Kamis, 26 Agustus 2010

MANAJEMEN KURIKULUM UNTUK MENGEMBANGKAN AFEKTIF MURID

Oleh :
Jejen Musfah*


Abstrak: Educational process at school only concerns to developing students cognitive and psychomotor, and neglectful to developing their attitude. The fact of students shows us bad attitude as smoking, free sex, engage in a gang fight, and using narcotics. Then, school must design curriculum which preserves students from bad attitudes. Curriculum meaning is not just the subjects. Curriculum involves all of students experiences with all school staffs and facilities that prepared seriously and planned well, to achieve education purposes. From this reason we understand that the developing of students attitudes is not only responsibility of religion and citizenship teachers, but duties of all teachers and staffs.

Kata Kunci: kurikulum, afektif, sekolah, guru, masyarakat.


Latar Belakang Masalah

Dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab 1 Pasal 1 Poin 1 dijelaskan bahwa: Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara. Berkenaan dengan pengembangan akhlak dalam pendidikan, Miller dan Seller (1985: 47) menjelaskan bahwa, “Education should teach children to restrain and control themselves.”

Dua tujuan pendidikan di atas mengandung aspek kematangan karakter dan atau kepribadian dan moral. Namun sekolah belum berhasil mengembangkan murid menjadi manusia yang bermoral. Moral murid sangat rendah. Murid masih sering melakukan tawuran/kekerasan, seks bebas, membolos, tidak mengerjakan PR, dan seterusnya. Ini menunjukkan bahwa tujuan kurikulum/pendidikan belum sepenuhnya tercapai, yaitu perubahan kognitif, afektif, dan psikomotor murid.
Sekolah didirikan untuk mencerdaskan dan mengembangkan afektif dan moral murid. Karena itu, masyarakat menaruh harapan pada sekolah untuk membina murid menuju kematangan intelektual, emosional, dan spiritual. Emile Durkheim, sosiolog asal Prancis, menyatakan bahwa, “the school must be the guardians par excellence of our national character,”; the school must “train the child in terms of the demands of society” (Miller dan Seller, 1985: 46).

Sudah saatnya kepala sekolah mengevaluasi visi, misi, kurikulum, kinerja guru, dan staff sekolah. Di atas kertas mungkin sistem pendidikan sudah terlihat baik, namun dalam pelaksanaannya bisa jadi menyimpang, karena kendala internal maupun eksternal, finansial maupun non-finansial.

Seperti apa mutu lulusan pendidikan tergambar dalam kurikulum sekolah, yang—salah satunya—diturunkan dalam bentuk mata pelajaran. Pengembangan aspek moril murid secara khusus diamanahkan pada guru Pendidikan Agama dan Pendidikan Kewarganegaraan, namun setiap guru mata pelajaran harus bisa memberikan aspek nilai dalam proses pembelajarannya. Karena pada dasarnya setiap guru adalah pendidik. Henson (1995: 89) menulis, “Teachers cannot avoid teaching ethics. Teachers must be concerned with ethics is that, in any society, education serves to help initiate its young into its culture, and certainly moral beliefs are a large part of any culture.” Dan Michiyo Kawaguci menegaskan, “Tujuan pendidikan di Jepang adalah untuk menyempurnakan manusia, sehingga yang diutamakan adalah pendidikan moral, meskipun pengetahuan juga sangat penting.”

Diakui bahwa tidak mudah mengubah perilaku (attitude) dan karakter (character) murid. Karena itu, masyakat sekolah (school community): guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan harus bekerjasama menciptakan budaya sekolah yang baik. Melalui pemanfaatan sumber belajar, sarana dan prasarana sekolah, upaya tersebut mungkin bisa terwujud. Diharapkan murid memperoleh pengalaman—di sekolah—yang mengembangkan karakter positifnya.

