ini dalam pembelajaran PAI sangat besar, namun yang perlu disadari oleh penggunanya, baik dosen atau mahasiswa, bahwa teknologi hanya sekedar alat bantu saja, bukan segala-galanya. Artinya, tanpa teknologi pun proses pembelajaran dapat berhasil, namun memerlukan waktu yang lebih lama.

Penggunaan teknologi bukan tanpa resiko, karena disamping ada sisi positifnya terdapat juga sisi negatif yang perlu dihindari. Di antaranya, belajar mandiri dengan menggunakan IT berarti meniadakan interaksi dengan guru yang memiliki pengaruh besar terhadap kejiwaan siswa, karena guru dapat membimbing, mengevaluasi, dan meluruskan moral siswa. Oleh karena itu, menurut Bakar, ada di kalangan ummat Islam yang masih menolak kehadiran IT dalam proses pembelajaran PAI. Dengan demikian IT ibarat dua sisi mata uang, sisi pertama penuh dengan nilai positif, sisi kedua penuh dengan nilai negatif. Sisi positifnya, dengan IT proses pembelajaran berkembang lebih cepat, lebih efektif, hasil penelitian lebih cepat dalam realisasi dan sosialisasinya. Sedangkan sisi negatifnya bahwa, kebenaran dapat bercampur baur dengan kepalsuan dan kekeliruan. Oleh karena itu, guru dan murid harus memiliki pemikiran kritis untuk dapat menilai antara yang benar dengan yang palsu dan antara yang baik dengan dengan yang buruk. Karena informasi bukan ilmu dan ilmu bukan hikmah (Bakar, 2009: 2).

Sebagai alat, peran IT tidak bersifat bebas nilai. Ia harus dibatasi karena dalam kontens pembelajaran PAI ada hal-hal yang tidak boleh untuk divisualisasikan. Contoh ketika menjelaskan tentang sifat rahman Allah, maka yang bisa divisualisasikan adalah sifat-Nya bukan zat-Nya. Contoh sifat rahman Tuhan, "seekor induk burung memberi makanan kepada anaknya". Adegan ini dapat divisualkan melalui IT, tapi Zat Tuhan tidak boleh divisualkan, karena Tuhan berbeda dengan ciptaan-Nya.

Untuk pembelajaran di bidang syariah, maka dapat divisualkan perkembangan institusi-isntitusi berdasarkan syariah sepanjang sejarah. Dalam bidang ibadah dapat divisualkan masjid, ka'bah dan sebagainya, dalam bidang ekonomi dapat divisualkan transaksi bank-bank Islam, dalam bidang pendidikan dapat divisualkan madrasah, pondok pesantren, dan lain sebagainya.

Selain hal di atas, masih banyak lagi pembelajaran PAI yang keberhasilannya mudah diraih jika menggunakan alat bantu IT. Dalam pembelajaran sejarah peradaban Islam dapat ditayangkan film tentang perjuangan nabi (selain nabi boleh divisualkan) seperti perang badar dan perang uhud. Film tentang penyebaran Islam di Nusantara (wali songo) yang menyebarkan Islam melalui bisnis dan perdagangan, film tentang tokoh saintis muslim seprti Ibnu Sina, al-Ghazali, dan sebagainya. Dalam bidang seni dapat divisualkan tentang keindahan seni kaligrafi, seni nasyid, seni sastra, dan lain sebagainya.

Pembelajaran PAI Butuh IT

Halimah adalah seorang guru agama di sebuah sekolah menengah. Setiap kali ia mengajar selalu menggunakan alat bantu berupa power point. Bukan hanya itu, ia pun mampu mengoperasikan internet; materi pelajaran yang dia sampaikan sebagiannya diakses dari internet. Dengan bantuan teknologi berupa power point dan internet, Halimah merasakan manfaat yang besar. Ia merasakan kemudahan dalam menjelaskan materi pelajaran. Sekarang ia tidak menggunakan kapur atau spidol untuk menjelaskan pelajaran. Halimah sebagai seorang guru, sebagaimana diilustrasikan di atas telah memaknai teknologi sebagai upaya untuk meningkatkan efektifitas dan efesiensi pengajaran.

Istilah teknologi telah dikenal manusia sejak jutaan tahun yang lalu, karena dorongan untuk hidup yang lebih nyaman, lebih makmur dan lebih sejahtera. Teknologi didefinisikan sebagai, “Cara melakukan sesuatu untuk memenuhi kebutuhan manusia dengan bantuan alat dan akal, sehingga seakan-akan memperpanjang, memperkuat atau membuat lebih ampuh anggota tubuh, pancaindera dan otak manusia”. Informasi (information: Inggris) berarti: keterangan; pemberitahuan, khabar atau berita tentang sesuatu.

Teknologi informasi adalah hasil rekayasa manusia terhadap proses penyampaian informasi dari pengirim ke penerima sehingga lebih cepat, lebih luas sebarannya, dan lebih lama penyimpanannya.

Kecanggihan informasi dan tekhnologi saat ini menjadikan interaksi antara guru agama dengan siswa tidak lagi dilakukan melalui tatap muka, tetapi juga dilakukan dengan menggunakan IT.Guru dapat memberikan layanan tanpa harus berhadapan langsung dengan siswa. Demikian pula siswa dapat memperoleh informasi dalam lingkup yang luas dari berbagai sumber melalui cyber space atau ruang maya dengan menggunakan komputer atau internet. Saat ini yang paling mutakhir adalah berkembangnya apa yang disebut cyber teaching [?] atau pengajaran maya, yaitu proses pengajaran yang dilakukan dengan menggunakan internet.

