Jumat, 19 Februari 2010

REORIENTASI PENDIDIKAN AGAMA DI PERGURUAN TINGGI UMUM

Categories:

Penulis : M. Karman

Abstrak

Didaktika Islamika - Religious education has been accused as the crisis root attacking Indonesian society since religious education possesses contribution for human being mentality development. It religious education, in normatively can be referred as the basic for human being mentality development, meanwhile, in reality, The Indonesian empirically is trapped in the multidimensional crisis, means there is an errors in the religious education, so far, the religious education was only oriented in cognitive dimension, has not touched the affective dimension. Therefore, it’s necessary reorientation toward the religious education, including to arranges the relevant model of curriculum, choose the relevant method, approach and optimized the proffered evaluation.

Kata Kunci: redefinisi, reorientasi, pendidikan agama.


Pendahuluan
Bangsa Indonesia dewasa ini benar-benar sedang mengalami krisis multidimensional, mulai dari krisis moneter, krisis kepercayaan hingga krisis kepemimpinan. Hasil survei menunjukkan bahwa bangsa Indonesia masih menempati posisi negara terkorup di dunia. Kasus tindak korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN) seakan menjadi trend bangsa yang pernah merdeka selama enam puluh empat tahun ini. Dikatakan trend, karena hampir di berbagai institusi, terutama insitusi pemerintah, KKN ini merupakan sesuatu yang sudah mendarahdaging. Bukan hanya itu, disiplin bangsa makin longgar, tindak kriminal dan tindak kekerasan semakin meningkat. Bangsa Indonesia seolah sedang main drama yang menampilkan aksi anarchisme, premanisme yang tumbuh subur seiring dengan semakin minim jumlah lapangan pekerjaan yang tidak sebanding dengan jumlah pengangguran yang semakin hari semakin bertambah.

Di kalangan remaja, khususnya pelajar dan mahasiswa, problem yang sering ditemui, antara lain, mereka dengan mudah terpengaruh oleh budaya asing, gampang terprovokasi dan marah sehingga seringkali dijumpai tawuran antarpelajar dan antarmahasiswa. Mereka juga banyak terlibat dalam penyalahgunaan obat-obat terlarang, termasuk pemakaian dan pengedaran narkoba yang didaulat sebagai “barang haram”. Bahkan, pergaulan remaja yang dikategorikan sebagai “penyimpangan sosial” dalam istilah psikologi remaja benar-benar telah menjelma dalam kehidupan masyarakat tanpa rasa risih. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa perilaku pelajar dan mahasiswa sudah banyak yang terjebak dalam dunia hitam yang ditabukan masyarakat timur. Misalnya, pergaulan lawan jenis tanpa terikat tali perkawinan, seks bebas (free sex), hamil di luar nikah hingga aborsi seolah telah melengkapi nestapa bangsa yang diprakarsai oleh anak-anak manusia sebagai calon pengganti generasi tua. Para pelajar dan mahasiswa bahkan terkesan kurang hormat kepada guru-dosen, bahkan terhadap orang tua mereka sendiri.

Fenomena dan realitas bangsa Indonesia ini merupakan ilustrasi generasi anak bangsa yang berada dalam wilayah split personality (keutuhan pribadi yang terancam) (Alim, 2006: 1).
Di samping itu, Muhaimin (2007: 18) menambahkan bahwa masyarakat Indonesia sudah cenderung mengarah pada gesellschaft (masyarakat kepentingan/patembayan) yang telah meninggalkan gemeinschaft (nilai-nilai masyarakat paguyubanan) sehingga yang tampak di permukaan timbulnya konflik berbagai kepentingan, baik kepentingan individu, kelompok, agama, etnis, politik, maupun kepentingan lainnya.

