Jumat, 19 Februari 2010

ORIENTASI PENGEMBANGAN KURIKULUM DI PERGURUAN TINGGI

Categories:

(Studi Kasus di Fakultas Sains dan Teknologi
UIN Syahid Jakarta)

Penulis : Maftuhah


Abstrak

Didaktika Islamika - Curriculum is the core of education. It is lend toward activities of education to achieve educational goals. While, globalization is very quickly to take away curriculum must be dynamic for it’s not old, so has been dead. The dynamic as is the environmental changes and anticipation of the future changes. So, at all levels and kinds of education, curriculum must be adaptive and very well managing. In this respect, university as the highest of education needs to adopt society needs into curriculum. Why? Because of university is the place of research and development, and academic activities that dealing with professions. Professions in society have been developing, because there have not static professions. This is deal with science development, which running very fast and revolution. If the science development has very short circle—that opens certain technique pressure- this is dominant to competencies which are demanded by those professions. On the other hand, new paradigm in the university—like accountability, educational quality, autonomy, and evaluation—make great demands for actualization from optimally the best human. For this, curriculum of university must optimally give the students scope of their talents and potencies. On the other hand, globalization expanding world had been turn on negative excesses, humanism is gone from human. For this reason, educational outputs are hoped they have integrated personality based on religion, nation, and social-culture norms. The result, developmental and implementation curriculum is never deaden from-know or don’t know- orientation and paradigm of its managers.

Kata Kunci: kurikulum, orientasi, universitas.


Pendahuluan

Kurikulum merupakan jantung dunia pendidikan. Kurikulum mengarahkan segala bentuk aktivitas pendidikan demi tercapainya tujuan-tujuan pendidikan. Sementara, dunia yang semakin cepat mengglobal sekaligus menyempit menyeret kurikulum pendidikan harus bersifat dinamis agar tidak ketinggalan sehingga ditinggalkan. Dinamis mengikuti dinamika perubahan lingkungan yang ada serta dinamis mengantisipasi segala kemungkinan perubahan masa depan. Berdasarkan alasan tersebut, kurikulum apa pun perlu senantiasa adaptif dan dikelola dengan baik, dalam semua jenjang dan jenis pendidikan.

Adaptasi kurikulum dengan lingkungannya sebetulnya merupakan tujuan dari perumusan kurikulum itu sendiri. Menurut Sukmadinata (2007: 103), ”tujuan kurikulum dirumuskan berdasarkan dua hal: perkembangan tuntutan, kebutuhan dan kondisi masyarakat; dan didasari oleh pemikiran-pemikiran dan terarah pada pencapaian nilai-nilai filosofis”. Hamalik (2006: 122-3) merinci lebih lanjut, bahwa tujuan kurikulum dirumuskan dengan mempertimbangkan beberapa faktor, antara lain: tujuan pendidikan nasional, kesesuaian dengan tujuan lembaga pendidikan yang bersangkutan, kesesuaian dengan kebutuhan masyarakat atau lapangan kerja, kesesuaian dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pada saat itu, dan sistem nilai dan aspirasi yang berlaku dalam masyarakat.

Dalam konteks ini, perguruan tinggi sebagai satuan pendidikan kelanjutan pendidikan menengah sangat perlu menyelaraskan kurikulumnya dengan kebutuhan masyarakat. Mengapa? Sebab perguruan tinggi merupakan wadah penemuan dan pengembangan berbagai ilmu pengetahuan serta tempat dimana pendidikan dan latihan akademis yang terkait dengan profesi tertentu terjadi. Berbagai profesi di masyarakat berkembang terus-menerus karena tak ada profesi yang statis. Hal tersebut berkenaan juga dengan pengembangan ilmu, yang berkembang sangat pesat dan mengalami revolusi. Bila perkembangan ilmu mengalami siklus yang amat pendek—sehingga memunculkan tuntutan teknis tertentu, maka hal ini berpengaruh pada kompetensi yang dituntut dalam menjalankan profesi tersebut. Pada sisi lain, paradigma baru dalam perguruan tinggi—seperti akuntabilitas, kualitas pendidikan, otonomi, dan evaluasi diri—menuntut aktualisasi keunggulan manusia secara optimal. Karena itu, kurikulum perguruan tinggi harus memberi ruang kepada mahasiswa untuk mengembangkan potensinya seoptimal mungkin sepanjang hayat (Semiawan, 2005).

Di sisi lain, globalisasi yang melanda dunia telah melahirkan ekses-ekses negatif, yakni tercerabutnya diri manusia dari hakikat jati diri kemanusiaannya. Sehingga, out put pendidikan diharapkan memiliki pula kepribadian yang integral dalam dirinya dilandasi oleh norma-norma agama, bangsa, dan sosial budaya masyarakatnya.

Akhirnya, kurikulum yang dikembangkan dan diimplementasikan tidak pernah lepas dari orientasi dan paradigma yang, sadar maupun tanpa sadar, dianut oleh para pengelolanya.

Orientasi Kurikulum

Pandangan lama, yang masih dianut oleh sebagian orang sampai sekarang, merumuskan bahwa kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh murid:

1. A course of study.
2. Course content.
3. Planned learning experiences.
4. Intended learning outcomes (Parkay, 2006: 2).
5. Which is taught in school.
6. A set of subject.
7. A sequence of courses (Olivia, 1992: 5).
8. A racecourse of subject matters to be mastered (Zais, 1976: 7).