Kajian Teori

Jean Jacques Rousseau (1712-1778) percaya bahwa anak lahir baik, akan tetapi rusak dalam tangan manusia. Karena anak manusia pada dasarnya baik sewaktu dilahirkan, maka anak harus diberi kebebasan untuk berkembang secara wajar, menurut alam kodratnya (naturalism), tanpa dikorupsi oleh orang dewasa atau masyarakat. Ia juga tidak diberikan pendidikan agama, karena apakah yang baik dan benar akan ditemukannya sendiri berkat pengalamannya.
Pandangan Rouseau tentang pendidikan agama tidak dianut oleh kebijakan kurikulum pendidikan kita. Pendidikan agama diberikan dari tingkat dasar, menengah, hingga perguruan tinggi. Seseorang bertindak berdasarkan apa yang diketahuinya/pengetahuannya.
Peck dan Havighurst (Cronbach, 1954: 578-587) mendasarkan teorinya atas pandangan psiko-sosial mengenai motivasi moral manusia. Mereka mendapatkan lima tipe kepribadian yang berbeda-beda, yakni tipe:
  1. Amoral (anak itu ego-sentris, fokusnya pada dirinya sendiri).
  2. Expedient (ia patuh, belum ada sistem moral internal).
  3. Conformist (ia menyesuaikan diri, takut akan ditolak dan tak diterima, ia menerima sistem moral dalam kelompok sosialnya).
  4. Irrational conscientious (ia mempunyai sistem moral yang tak fleksibel dalam penerapannya, ia berpegang dengan ketat pada kode moralnya dan tak rela menyimpang sedikitpun orang lain).
  5. Rational altruistic (ia mengembangkan sistem moral yang tinggi sehingga rela berkorban bagi kepentingan orang lain).

Pembahasan

Tulisan ini akan mengkaji manajemen kurikulum di sekolah yang meliputi input, proses, instrumental input dan environmental input dalam rangka mengembangkan afektif murid. (dengan tidak bermaksud mengabaikan pentingnya aspek kognitif dan psikomotorik) Ronald C. Doll (1974: 22) menyatakan, “The commonly accepted definition of the curriculum has changed from content of course of study and list of subjects and courses to all the experiences which are offered to learners under the auspices or direction of the school…” Dalam tulisan ini pemahaman kurikulum bukan hanya setiap materi yang disampaikan guru di kelas/ mata pelajaran, tapi meliputi segala ucapan dan tindakan guru, kepala sekolah, dan tenaga kependidikan. Semua yang disebut tadi memiliki pengaruhnya masing-masing bagi perkembangan aspek afektif murid.

Beberapa Pengertian

Manajemen umumnya diartikan sebagai proses perencanaan, mengorganisir, pengarahan, dan pengawasan. Usaha-usaha para anggota organisasi dan penggunaan sumber daya organisasi lainnya agar mencapai tujuan organisasi yang telah ditetapkan. Inti dari manajemen adalah pengaturan.

Sama dengan Doll, Eisner (2002: 26) menjelaskan makna kurikulum, yaitu “all of the experience the child has under the aegis of the school.” Ia juga menjelaskan bahwa, “the curriculum of a school, or a course, or a classroom can be conceived of as a series of planned events that are intended to have educational consequences for one or more students.” Afektif meliputi perasaan, sikap, dan emosi. Thus, diharapkan anak berubah agar berkelakuan sesuai dengan keinginan masyarakat dan pencipta-Nya.

Input: Guru, Siswa, dan Staf Administrasi

Guru. Seorang guru harus memiliki moral yang tinggi di samping kompetensi pedagogis. Guru yang berakhlak lebih mudah menyampaikan pelajaran dan pendidikan. Moral peserta didik tergantung pada moral gurunya, sebab mereka akan belajar dari apa yang ia lihat dan dengar dari gurunya. Maka guru harus senantiasa berusaha menjadi manusia baik, terutama pada saat berada di lingkungan pendidikan, khususnya saat mengajar di kelas.

Hal tersebut memang tidak mudah bagi guru, karena mereka terlahir membawa karakter masing-masing—yang biasanya sulit diubah. Pendidikan dan pengalaman kadang belum bisa mengubah karakter seseorang secara tuntas ke arah yang ideal. Karena itu, guru harus selalu berlatih dan belajar mengendalikan emosi agar bisa memberikan hal-hal yang baik bagi para siswanya.