Oleh karena itu, menurut Gani, kehadiran IT dalam dunia pendidikan mengandung arti yang sangat strategis. Pembelajaran dengan menggunakan IT akan lebih mudah, lebih cepat dan lebih jelas. Dengan informasi tekhnologi seorang guru tidak perlu memeras tenaga lebih banyak seperti yang dialami dalam pengajaran dengan pendekatan konvensional. Dengan demikian menurut Gani (2009: 5), IT dalam kaitannya dengan pendidikan memiliki peran:

a. Behavioral: mengatur berbagai jenis media (Teks, audio, video) dan membuatnya sebagai sebuah program pembelajaran.
b. Konstruktivis: memfasilitasi komunikasi kolaboratif antara siswa, instruktur dan tenaga ahli.
c. Proses informasi: membantu siswa mengatur informasi baru, menghubungkannya dengan pengetahuan dan menyimpannya ke dalam memori.

Sejalan dengan uraian di atas, maka kehadiran tekhnologi sangat diperlukan dalam pembelajaran PAI sebagai alat dan sekaligus sumber pembelajaran. Maka seorang guru agama berhak untuk mendapatkan fasilitas tersebut demi kelancaran tugasnya. Hal ini sejalan dengan Undang-undang No 20 tahun 2003 Sisdiknas pasal 35 ayat 1 tentang Standar Sarana dan Prasarana:
“Pendidikan mencakup ruang belajar, tempat olahraga, tempat ibadah, perpustakaan, laboratorium, bengkel kerja, tempat bermain, tempat berekreasi dan sumber belajar lain yang diperlukan untuk menunjang proses pembelajaran, termasuk penggunaan tekhnologi informasi dan tekhnologi. Pendidikan dan tenaga kependidikan berhak memperoleh kesempatan untuk menggunakan sarana, prasarana dan fasilitas pendidikan untuk menunjang kelancaran pelaksanaan tugas”.

Simpulan

1. Penggunaan informasi dan teknologi sangat dibutuhkan dalam pembelajaran pendidikan agama Islam, baik dilihat secara filosofis maupun praktis.
2. Informasi dan teknologi adalah alat bantu yang berfungsi mempermudah kebehasilan tujuan pembelajaran PAI. IT memiliki nilai positif dan negatif. Oleh karena itu, guru dan siswa harus memiliki daya kritis dalam menggunakan kecanggihan IT untuk hal-hal yang positif dan menghindari penggunaan IT untuk hal-hal yang negatif.
3. IT memiliki peran yang sangat besar, yaitu mampu meningkatkan kualitas pembelajaran PAI, memudahkan riset, membantu guru dan dosen dalam menjelaskan konsep dan ide dengan cara yang lebih mudah. IT juga mampu menyajikan pembelajaran lebih menarik.
4. IT merupakan fasilitas yang wajib disediakan oleh pihak sekolah atau universitas, karena guru dan dosen berhak mendapatkan fasilitas IT, baik dari segi pelatihan dan penyediaan sarananya.


Daftar Pustaka

Attas, Al-, N.S. (1999). Konsep Pendidikan Islam. Bandung: Mizan.
Azhari, A. (2004). Psikologi Umum dan Perkembangan. Jakarta: Mizan Publika.
Bakar, O. (2008). Tauhid dan Sains; Presfektik Agama dan Sains. Bandung: Pustaka Hidayah. Edisi ke-2.
Bakar, O. (2009). Pembelajaran PAI Berbasis Informasi Tekhnologi. Makalah Seminar Internasional, Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Jakarta.
Gani, L. (2009). Pemanfaatan dan Aplikasi IT dalam Pengajaran PAI. Makalah Seminar Internasional, Jurusan Pendidikan Agama Islam FITK UIN Jakarta.
Jamaly, Al-, M.F. (1967). Tarbiyah al-Insan al-Jadîd. Tunis: Maktabah al-Ijtihad al-Aam, al-Tunisiyah al-Syghly.
Khan, W. (2001). Metode dan Syarat Kebangkitan Baru Islam. Anding Mujahidin (penerjemah). Jakarta: Robbani Press.
Langgulung, H. (1985). Pendidikan dan Peradaban Islam. Jakarta: Pustaka al-Husna.
Marimba, A.D. (1980). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al-Maarif. Cet. Ke-4.
Rasyad, A. (2009). Teori Belajar dan Pembelajaran. Jakarta: UHAMKA Press. Cet. Ke-5.
Suyutu, Al-, J. (t.th). Al-Jâmi’ Al-Shaghir. Bandung: Al-Ma’arif.
Syaibani, Al-, T. (2002). Falsafah Pendidikan Islam. Jakarta: Bulan Bintang.
Undang-Undang dan Peraturan Pemerintahan RI tentang Pendidikan. Direktorat Jendral Pendidikan Islam Departemen Agama RI.

Sapiudin Shidiq, dosen Jurusan Pendidikan Agama Islam dan Sekretaris Jurusan PAI FITK UIN Jakarta. E-mail: sapiudin09@gmail.com.