Dalam hal ini, kurikulum dibatasi hanya pada aktivitas pembelajaran yang didasarkan pada bahan-bahan ajar yang telah dipersiapkan terlebih dahulu. Tujuan kurikulum seperti dalam pengertian ini pun terbatas hanya pada penguasaan terhadap bahan-bahan ajar tersebut yang biasanya dievaluasi setelah bahan-bahan ajar itu selesai diajarkan dan dinilai dalam bentuk rangking atau angka pencapaian.

Kemudian berkembang paradigma baru yang menganggap kurikulum sebagai pengalaman belajar. Peter F. Olivia memberi beberapa definisi kurikulum sebagai “everything that goes on within the school, including extraclass activities, guidance, and interpersonal relationship”, “which is taught both inside and outside of school directed by the school”, “which an individual learner experiences as a result of schooling” (Olivia, 1992: 5). Begitu pula dengan Ronald C. Doll yang menyatakan bahwa : “The commonly accepted definition of the curriculum has changed from content of courses of study and list of subjects and courses to all the experiences which are offered to learnes under the auspices or direction of the school” (Doll, 1982: 22). Berdasarkan rumusan ini, kegiatan-kegiatan kurikuler tidak terbatas dalam ruangan kelas, tapi mencakup juga kegiatan di luar kelas. Pandangan ini menjelaskan bahwa antara kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler tidak terdapat pemisahan yang tegas. Semua kegiatan yang bertujuan memberikan pengalaman pendidikan kepada siswa tercakup dalam kurikulum. Pengertian kurikulum ini banyak dianut oleh para manajer kurikulum dan dianggap sebagai pengertian kurikulum modern, sebagaimana definisi lengkap tentang kurikulum yang ditulis Parkay: ”All of the educative experiences learners have in educational program, the purpose of which is to achieve broad goals and related specific objectives that have been developed within a framework of theory and research, past and present professional practice, and the changing needs of society” (Olivia, 1992: 5).

Dalam koridor perguruan tinggi, kurikulum diartikan sebagai rancangan seluruh kegiatan pembelajaran mahasiswa sebagai rujukan program studi dalam merencanakan, melaksanakan, memonitor, dan mengevaluasi seluruh kegiatannya untuk mencapai tujuan program studi. Kegiatan pembelajaran mahasiswa adalah pengalaman belajar yang diperoleh mahasiswa dari kegiatan perkuliahan (tatap muka atau jarak jauh), praktikum atau praktik, seminar, dan tugas-tugas perkuliahan lainnya. Kurikulum disusun berdasarkan kajian mendalam tentang hakikat keilmuan bidang studi dan kebutuhan pemangku kepentingan terhadap bidang ilmu yang dicakup oleh suatu program studi dengan memperhatikan dan mengikuti perkembangan iptek. Oleh karena itu, kurikulum harus selalu dikembangkan atau dimutakhirkan secara periodik untuk menyesuaikannya dengan perkembangan iptek dan kebutuhan pemangku kepentingan (Depdiknas, 2007).

Kurikulum sendiri merupakan acuan dasar pembentukan dan penjaminan tercapainya kompetensi lulusan dalam setiap program akademik pada tingkat program studi. Dalam hal kebutuhan yang dianggap perlu maka perguruan tinggi dapat menetapkan penyertaan komponen kurikulum tertentu menjadi bagian dari struktur kurikulum yang disusun oleh masing-masing program studi. Perguruan tinggi harus mampu menciptakan sistem tata pamong yang dapat mendorong pemutakhiran kurikulum di tingkat program studi sesuai dengan perkembangan iptek yang dinamis. Sistem penjaminan mutu di tingkat perguruan tinggi harus pula mengikutsertakan pemantauan pelaksanaan serta evaluasi hasil-hasil yang dicapai sebagai cerminan dari adanya peningkatan mutu berkelanjutan dalam penyelenggaraan program-program akademik perguruan tinggi tersebut. Peranan institusi perguruan tinggi yang menaungi program studi tersebut adalah memfasilitasi dan memberdayakan program studi dalam mengembangkan kurikulum yang mengikuti perkembangan iptek dan kebutuhan pemangku kepentingan.

Berbagai pemahaman tentang kurikulum di atas, pada dasarnya dibangun berdasarkan orientasi kurikulum yang dianut. Berikut adalah 3 orientasi yang mendasari kurikulum (Miller & Seller, 1985: 5-8).

Orientasi Transmisi merupakan orientasi yang menjadikan pengawetan dan pewarisan ilmu pengetahuan dan teknologi sebagai fokus. Pola ini memfungsikan pendidikan sebagai media transmisi atau media pemindahan berbagai fakta, keterampilan, dan nilai kepada peserta didik. Artinya, penekanan pendidikan lebih pada materi akademis dan kompetensinya (tradisional subject) melalui metoda pengajaran tradisional. Sementara Transformasi berorientasi pada pengembangan pribadi. Orientasi ini fokus pada perubahan individu dan social. Secara spesifik, model ini menekankan pada pengajaran berbagai keahlian untuk memajukan transformasi pribadi dan sosial, visi perubahan sosial sebagai perkembangan yang harmoni dengan lingkungan, dan hubungan dimensi spiritual dengan lingkungan. Sedangkan Transaksi berorientasi pada pemecahan masalah sosial. Model ini menempatkan peserta didik menjadi makhluk rasional dan punya kemampuan inteligen untuk memecahkan masalah. Pendidikan dipandang sebagai dialog antara siswa dan kurikulum dimana siswa merekonstruk pengetahuan melalui proses dialog.