Siswa. Sekolah hendaknya tidak menentukan syarat nilai raport dan NEM yang tinggi bagi calon siswanya—sebagaimana diterapkan beberapa sekolah, sebab tugas sekolah memperbaiki dan mengembangkan potensi-potensi manusia, yang lemah maupun yang kuat. Setiap peserta didik memiliki potensi, keunikan, dan membawa kecerdasannya masing-masing.
Setiap anak pada dasarnya baik. Kebaikan itu akan tumbuh baik dalam lingkungan yang baik. Sebaliknya lingkungan yang buruk akan meredupkan sinar kebaikan dalam diri anak-anak. Sekolah harus menjadi tempat bagi berseminya potensi baik anak-anak, melalui transfer ilmu, keterampilan, dan teladan, sehingga anak-anak mengenal baik dan buruk, serta keindahan dalam kehidupannya.

Henderson (1960: 114) menulis, “We can find the basis for morality in our own natures, in the conduct necessary to realize our best potentialities and the kind of society in which man could live as man.” Peserta didik pada dasarnya mengetahui nilai-nilai moral, tugas pendidik menguatkan dan membimbing mereka agar cenderung pada kebaikan, menghindari dan mencegah keburukan. Singkatnya, sekolah harus lebih percaya pada proses pendidikan daripada masukan pendidikan.

Staf Administrasi. Staf administrasi memberikan pelayanan kepada civitas sekolah sebaik-baiknya: ramah, tersenyum, efektif, cepat, menggunakan bahasa yang sopan dan baik, dan melayani dengan sepenuh hati. Murid belajar dari sikap dan cara yang dilakukan oleh mereka. Spirit kerja mereka adalah mendukung terciptanya masyarakat sekolah yang berakhlak dan disiplin, yang menunjukkan budaya mutu tinggi.

Sebagai bangsa, Indonesia memiliki modal budaya yang sangat relevan dengan sikap-sikap tersebut. Dalam lingkungan dan pikiran serta bahkan darah bangsa ini telah hadir dan mengalir sifat-sifat dan perilaku yang bermutu dan sangat baik. Maka sepantasnyalah lembaga pendidikan/sekolah di negeri ini memiliki budaya pelayanan yang baik dan bermutu, sehingga siapa pun yang berhadapan dengan persoalan administratif akan merasakan kenyamanan dan kepuasan.

Instrumental Input: Kebijakan, Pimpinan, Sarana dan Prasarana

Kebijakan. Sekolah memiliki kebijakan bahwa pimpinan, guru, dan tenaga kependidikan harus bersikap disiplin dan terpuji, sesuai tata tertib sekolah khususnya dan umumnya norma sosial dan agama, sehingga peserta didik memperoleh teladan baik dan menerapkannya dalam kehidupan di masyarakat.

Ada imbalan bagi mereka yang disiplin dan hukuman bagi mereka yang melanggar tata tertib sekolah, yang berlaku bagi peserta didik, pimpinan, guru, dan staff.

Pimpinan. Kepala sekolah dan para pejabat lainnya di sekolah adalah figur teladan bagi bawahan dan peserta didik. Mereka idealnya memiliki jiwa kepemimpinan yang tegas, rendah hati, membimbing, ramah, dan melindungi. Karena ucapan dan tindakan pemimpin sangat berpengaruh bagi orang-orang di sekitarnya. Karena itu, ia harus senantiasa baik dalam tutur kata dan perilaku.

Pemimpin harus menjadi guru bagi stafnya. Professor Noel Tichy dari University of Michigan, Barth, dan Benfari, sama-sama pada kesimpulan bahwa teaching is the most important job of every leader (Reeves, 2002: 59-60). Pemimpin bisa memberi pengetahuan dan keterampilan pada stafnya, dan kadang mampu menjadi pendengar yang baik, serta bersedia menerima masukan dari stafnya.

Kouzes dan Posner bertanya pada para staf tentang bagaimana mereka mengetahui bahwa seorang pemimpin dapat dipercaya. Semua sepakat bahwa, seorang pemimpin dapat dipercaya jika, “They do what they say they will do" (Hesselbein, 1996: 107).

Sarana dan Prasarana. Masjid, toilet, ruang kelas, dan lingkungan sekolah harus selalu bersih dan nyaman. Kondisi tersebut dapat menumbuhkan nilai-nilai positif pada diri murid, karena antara teori dan praktik mereka rasakan sejalan. Di sini pentingnya kesadaran dari pegawai kebersihan, bahwa pekerjaan mereka amat vital. Meskipun demikian, semua masyarakat sekolah berkewajiban menjaga kebersihan lingkungan sekolah dengan menjalankan hidup disiplin dan bersih. Sekolah dipandang baik—salah satunya—dari kondisi kebersihan toilet dan lingkungannya. Sudah saatnya setiap sekolah memiliki tempat cuci tangan yang disediakan di tempat yang mudah dijangkau seluruh pegawai dan peserta didik, misalnya.

Sekadar contoh, sebagai muslim kita sering mendengar guru berkata bahwa “kebersihan itu sebagian dari iman”, namun apakah kondisi toilet, tempat wudu, mushala/ masjid, ruang belajar, dan sekolah kita sudah mencerminkan kalimat tersebut. Jujur, mayoritas sekolah dan PT kita belum memerhatikan dengan serius persoalan ini. Mungkin dalam rapat-rapat sudah dibahas dengan baik, namun pada tahap implementasi semua pihak tidak ada yang peduli.

Biaya. Idealnya sekolah memiliki biaya yang besar, agar mampu menggaji para pegawainya di atas UMR, memberikan THR, dan bonus-bonus lainnya yang dianggap perlu. Tujuannya adalah kesejahteraan, agar setiap pegawai mampu menjalankan perannya masing-masing dengan maksimal sesuai standar kerja yang telah disepakati. Pegawai sejahtera, lingkungan sekolah yang bersih dan nyaman, sarana dan prasarana yang memadai, didukung oleh para pegawai yang disiplin dan berbudi luhur, merupakan modal besar bagi tumbuhnya nilai-nilai positif dan moral para peserta didik. Tenu saja, semua itu membutuhkan biaya yang tidak sedikit. Karena itu, sekolah harus memiliki sejumlah metode untuk mengumpulkan dana, selain dari orang tua siswa. Misalnya, memiliki kantin, koperasi, dan kerjasama dengan masyarakat atau golongan mampu dan industri yang ada di lingkungannya.

Mengenai biaya, menarik uraian Henderson (1960: 375) berikut ini, “Teaching needs more man of a high caliber. Improved salaries and greater prestige in the eyes of the public are greatly needed as incentives”; Ia melanjutkan, “A school need not be a palace. Money had better be spent on salaries for able teachers than on luxuries and elaborate buildings.” Inilah yang kerap luput dari perhatikan pemilik sekolah dan pemerintah. Uang memang bukan segalanya, tapi tanpa uang (kesejahteraan), guru, kepala sekolah dan karyawan sangat sulit bekerja secara maksimal dan penuh dedikasi, serta produktif. Seseorang sulit bekerja produktif dan maksimal jika upah pekerjaannya tidak menjamin kebutuhan hidupnya.

Enviromental Input: Iklim Akademik, Keluarga, Masyarakat, Lembaga Terkait

Iklim akademik. Anak-anak sangat membutuhkan suasana akademik. Belajar sepanjang hayat (lifelong education), any time, any where, baik di sekolah, rumah, maupun di masyarakat tempat mereka bergaul. Dengan demikian ia sadar betul pentingnya belajar bagi hidupnya di masa sekarang dan mendatang. Di sekolah anak bertemu dengan perpustakaan, di rumah mereka terdapat perpustakaan, juga di masyarakat mereka melihat suasana belajar. Pertanyaannya, apakah setiap rumah sudah memiliki perpustakaan pribadi (private library)? Bruner (1973: 52) menulis, “For the limits of growth depend on how a culture assist the individual to use such intellectual potential as he may posses.”

Keluarga. Peran sekolah sebagai tempat menanamkan nilai-nilai baik dengan beragam metodenya tidak bisa dipisahkan dari peran keluarga sebagai tempat orang tua mendidik anaknya. Bahkan pengaruh lingkungan keluarga sangat besar bagi terbentuknya karakteristik dan attitude peserta didik. Setiap orang tua harus menyadari bahwa anak-anak membutuhkan kasih sayang, teladan baik, dan rasa aman, sehingga mereka merasa nyaman dan senang di rumahnya sendiri, sehingga tidak mencari tempat lain sebagai tempat menghibur dan menyenangkan hatinya.

Dalam kehidupan keluarga, dalam menanamkan pendidikan kepada anak-anak para orang tua harus dapat memberikan contoh yang baik, agar mulai sejak anak-anak mereka dapat menyerap akhlak yang baik.