Orientasi transmisi dibangun berlandaskan pada filsafat empirisme yang berakar dari filsafat Yunani Kuno, kemudian dilengkapi oleh para filosof seperti Francis Bacon dan John Locke. Francis Bacon berpandangan bahwa penyelidikan ilmiah merupakan metoda inti dalam menghasilkan pengetahuan baru. Induksi, yang menjadi pusat penelitian ilmiah, diperlukan lebih dari pada penghitungan sederhana. Dengan demikian, observasi alam merupakan cara untuk membangun teori.

Selanjutnya, ide-ide Bacon tentang pendidikan dan psikologi selaras dengan behaviorisme John Locke yang mengembangkan pandangan filsafat empiris ini lebih lanjut, dikenal dengan konsep tabula rasa. Menurutnya, anak seperti kertas putih yang belum ditulisi apa pun, atau seperti wadah kosong yang siap untuk diisi pengetahuan apa pun. Oleh karenanya diperlukan transmisi ilmu pengetahuan, teknologi, dan nilai-nilai kepada peserta didik. Locke berpandangan bahwa pendidikan sebagai bentuk kebiasaan adalah sama dengan paradigma atomistik, yakni sama-sama mengumpulkan komponen-komponen perilaku yang kecil, atau perilaku manusia dapat dipecah-pecah pada bentuk yang lebih kecil/spesifik. Pendiriannya bahwa untuk mengembangkan berbagai kebiasaan siswa, guru harus fokus pada pengulangan dan latihan selaras dengan psikologi pendidikan Thorndike. Kini, orientasi empiris ini dapat ditemukan pada filsafat analitik (analytic philosophy), yang disebut juga logical atomism, logical positivism dan scientific empirism. Filsafat ini fokus pada sains, observasi, kesimpulan, kemurnian, dan ketelitian. Dan di dalamnya terdapat hubungan sebab-akibat. Premis mendasar dalam filsafat ini adalah kebebasan pertanyaan-pertanyaan metafisika dan itu menjadi sebuah pelayanan sains. Dalam filsafat empiris, sudut pandang dunia bukanlah satu pertanyaan pilihan, spekulasi, atau perasaan individu, tapi ia memerlukan jawaban pasti tentang apa realitas sesungguhnya. Kaitannya dengan kurikulum, filsafat ini mereduksi kurikulum pada elemen-elemen dasar, yang masing-masing diajarkan secara terpisah.

Sedangkan dasar psikologi orientasi ini adalah behavioristik (Thorndike, Bobbit dan Skinner), yang menekankan pada aktivitas manusia terhadap respon tertentu yang dapat digunakan untuk memprediksi dan mengkontrol perilaku manusia. Thorndike menggambarkan perilaku manusia dalam term stimulus dan respon (S R). Jembatan antara stimulus dan respon adalah ringkasan dalam otak. Jadi, manusia pada dasarnya merupakan makhluk pasif yang merespon berbagai situasi (stimulus). Meski demikian, respon-respon tersebut tidak seragam dalam semua situasi. Dalam kaitannya dengan pendidikan, Thorndike mereduksi belajar menjadi mekanisme psikologi. Baginya, pendidikan sangat penting untuk memfasilitasi koneksi antara S-R. Berdasarkan konsep ini, ia mengembangkan prinsip-prinsip belajar seperti pengulangan penting dalam belajar, penggunaan latihan dapat meningkatkan hubungan S-R, prinsip efek belajar (sejalan dengan Skinner tentang prinsip penguatan belajar). Bobbit berasumsi bahwa pendidikan bertujuan menyiapkan para siswa untuk hidup dewasanya. Oleh karenanya, aktivitas-aktivitas pendidikan diseleksi berdasarkan “segala sesuatu yang harus dilatihkan bagi siswa”. Bobbit dipengaruhi Thorndike tidak hanya dalam kepercayaan bahwa sekolah harus memberi penekanan pada pembuatan respon-respon yang diinginkan, bahkan proposisinya bahwa respon-respon itu harus diperkuat karena digunakan.

B.F. Skinner dikenal dengan teori operant conditioning, yaitu perilaku dapat dikontrol dengan conditioning. Penguatan (reinforcement) digunakan sebagai komponen sentral dalam teori ini. Pendidikan adalah suatu media untuk memilih dan menggunakan teknik-teknik penguatan. Skinner membagi penguatan menjadi positif dan negatif. Penguatan positif, ketika ditambah pada satu situasi, akan menaikan perilaku yang diinginkan, sebaliknya, penguatan negatif akan menambah frekuensi perilaku ketika dihilangkan. Dalam konteks ini, guru harus intervensi untuk memanipulasi lingkungan belajar.

Kurikulum berdasarkan orientasi ini menekankan pada isi/materi ajaran, isinya bersumber pada disiplin ilmu yang terstruktur/sistematis, guru berfungsi sebagai pemberi arahan langsung dan penyampai ilmu-teknologi-nilai sehingga harus menguasai materi ajar dengan baik, sementara siswa harus bekerja keras sebagai penerima materi ajar, sehingga proses belajar yang terjadi adalah ekspositori, dan evaluasi pembelajaran menggunakan traditional achievement seperti tes, uraian, multiple objective, dan sebagainya. Pendidikan adalah ilmu yang harus dikuasai siswa dalam kompetensi-kompetensi yang dapat diukur. Dengan demikian, tujuan pendidikan yang digunakan adalah penguasaan mata pelajaran dan norma-norma sosial yang sifatnya pengetahuan.