Masyarakat. Tempat di mana anak bermain bersama anak-anak seusianya. Setiap masyarakat memiliki budaya yang berbeda-beda, dan akan berpengaruh terhadap attitude anak-anak. Orang tua harus bisa memilih lokasi rumah yang baik bagi pertumbuhan mental anak-anak, di samping faktor keamanan. Sebagaimana diketahui, suatu masyarakat bisa dinilai sebagai agamis, penuh kekeluargaan, toleransi tinggi, individualis, penuh gotong royong, dan seterusnya.

Lembaga terkait. Dewan Kesejahteraan Masjid (DKM), remaja masjid, dan karang taruna, merupakan lembaga yang berpotensi bagi pengembangan nilai-nilai positif dan perilaku anak, yaitu melalui kegiatan hari-hari besar keagamaan semacam: halal bihalal, isra miraj, maulid Nabi, nuzulul Quran, dan lain sebagainya.

Proses

1. Manajemen Pendidikan

Peran kepala sekolah dalam manajemen pendidikan sangat vital, yakni bagaimana SDM, sarana dan prasarana, dan biaya yang dimiliki direncanakan, diorganisir, dan dipraktikkan di sekolah untuk mencapai tujuan pendidikan yang diharapkan. Kepala sekolah juga mengontrol sejauhmana praktik di lapangan, sesuaikah antara visi dan misi dengan fakta di lapangan. Kontrol meliputi pegawai administrasi, kebersihan lingkungan, proses KBM, dan seterusnya.

Mengenai peran pemimpin tersebut menarik apa yang ditulis Sallis berkaitan dengan konsep TQM (1993: 86) “Leadership is the essential ingredient in TQM. leaders must have the vision and able to translate it into clear policies and specific goals.” Seorang pemimpin harus memiliki visi dan mampu menerjemahkan visi tersebut ke dalam program-program kerja yang jelas dan terukur.

2. Program

Kurikulum. Guru bisa membentuk dan mengembangkan kurikulum sesuai kondisi sekolah, karakteristik peserta didik, dan kebutuhan lingkungan masing-masing. Hal ini sesuai dengan semangat MBS, KTSP, dan desentralisasi pendidikan.

Para pengembang kurikulum harus memerhatikan aspek moral, sebagaimana ditegaskan John D. McNeil (1977: 213-4) “People are becoming increasingly aware that without a moral base, no governmental, technological, or material approach to these issues will suffice. Hence, curriculum developers, too, are animated by an undercurrent of moral concern.”

Isi kurikulum mencakup pembinaan aspek afektif (nilai dan moral), yang terdapat dalam setiap bidang studi, baik tertulis maupun tak tertulis (hidden), tentu saja dengan tidak mengabaikan aspek kognitif dan psikomotorik. Setiap bidang studi menguatkan aspek afektif, yang sejatinya terdapat dalam bidang studi pendidikan agama dan pendidikan kewarganegaraan. Ada korelasi positif antara semua bidang studi untuk tercapainya pembinaan afektif peserta didik, sehingga anak memiliki kecerdasan emosional dan spiritual.

Menurut Kohlberg, “Wanted to see people advance to the highest possible stage of moral thought. The best possible society would contain individuals who not only understand the need for social order, but can entertain visions of universal principles, such as justice and liberty” (Crain, 2000: 165).

Pembelajaran. Proses pendidikan ditujukan untuk penguasaan pengetahuan, kemampuan, keterampilan, pengembangan sikap dan nilai-nilai dalam rangka pengembangan peserta didik. Hal tersebut diterapkan dalam proses belajar mengajar di kelas. Semua guru bidang studi menekankan aspek afektif dalam pembelajaran. Guru menunjukan keterkaitan materi dengan moral dan nilai. Misalnya guru memulai KBM dengan basmalah dan mengakhiri dengan hamdalah. Bisa juga membacakan ayat tertentu pada awal atau akhir KBM. Ayat tersebut berkaitan dengan materi yang akan diajarkan oleh setiap guru bidang studi.

Setiap siswa bisa belajar nilai dari berbagai mata pelajaran, baik mata pelajaran humaniora, ilmu pengetahuan sosial, maupun ilmu pengetahuan alam. Caranya, guru membimbing siswa mencari nilai-nilai yang terkandung dalam setiap pelajaran.

Amerika Serikat yang dikenal sebagai negara sekuler senantiasa mengajarkan nilai dalam setiap mata pelajaran, apalagi Indonesia sebagai negara yang menjunjung nilai-nilai religius, maka sewajarnya guru selalu memberikan makna dan nilai dalam setiap mata pelajaran.

Dengan memaknai setiap mata pelajaran yang diberikan, maka dengan sendirinya kita mengajarkan bahwa setiap sesuatu bukanlah value free. Semua hal itu, termasuk ilmu pengetahuan selalu memiliki muatan nilai. Dengan demikian, guru secara otomatis mengajarkan nilai-nilai penting tentang kehidupan, tanpa harus mengajarkan nilai secara khusus.

Dalam KBM setiap guru bertindak sebagai pendidik. Bertutur dan bertindak selalu yang baik. Guru tidak menghukum secara fisik, tapi dengan teguran dan nasihat; sesekali memberi hadiah bagi siswa yang berprestasi. Kita diingatkan oleh Brumbaugh dan Lawrence (h. 114) bahwa “If we wish to establish morality, we must abolish punishment,”

Di kelas guru memahami bahwa semua peserta didik sama, sehingga tidak cenderung pada anak-anak tertentu. Perilaku guru di kelas sangat penting dan berpengaruh bagi peserta didik, apalagi berkaitan dengan pendidikan moral. Ormord menulis, “Many aspects of moral thinking and moral behavior are apparently influenced by observation and modeling” (2003: 136).

Menurut Pinar (2004: 16) para peserta didik akan hidup dalam masyarakat, karena itu para guru perlu mengkomunikasikan persoalan sosial, etik, dan konsekuensi politis dari suatu perbuatan. Guru menyadari bahwa esensi pendidikan adalah menjadikan peserta didik yang bermoral dan religious, seperti kata Whitehead (1957: 26) “The essence of education is that it be religious.”

Esensi pembelajaran adalah perubahan perilaku. Guru akan mampu mengubah perilaku peserta didik jika dirinya telah menjadi manusia baik. Beberapa aspek penting pendidikan dalam teladan ditulis Ajami (2006: 131) yaitu pertama, manusia saling memengaruhi satu sama lain melalui ucapan, perbuatan, pemikiran, dan keyakinan; kedua, perbuatan lebih besar pengaruhnya dibanding ucapan; ketiga, metode teladan tidak membutuhkan penjelasan.

Umar bin Utbah berkata kepada guru anaknya: “Hal pertama yang harus Anda lakukan dalam mendidik anakku adalah memperbaiki dirimu sendiri, karena matanya melihatmu. Kebaikan baginya adalah apa yang kau lakukan, dan keburukan adalah apa yang kau tinggalkan” (Ajami, 2006: 132). Dikatakan: carilah guru yang baik agamanya untuk mengajar anakmu, karena agama anak tergantung pada agama gurunya. Dalam syair Arab disebutkan, “Perbuatan satu orang di hadapan seribu orang lebih baik dibanding perkataan seribu orang di hadapan satu orang (Fi’lu rajulin fî alfi rajulin khairun min qauli alfi rajulin fi rajulin).”

Betapa kita membutuhkan pendidik yang saleh dalam akhlak, perbuatan, sifat, yang bisa dilihat oleh muridnya sebagai contoh. Ajami menulis (2006: 133) “Para murid bisa lupa perkataan pendidik, tapi mereka tidak akan pernah melupakan sikap dan perbuatannya.” Al-Quran mencela orang-orang yang mengatakan apa yang tidak mereka kerjakan, “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan?” (QS Ash-Shaf: 2). Jangan melarang sesuatu sedangkan engkau melakukannya, aib besar jika engkau melakukannya (Lâ tanha ‘an khuluqin wa ta’tiya mitslahu ‘Ârun ‘alaika idzâ fa’alta ‘adzîmu). Demikian syair Arab melukiskan. Hal senada diungkapkan dalam QS Maryam: 28.