Orientasi transformasi berakar pada filsafat transendentalisme, mistisisme, dan beberapa bentuk eksistensialisme, yang dalam bahasa Huxley (1970) disebut dengan filsafat perennial, yaitu suatu ide bahwa seluruh fenomena merupakan bagian dari keseluruhan interkoneksi dan bagian dari seluruh kesatuan, demikan pula individu sebagai bagian dari kesatuan ini. Prinsip-prinsip dasar filsafat perennial adalah:

1. Interkoneksi realitas dan kesatuan fundamental alam semesta;
2. Hubungan intim antara inti (inner) manusia atau diri yang lebih tinggi dengan kesatuannya;
3. Pengolahan intuisi dan pengetahuan yang dalam melalui kontemplasi dan meditasi supaya dapat “melihat” kesatuannya lebih jelas;
4. Realisasi kesatuan ini di antara makhluk mengakibatkan aksi sosial, yang didisain untuk menghadapi ketidakadilan dan penderitaan manusia.

Berdasarkan prinsip-prinsip di atas, terdapat hubungan yang dekat antara individu dengan masyarakat. Sehingga, tujuan pendidikan merupakan perkembangan individu (self development).
Dasar psikologis orientasi ini terletak pada psikologi humanistik dan transpersonal. Psikologi humanistik merupakan satu alternatif untuk psikologi behaviorisme, yang menekankan pemenuhan pribadi pada tingkat ego (humanistik). Sedangkan, psikologi transpersonal sedikit berbeda karena menerima kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia.

Abraham Maslow, salah seorang yang paling berpengaruh dalam psikologi humanistik, mengembangkan konsep aktualisasi diri. Sementara, Carl Roger, seorang humanis lainnya, fokus pada bagaimana manusia mendapat kemudahan belajar dan pertumbuhan pribadi. Diperlukan kondisi-kondisi yang penting untuk menolong atau mengajarkan hubungan. Dalam pendidikan, kualitas pengajar dan konselor secara umum dapat mempermudah hubungan manusia yang sehat, misal genuineness (mampu selaras dengan rasa dan perhatian pribadi), regard (kemampuan guru respek terhadap siswa secara individu dan potensi pertumbuhannya), emphaty (kemampuan guru memahami persepsi dan pemahaman siswa).

Dalam orientasi transformasi ini, kurikulum dan siswa saling menyentuh (interpenetrate) secara holistik. Transformasi ditujukan pada pengembangan pribadi dan perubahan sosial, sehingga dikembangkan pola hubungan yang dekat antar individu dan masyarakat. Untuk mendukungnya, secara spesifik, model ini menekankan pada pengajaran berbagai keahlian untuk memajukan transformasi pribadi dan sosial, visi perubahan sosial sebagai perkembangan yang harmoni dengan lingkungan, dan hubungan dimensi spiritual dengan lingkungan (orientasi transpersonal). Teori pendidikan yang digunakan adalah pendidikan progresif dan romantik, dengan model kurikulum humanistik.

Orientasi ini didasarkan pada dua pemikiran. Pertama, elemen romantik yang menghasilkan argumen bahwa anak pada dasarnya bagus dan pendidik harus memungkinkan potensi alami anak untuk berkembang dengan sedikit campur tangan. Kedua, orientasi perubahan sosial yang berargumen bahwa pendidik harus mengambil pandangan kritis yang lebih terhadap peran sekolah dalam masyarakat sehingga sekolah tidak sekedar tertarik secara ekonomi, tapi juga berperan dalam perubahan sosial politik. Transformasi beranggapan bahwa pendidikan yang berhasil adalah pendidikan yang mampu mengaktualisasikan diri.

Orientasi transaksi merujuk pada filsafat eksperimental pragmatis John Dewey. Dia meyakini bahwa metode scientific dapat diaplikasikan pada sejumlah masalah. Paradigma filsafat ini fokus pada pengembangan intelegensi peserta didik melalui pemecahan masalah. Dalam kondisi ini, Dewey menekankan interaksi kognitif dan proses mental. Pengetahuan, baginya, berhubungan dengan pengalaman. Pendidikan memiliki fungsi konservatif dan rekonstruksi. Di satu sisi, pendidikan berfungsi menanamkan adat istiadat dan bahasa kepada siswa. Di sisi lain, pendidikan adalah proses dinamis yang dapat membantu siswa berpartisipasi dalam proses demokrasi.

Dewey mengklaim, sekolah memiliki 3 fungsi: sederhana, murni, dan seimbang. Sederhana berarti sekolah mengidentifikasi elemen-elemen kunci kebudayaan yang harus dipelajari siswa. Murni berarti sekolah memfasilitasi elemen-elemen budaya yang positif agar tumbuh dan mengurangi yang buruknya. Seimbang menunjukkan integrasi antara aspek-aspek pengalaman yang berfariasi ke dalam keseluruhan harmoni. Dewey juga menyatakan bahwa sekolah harus fokus pada kerjasama (cooperation) dan berbagi (sharing). Dalam pandangannya, sekolah sebagai komunitas mini, dimana guru dan murid berbagi tujuan dan memecahkan masalah bersama.