Sia-sia seorang guru mengajarkan kebaikan jika ia sendiri bukan sosok pribadi yang baik. Pribadi guru yang baik mengajar dan mendidik dengan perkataan dan perilakunya di hadapan murid, disengaja maupun tidak disengaja. Disadari ataupun tidak, peserta didik selalu belajar dari figur guru dan orang-orang yang dianggapnya baik. Dengan demikian, harus ada banyak sosok guru, kepala sekolah, orang tua, yang benar-benar baik dan saleh, sehingga mereka selalu belajar nilai-nilai dan perilaku baik dari sebanyak mungkin figur. Anak-anak membutuhkan contoh nyata tentang apa itu yang baik melalui sikap dan perilaku orang-orang dewasa. Hal ini lebih mudah dan efektif bagi anak-anak dibanding sekedar ucapan dan tulisan.

Output

Dari penjelasan di atas diharapkan lahir lulusan yang berakhlak, matang perilaku dan karakteristiknya, karena mereka berada dalam lingkungan yang memiliki budaya yang baik. Yaitu keluarga, sekolah, dan masyarakat yang kondusif bagi tumbuhnya karakter baik. Para lulusan yang mengerti baik dan buruk serta sanggup memilih dan melaksanakan yang baik, meninggalkan dan mencegah yang buruk. Phenix menulis (1964: 215) “The essence of ethical meanings, or of moral knowledge, is right deliberate action, that is, what a person ought voluntarily to do.”

Generasi berakhlak sangat penting bagi masa depan bangsa, sebab mereka akan menjadi pemimpin bagi dirinya sendiri, keluarga, masyarakat, dan bangsanya. Good governance dan clean governance akan terwujud jika sumber daya manusia suatu bangsa, terutama para pemimpinnya, memiliki moralitas yang tinggi. Melihat kondisi bangsa kita saat ini, di mana korupsi semakin menggurita, kita sadar bahwa sekolah—khususnya kurikulum—telah gagal menanamkan moralitas bagi para pemimpin sekarang.

Generasi berakhlak dimaksud adalah pribadi-pribadi yang memiliki disiplin kerja karena Allah (lillâh) dan memiliki rasa malu melakukan tindakan-tindakan melanggar hukum, bersedia hidup sederhana, dan baik terhadap sesama. Mereka menjalani hidup sebagai amanah Allah yang harus diisi dengan sesuatu yang selalu baik, sebab sadar hidup di dunia saatnya menanam, yang akan dipetik di kehidupan akhirat.

Melahirkan generasi berakhlak memang tidak mudah. Namun melalui manajemen kurikulum yang dilaksanakan di sekolah, bekerjasama dengan keluarga dan masyarakat, tujuan tersebut tidak mustahil terwujud.

Simpulan

Manajemen kurikulum yang berorientasi pada afektif murid di sekolah akan berhasil jika kepala sekolah, guru, dan tenaga kependidikan, bekerjasama menunjukan sikap dan perilaku yang disiplin dan berakhlak di sekolah. Peserta didik belajar tentang nilai dan moralitas dari sikap nyata lingkungannya, bukan sekedar teori yang diterimanya di kelas melalui ucapan dan tulisan.
Demikian juga para guru di kelas, mengajar dengan hati dan pikiran. Mengajar peserta didik ilmu pengetahuan sekaligus tentang makna-makna dan fakta kehidupan, serta bagaimana menghadapinya. Guru harus bisa menjadi panutan peserta didik tentang kebaikan, dalam ucapan, perilaku, kepribadian, bahkan kebiasaan.

Mendidik anak merupakan tanggung jawab keluarga, sekolah, dan masyarakat. Karena itu, komunikasi antara mereka harus terjalin baik. Keluarga harus memahami pentingnya peran sekolah dan masyarakat dalam membentuk perilaku dan karakteristik anak. Demikian juga sebaliknya.

Mewujudkan generasi berakhlak, berilmu, dan terampil membutuhkan kerjasama sekolah, keluarga, dan masyarakat. Kerjasama tersebut harus direncanakan, dilaksanakan, dan dikontrol sejauhmana efektifitas dan pengaruhnya bagi perkembangan akhlak peserta didik. Sekolah, sebagai lembaga pendidikan, bisa menjadi motor penggeraknya. Tanpa kerjasama ketiga pihak tersebut, apa yang ditulis Sadelar dalam Learning the Treasure Within, tentang empat esensi pendidikan, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to life together in peace and harmony, sulit diwujudkan.