Bagi Dewey, tujuan pendidikan adalah pertumbuhan. Pertumbuhan meliputi rekonstruksi pengalaman dan pengetahuan yang akan membantu menyaring dan mengkontrol pengalaman berikutnya. Dengan demikian, pendidikan adalah progresif. Artinya, pendidikan adalah kehidupan itu sendiri, bukan menyiapkan anak untuk hidup di masa depan. Maka, sekolah harus mewakili kehidupan nyata. Pendidikan tidak mengikuti perkembangan masyarakat, tapi sebaliknya, pendidikan harus menimbulkan perubahan masyarakat. Konsep Dewey tentang pemecahan masalah (problem solving) berasal dari metode saintifik (scientific method). Tahap pertama, individu menghadapi situasi problematik yang membuatnya pusing atau harus mencari jalan keluarnya. Kedua, didefinisikan secara tepat apa problemnya. Ketiga, klarifikasi problem, dapat berupa pengujian/pemeriksaan secara hati-hati atau analisa faktor-faktor yang berkontribusi terhadap problem tersebut. Keempat, mengembangkan hipotesis-hipotesis atau pernyataan « jika-maka » yang memungkinkan solusi. Kelima, menseleksi satu hipotesis atau alternatif lain dan mengimplementasikannya.

Orientasi ini berakar pada teori psikologi developmental dari Piaget dan Kohlberg. Piaget menyatakan bahwa perkembangan merupakan hasil interaksi antara siswa dengan stimulasi lingkungan intelektualnya. Sementara, Kohlberg berargumen bahwa teori perkembangan kognitif merupakan perluasan dari konsep Dewey tentang pertumbuhan. Piaget dan Kohlberg menentukan tahap-tahap pertumbuhan. Piaget melihat perkembangan intelektual atau kognitif, dan bakat anak sebagai rangkaian peristiwa yang meliputi empat tahap, setiap tahap memiliki karakter yang penting bagi bakat baru yang diperhitungkan untuk sebuah pengorganisasian dalam cara berfikir anak. Bagi Piaget, perkembangan berlangsung sebagai bagian yang besar untuk menggerakan anak dan mengaktifkannya dalam berhubungan dengan lingkungan. Dalam pandangan Piaget, pengetahuan termasuk tindakan atau gerak.

Dalam orientasi transaksi, kurikulum dan siswa saling memberi pengaruh. Individu dipandang sebagai seseorang yang rasional dan memiliki kemampuan intelegensi untuk menyelesaikan masalah. Pendidikan dipandang sebagai dialog antara siswa dan kurikulum, dimana siswa merekonstruk pengetahuan melalui proses dialog, sebab siswa dipandang mempunyai keterampilan seperti kemampuan berfikir.

Elemen inti dalam transaksi ini terletak pada strategi kurikulum yang membantu pemecahan masalah (orientasi proses kognitif), aplikasi keterampilan memecahkan masalah di dalam konteks sosial secara umum dan di dalam konteks proses demokratik (orientasi kewarganegaraan demokratis); dan pengembangan keterampilan kognitif di dalam berbagai disiplin akademis. Paradigma filsafat-scientific merupakan metoda ilmiah yang dipakai dalam orientasi transaksi ini. Pusat orientasi transaksi ini adalah ide yang diambil dari psikologi perkembangan di atas, dimana siswa harus diberi kesempatan menyelidiki dunia fisik, moral, dan sosial. Lingkungan belajar, harus kaya dengan beragam materi dan ide sehingga memungkinkan penyelidikan terhadap problem yang berfariasi.


Manajemen Kurikulum Fakultas Sains dan Teknologi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

1. Struktur Kurikulum

Kurikulum di Fakultas Sains dan Teknologi (FST) UIN terdiri atas Kurikulum Dasar, Kurikulum Inti, Kurikulum Pendukung, dan Kurikulum Lainnya. Kurikulum Dasar merupakan kurikulum yang disusun berdasarkan acuan dari Departemen Agama. Peraturan Departemen Agama menyatakan bahwa semua Perguruan Tinggi Islam yang menyelenggarakan prodi umum harus menyelenggarakan kurikulum yang mendukung integritas keislaman. Hal ini dibuat untuk membedakan Perguruan Tinggi Islam dengan Perguruan Tinggi Umum. Kurikulum Dasar ini disusun oleh Perguruan Tinggi Islam yang bersangkutan sebanyak 12 sks, dan boleh ditambah sesuai dengan kondisi Perguruan Tinggi Islam tersebut. Contoh Kurikulum Dasar di FST UIN Jakarta dalah Studi Islam, Bahasa Arab, dan Praktik Ibadah. Kompetensi mahasiswa yang dihasilkan dari Kurikulum ini disebut sebagai Kompetensi Dasar.

Kurikulum Inti merupakan penciri dari kemampuan utama, yang bersifat:

1. Dasar untuk mencapai kompetensi lulusan;
2. Acuan baku minimal mutu penyelenggaraan Prodi;
3. Berlaku secara nasional dan internasional;
4. Lentur dan akomodatif terhadap perubahan.

Kurikulum inti mencakup 70-80 sks. Kompetensi yang diharapkan dari kurikulum inti disebut dengan kompetensi utama.

Kurikulum Pelengkap adalah penciri dari kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya. Kurikulum Pelengkap mencakup sekitar 50 sks. Kompetensi pendukung merupakan kompetensi yang bersifat mendukung kompetensi utama mahasiswa prodi. Sebagai contoh, mahasiswa prodi Agribisnis selain mempelajari mata kuliah-mata kuliah sosial ekonomi pertanian, juga mempelajari mata kuliah filsafat sains. Sementara mata kuliah-mata kuliah yang menghasilkan kompetensi lainnya bergantung dari peminatan mahasiswa. Peminatan mahasiswa ini dilakukan berdasarkan masukan-masukan dari para dosen.