Rekomendasi

Setiap sekolah perlu memberikan pengarahan dan bimbingan secara terencana kepada seluruh pegawainya tentang pentingnya pengembangan afektif murid, di samping kognitif dan psikomotorik. Sekolah menjelaskan apa dan bagaimana cara mencapai pengembangan tersebut. Bahwa tujuan tersebut bisa tercapai jika seluruh pegawai menyadari bahwa masing-masing punya peran sama besar dalam terbentuknya akhlak peserta didik, selama mereka berada di sekolah.

Guru sebagai orang yang berhadapan langsung dengan peserta didik harus berusaha menjadi teladan baik dalam segala hal, sebab murid akan lebih mudah belajar dari sikap dan perilaku nyata seorang guru di kelas. Guru harus selalu belajar bagaimana berpenampilan, berkata, menjelaskan, dan berperilaku yang baik sesuai dengan norma sosial dan agama.

Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus meningkatkan komunikasi dan kerjasama dalam memecahkan masalah-masalah yang dihadapi peserta didik, utamanya masalah moral, nilai, dan akhlak.

Sekolah, keluarga, dan masyarakat harus menyadari bahwa peran mendidik tidak bisa dilimpahkan atau menjadi tanggung jawab satu di antara ketiganya, melainkan tanggung jawab bersama, sebab peserta didik tumbuh dan berkembang dalam ketiga lingkungan tersebut. Akan sangat berat jika tugas tersebut ditangani sendiri-sendiri, tanpa komunikasi yang tulus dan ikhlas.


Daftar Pustaka

Ajami, Al-, M.A. (2006). Al-Tarbiyah al-Islâmiyah: Al-Ushûl wa al-Tathbîqât. Riyadh: Dâr Al-Nâsyir Al-Daulî. Cet. I.
Armstrong, T. (1994). Multiple Intelligences in the Classroom. USA: Association for Supervision and Curriculum Development (ASCD).
Brumbaugh, R. S. dan Lawrence, N.M. Philosophers on Education: Six Essays on the Foundations of Western Thought. USA: Houghton Mifflin Company.
Bruner, J.S. The Relevance of Education. New York: The Norton Library.
Crain, W. (2000). Theories of Development; Concepts and Applications. New Jersey: Prentice Hall.
Cronbach, L.J. (1954). Educational Psychology. USA: Harcourt, Brace, and Company.
Doll, R. C. (1974). Curriculum Improvement, Decision Making and Process. Boston: Allyn & Bacon, Inc.
Eisner, E. W. (2002). The Educational Imagination on the Design and Evaluation of School Program. Third Edition. New Jersey: Merril Prentice Hall.
Goleman, D. (2006). Social Intelligence: The New Science of Human Relationship. New York: A Bantam Books.
Hall, C.S. dan Lindzey, G. (1985). Introduction to Theories of Personality. New York: John Wiley & Sons.
Henderson, S.V.P. (1960). Introduction to Philosophy of Education. Chicago: The University of Chicago Press.
Henson, K. T. (1995). Curriculum Development for Education Reform. New York: Longman.
Hesselbein, F, et al. (Editors). (1996). The Leader of The Future. San Francisco: Jossey-Bass.
Longstreet, W. S. dan Shane, H. G. (1993). Curriculum for a New Millenium. Boston: Allyn and Bacon.
Ormrod, J.E. (2003). Human Learning. Fourth Edition. New York: Pearson Prentice Hall..
Petty, G. (2004). A Practical Teaching Today. 3rd Edition. UK: Nelson Thornes Ltd.
Pinar, W.F. (2004). What Is Curriculum Theory? New Jersey: Lawrence Erlbaum Associates.
Phenix, P.H. (1964). Realm of Meaning: A Philosophy of the Curriculum for General Education. USA: McGraw-Hill.
McNeil, J. D. (1977). Curriculum: A Comprehensive Introduction. Canada: Little, Brown & Company.
Miller, J. P. dan Seller, W. (1985). Curriculum: Perspectives and Practice. New York & London: Longman.
Reeves, D. B. (2002). The Leader’s Guide to Standards: A Blueprint for Educational Equity and Excellence. San Francisco: Jossey-Bass.
Salis, E. (1993). Total Quality Management in Education. London: Kogan Paged Limited.
Whitehead, A.N. (1957). The Aims of Education and Other Essays. England: William and Norgate, Ltd.


*)Jejen Musfah, dosen Fakultas Ilmu Tarbiyah dan Kependidikan Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta. E-mail: jejenm@yahoo.com.