2. Perencanaan (Tim Kurikulum, Komponen Yang Terlibat dan Perannya, Langkah-Langkah Penyusunan)

Untuk menyusun Kurikulum Dasar, FST membentuk tim-tim perumus tersendiri, seperti tim perumus mata kuliah Studi Islam, tim perumus mata kuliah Bahasa Arab, dan tim perumus mata kuliah Praktik Ibadah. Anggota tim perumus ini terdiri dari wakil prodi masing-masing. Mereka bertugas mengimplementasikan acuan Departemen Agama menjadi Kurikulum Dasar.

Kurikulum Inti di FST dirumuskan melalui kerjasama antara FST dengan asosiasi-asosiasi dimana prodi-prodi FST menjadi anggotanya. Asosiasi-asosiasi ini merupakan perhimpunan yang beranggotakan prodi-prodi sejenis. Asosiasi yang diikuti oleh FST antara lain Forum Komunikasi Perguruan Tinggi Indonesia (FKPTI) untuk bidang Sosial Ekonomi Pertanian; Badan Kerjasama MIPA Indonesia Barat (BKS MIPA) dan MIPA net. (tingkat nasional) untuk bidang MIPA; dan Asosiasi Perguruan Tinggi Komputasi (Aptikom) untuk bidang komputer.

Asosiasi-asosiasi mengadakan berbagai seminar dan lokakarya berkala dengan mengundang pemerintah (departemen terkait dan pemerintah daerah), pengusaha, masyarakat pengguna, konsultan seperti forum HEDS, dan sebagainya. Masukan dari berbagai elemen ini menjadi rekomendasi bagi perguruan tinggi-perguruan tinggi anggotanya. Pertemuan asosiasi membentuk kelompok-kelompok kerja yang tugasnya membenahi kurikulum dan prodi. Misalnya rekomendasi bagi prodi pertanian S1 agar hanya memiliki dua jurusan: agroteknologi dan agribisnis. Rekomendasi ini didasari oleh kenyataan bahwa prodi pertanian memiliki jurusan-jurusan yang sangat spesifik, seperti jurusan hama dan penyakit tumbuhan. Akibatnya, mahasiswa lulusannya hanya memiliki ilmu yang terbatas pada ilmu-ilmu jurusannya. Padahal, lulusan S1 mesti memiliki ilmu pengetahuan yang lebih komprehensif untuk terjun di masyarakat kelak. Seluruh rekomendasi yang dikeluarkan asosiasi kemudian diajukan ke Departemen Pendidikan Nasional agar mendapatkan nomenklatur (penamaan resmi yang diakui) berupa SK Dirjen Diknas. Asosiasi juga sering mengadakan aktivitas-aktivitas sosial yang berkaitan dengan bidang keilmuannya, seperti MIPA net. yang baru-baru ini membina guru-guru SMA dalam bidang teknologi.

Rekomendasi dari asosiasi-asosiasi tersebut selanjutnya dikembangkan oleh prodi-prodi, sesuai dengan karakteristik UIN Jakarta sebagai Universitas Islam di bawah naungan Departemen Agama. Untuk pengembangan kurikulum inti di tingkat institusi ini, FST membuat tim-tim perumus kurikulum yang beranggotakan wakil-wakil prodi. Mereka mengadakan lokakarya internal berkala dengan mengundang pembicara dari luar untuk memberikan masukan-masukan. Inovasi-inovasi yang dihasilkan kemudian diimplementasikan di prodi masing-masing.

Kurikulum Pelengkap disusun sendiri oleh perguruan tinggi penyelenggara prodi. Tim-tim perumus kurikulum FST mengadakan lokakarya internal dengan pembicara dari luar untuk memberi masukan. Hasil lokakarya ini kemudian digunakan untuk merumuskan kurikulum pelengkap yang diharapkan menghasilkan kompetensi pendukung dan kompetensi lainnya.

3. Strategi Pengembangan

Strategi pengembangan kurikulum yang dilakukan FST UIN:

1. Mengikuti trend idealisme keilmuan dan pasar. Dalam hal ini, FST membuat distingsi akademik seperti ilmu pangan dan gizi diubah menjadi gizi dan pangan halal.
2. Mengadakan benchmark (perbandingan dengan perguruan tinggi lain).
3. Memanfaatkan potensi dan karakteristik institusi. Misalnya karakteristik keislaman UIN dimanfaatkan untuk mengadakan S1 Syariah Korporasi.
4. Direncanakan memberikan double degree.

4. Evaluasi

Evaluasi FST secara umum diadakan berkelanjutan dan komprehensif, yang mencakup aspek-aspek:

a. Penilaian kompetensi dosen. Penilain kompetensi dosen dilakukan melalui input mahasiswa dan hasil proses pembelajaran.
b. Penilain hasil belajar.
c. Penilaian proses belajar mengajar.
d. Penilaian relevansi kurikulum.
e. Penilaian daya dukung sarana dan fasilitas.
f. Penilaian program (akreditasi).

Evaluasi kurikulum FST bersifat kualitatif. FST belum memiliki tim evaluasi kurikulum tersendiri. FST juga belum memiliki standar dan disain baku untuk mengevaluasi kurikulum dam implementasi di lingkungannya. Evaluasi dilakukan melalui dosen-dosen yang selalu dianjurkan mengikuti perkembangan keilmuan dan dunia kerja untuk didiskusikan dalam lokakarya internal berkala. Hasil evaluasi ini ditambah dengan rekomendasi-rekomendasi dari asosiasi digunakan untuk penyempurnaan kurikulum, sehingga menghasilkan kurikulum 2002, 2005, 2007, dan seterusnya. Penyempurnaan kurikulum seperti ini dilakukan untuk memberi mahasiswa keilmuan yang sesuai dengan kondisi masa depan (berorientasi masa depan).

Analisis dan Kritik

Kurikulum di FST UIN Jakarta menggunakan pemahaman modern yang menyatakan bahwa kurikulum adalah pengalaman belajar. Kurikulum sebagai aktivitas pembelajaran tidak hanya dilakukan di kelas, tapi juga di luar kelas. Pandangan ini menjelaskan bahwa antara kegiatan intrakurikuler dan ekstrakurikuler tidak terdapat pemisahan yang tegas. Semua kegiatan yang bertujuan memberikan pengalaman pendidikan kepada siswa tercakup dalam kurikulum. Hal ini dapat dilihat dari aktivitas perkuliahan yang dilakukan di kelas, laboratorium, bengkel, studio, dan praktik lapangan di area-area yang sesuai.

Berdasarkan Surat Keputusan Mendiknas Nomor 232/U/2000 dan 045/U/2005 bahwa kurikulum perguruan tinggi harus berbasiskan kompetensi berimplikasi pada orientasi transmisi dalam kurikulum FST UIN Jakarta. Dalam orientasi transmisi dinyatakan bahwa pendidikan adalah ilmu yang harus dikuasai siswa dalam kompetensi-kompetensi yang dapat diukur. Tujuan pendidikan terletak pada penguasaan mata kuliah dan norma-norma sosial yang sifatnya pengetahuan.
Filsafat empirisme yang menjadi dasar orientasi transmisi tampak nyata dalam kurikulum FST. Penyelidikan ilmiah sebagai metode inti dalam menghasilkan ilmu pengetahuan adalah dasar dalam ilmu-ilmu sains dan teknologi. Sains, observasi, kesimpulan, kemurnian, dan ketelitian yang terdapat dalam filsafat analitik—istilah sekarang untuk filsafat empirisme—merupakan metode pembelajaran utama dalam seluruh mata kuliah umum di FST. Yang kemudian menjadi pertanyaan adalah bagaimana dengan metafisika dalam materi-materi kurikulum umum di FST? Dalam premis filsafat analitik, pertanyaan-pertanyaan metafisika menjadi pelayanan sains. Disinilah terletak bias untuk kurikulum umum FST UIN. Apakah masalah metafisika harus menjadi layanan sains, atau ia dijelaskan juga dalam layanan teologi (baca: keimanan)? Tampaknya perpaduan ini menjadi masalah dalam kerangka integrasi keilmuan di UIN, khususnya di FST.

Berkaitan dengan kompetensi yang dapat diukur sebagai amanat Keputusan Mendiknas, yang harus menjadi perhatian adalah bagaimana kompetensi untuk pengembangan kepribadian dan berkehidupan bermasyarakat sebagai warna yang harus ada dalam setiap mata kuliah yang diajarkan kepada mahasiswa? Seperti apa standar ukurnya? Penilaian seperti apa yang tepat dilakukan? Pertanyaan-pertanyaan ini menunjukan bahwa kompetensi yang diharapkan sebagaimana Keputusan Mendiknas, dan diterapkan dalam kurikulum FST UIN, lebih condong pada kompetensi keilmuan dan keterampilan, serta keahlian berkarya (dengan kata lain keterampilan kognitif dan psikomotorik). Pendidikan yang lebih berat pada materi akademis dan kompetensinya (traditional subject) lebih mudah diukur dan diajarkan. Tidak perlu waktu cukup lama untuk mengajarkan materi-materi tersebut, cukup sepanjang tahun perkuliahan kemudian dievaluasi sebagai nilai kelulusan. Evaluasi pada kompetensi seperti ini pun mudah, hanya menggunakan tes, uraian, multiple objective, dan sebagainya sebagai bagian dari traditional achievement.

Bagaimana dengan fungsi sosial dalam kurikulum FST? Tampaknya hasil-hasil penelitian ilmiah dari beberapa riset yang dilakukan FST (dosen, mahasiswa) dapat menjawab aspek ini. Tetapi, hal ini tidak dapat menjawab kedekatan hubungan antara individu mahasiswa dengan masyarakat, salah satu aspek dalam orientasi transformasi pada pengembangan kurikulum. Psikologi transpersonal yang menjadi landasan transformasional, agaknya sedikit tersentuh dalam mata kuliah Studi Islam tentang kebutuhan-kebutuhan spiritual manusia, meski masih dapat dipertanyakan materi-materi yang diajarkan, metode pembelajarannya, dan evaluasi yang diterapkan.

Di sisi lain, kurikulum FST yang senantiasa disempurnakan mengikuti perkembangan zaman dan diperkirakan sesuai dengan masa depan mahasiswa kelak, merupakan bukti dari kepedualian FST terhadap aktualisasi diri mahasiswa kelak dalam kehidupannya. Aspek aktualisasi diri ini, dalam orientasi transformasional, merupakan keberhasilan pendidikan. Tetapi kemudian yang menjadi pertanyaan adalah apakah aktualisasi diri itu terbatas hanya pada aspek ekonomi? Tidak menyentuh aspek spiritual, mental, moral, sosial, dan sebagainya? Tampaknya hal ini yang harus menjadi perhatian dari para penyusun kurikulum FST. Unsur-unsur luar yang diundang untuk memberi masukan pengembangan kurikulum, sebaiknya ditambah dengan kalangan agamawan, budayawan, masyarakat, dan lain-lain yang diperlukan.

Metode scientific yang diaplikasikan pada sejumlah masalah, tidak dapat dipungkiri, adalah metode dasar dalam pengajaran di FST UIN. Ini merupakan bagian dari filsafat eksperimental yang menjadi landasan orientasi transaksional. Filsafat ini fokus pada pengembangan intelegensi siswa melalui pemecahan masalah (problem solving). Tetapi yang membedakannya adalah pendidikan pada orientasi ini digunakan untuk menimbulkan perubahan di masyarakat, bukan menyiapkan anak untuk hidup di masa depan dengan mengikuti perkembangan masyarakat. Barangkali tidak sama dengan model pengembangan kurikulum di FST UIN yang berusaha mengikuti perkembangan zaman dan mempersiapkan anak untuk masa depannya. Jadi, problem solving sebagai metode pembelajaran di FST dibatasi hanya pada kesempatan menyelidiki dunia fisik, meski tidak menutup kemungkinan hasil-hasil pembelajaran dapat menghasilkan sesuatu yang merubah masyarakat saat itu.

Evaluasi kurikulum merupakan aspek terlemah dari manajemen kurikulum di FST UIN Jakarta. Fakultas tampaknya tidak memiliki standar dan disain evaluasi yang baku. Evaluasi terbatas hanya pada input mahasiswa tentang kompetensi dosen yang mengajarnya, hasil belajar mahasiswa, dan pengamatan dosen terhadap perkembangan keilmuan dan dunia kerja, untuk selanjutnya didiskusikan dalam lokakarya internal.

Simpulan

Kurikulum FST UIN Jakarta lebih berorientasi transmisi sebagai pengawetan dan pewarisan ilmu pengetahuan kepada mahasiswa. Sains dan teknologi yang menjadi mata kuliah inti dalam FST diajarkan melalui metoda observasi dan ketelitian sebagai dasar filsafat empirisme dan filsafat analitik. Begitu pula dengan kompetensi yang dapat diukur sebagai amanat Keputusan Mendiknas, menjadi bukti lain bagi orientasi transmisi dalam kurikulum FST.

Yang menjadi pertanyaan adalah, bagaimana FST UIN Jakarta dapat menjalankan pesan Departemen Agama agar menyelenggarkan kurikulum yang mendukung integrasi keislaman? Mata kuliah Studi Islam, Bahasa Arab, dan Praktik Ibadah tidak cukup menjawab pesan ini. Ketiga mata kuliah tersebut tampak terpisah dan berdiri sendiri dari mata kuliah inti di FST UIN. Diperlukan usaha lebih pada integrasi keilmuan di FST UIN Jakarta.

Dalam koridor integrasi ini, masalah-masalah metafisika tidak harus diletakan dalam pelayanan sains. Metafisika perlu mendapat tempat tersendiri dalam lingkup ilmu sains dan teknologi. Dengan demikian, mahasiswa perlu diberi pengetahuan dan pemahaman bahwa metode ilmiah tidak sekedar rasio dan observasi. Terdapat metode lain yang diakui dalam Islam, yaitu intuitif.
Untuk pengembangan kurikulum, inovasi-inovasi yang dihasilkan sebagai masukan dari berbagai pihak perlu ditindaklanjuti oleh tim perumus kurikulum yang tidak hanya beranggotakan wakil prodi, tapi juga wakil unsur agama dan pakar kurikulum demi mewujudkan integrasi keilmuan yang lebih baik dan implementasi yang terarah dalam kerangka manajemen kurikulum yang berkualitas.

Terakhir, FST UIN Jakarta sudah saatnya memiliki standar evaluasi kurikulum yang baku, agar pengembangan kurikulum yang senantiasa dilakukan dapat lebih cepat dan terarah mewujudkan visi, misi, dan tujuan pendidikan yang telah ditetapkan. Begitu pula dengan tim evaluasi kurikulum dapat dibentuk agar hasil evaluasi berbagai inovasi dan implementasinya, serta hasil belajar mahasiswa dapat bermanfaat dan lebih efektif untuk penyempurnaan kurikulum berikutnya. Karena kurikulum adalah jantung pendidikan.

Daftar Pustaka

Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas). (2007). Badan Akreditasi Nasional Perguruan Tinggi. Jakarta.
Doll, R.C. (1982). Curriculum Improvement: A Practical Guide 2nd edn. London: George Allen Unwin.
Hamalik, O. (2006). Manajemen Pengembangan Kurikulum. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Miller, J.P. & Seller, W. (1985). Curriculum Perspectives and Practice. New York & London: Longman.
Olivia, P.F. (1992). Developing the Curriculum. New York: Harper Collins.
Parkay, F.W. (2006). Curriculum Planning A Contemporary Approach. USA: Pearson.
Semiawan, C. Kurikulum PT Perlu Selaras dengan Kebutuhan Masyarakat. Kompas 4 April 2005.
Sukmadinata, N.Sy. (2007). Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: PT Remaja Rosdakarya.
Zais, R.S. (1976). Curriculum Principles and Foundations. New York: Harper & Row Publisher.

Maftuhah, dosen UIN Syahid Jakarta, dpk Universitas Islam Attahiriyah Jakarta. E-mail: t_maftuhah@yahoo.com.

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "ORIENTASI PENGEMBANGAN KURIKULUM DI PERGURUAN TINGGI"

Posting Komentar