Menurut berbagai hasil kajian, segala macam krisis itu berpangkal pada krisis akhlak (‘azmah al-akhlâq). Krisis akhlak ini, secara langsung atau tidak berkaitan dengan masalah pendidikan. Kontribusi pendidikan dalam konteks ini terutama dalam upaya pembangunan mentalitas manusia yang merupakan out-put-nya. Oleh karena itu, menurut beberapa pengamat, krisis tersebut antara lain disebabkan oleh kegagalan pendidikan agama. Mungkin orang bertanya, apakah selain faktor pendidikan masih ada faktor lain yang memunculkan krisis-krisis tersebut?
Beberapa pengamat lain mengatakan bahwa ketergantungan masyarakat terhadap produk-produk teknologi modern yang semakin kuat. Hal ini mengindikasikan adanya pergeseran nilai-nilai esensial yang akan mengubah pola pikir dan pola hidup masyarakat menjadi konsumtif dan memuja gaya hidup hedonistik-materialistik. Gaya hidup semacam ini akan membawa seseorang merasa telah menjadi “segala-galanya” manakala mampu mengkonsumsi atau memakai atribut-atribut yang berbau asing, termasuk barang-barang bermerek terkenal kelas dunia (xenophilia). Konsumerisme ini menjadi sebuah kebanggaan yang selanjutnya menjadi tumpuan rasa harga diri yang kurang proporsional. Penilaian terhadap seseorang terbatas pada physicly yang mewah (Alim, 2006: 2). Pemandangan seperti ini begitu akrab sebagaimana yang sering disaksikan dalam berbagai acara sinetron di televisi.

Memang ironis, bangsa yang agamis dengan harapan menggapai negara yang baldah thayyibah wa rabbun ghafûr ini ternyata telah dijejali dengan budaya-budaya yang tidak bermutu, budaya yang tidak memiliki rasa malu, dan budaya yang belum memiliki budaya kerja baik di kalangan para pemimpinnya maupun kalangan masyarakatnya. Kondisi inilah yang berpengaruh terhadap sistem pendidikan dan proses pendidikan di sekolah dan perguruan tinggi.

Azra (2003) tampaknya setuju dengan pendapat tersebut. Tetapi, ia menambahkan bahwa krisis-krisis di kalangan masyarakat Indonesia selain mewabahnya gaya hidup hedonistik-materialistik, juga karena lemahnya penegakkan hukum atau negara lembek (soft state), semuanya dapat diatur dengan cara “salam tempel” atau money politic (sogok menyogok). Di samping itu, kurang adanya political will dan keteladanan dari para pejabat publik untuk memberantas KKN dan penyakit sosial lainnya. Karena itulah, Azra kurang setuju agama secara simplistis dijadikan sebagai kambing hitam munculnya berbagai krisis di kalangan masyarakat Indonesia.

Terlepas dari kritik Azra itu, yang jelas pendidikan agama memiliki andil dalam menyuguhkan berbagai krisis tersebut, termasuk krisis moral tadi. Jika demikian, maka ada something wrong dalam pendidikan agama. Bukankah pendidikan, termasuk pendidikan agama, secara teologis bertujuan membentuk pribadi-pribadi yang bertakwa? Dari sinilah perlu ada rumusan yang jelas tentang definisi pendidikan agama, orientasi pendidikan agama, termasuk di dalamnya menyusun kurikulum yang relevan, metode, pendekatan dan evaluasinya. Inilah latar belakang perlunya redefinisi dan reorientasi pendidikan agama di Perguruan Tinggi Umum (PTU).

Tulisan ini menjelaskan tentang masalah-masalah tersebut dengan harapan dapat memberi secercah harapan bagi pengembangan pendidikan agama di Perguruan Tinggi Umum (PTU).

Realitas Pendidikan Agama di PTU

Pendidikan Agama di PTU secara umum masih berada di pinggiran (marjinal), meskipun secara ideal dan semboyan mata kuliah agama berada di “pusat”. Berkaitan dengan ini, nilai mata kuliah agama sering mendapat predikat “nilai dongkrakkan” dan tidak menentukan bobot kelulusan akademik, sebagaimana mata kuliah-mata kuliah lain. Jika nilai agama terlalu rendah dan karena itu mahasiswa tidak lulus, maka nilai agama itu didongkrak agar mahasiswa yang bersangkutan lulus. Di beberapa perguruan tinggi di bagian timur Indonesia, pengajaran agama disejajarkan dengan pengajian di majlis ta’lim (Rahawarin, 2006: 7). Kesan marjinalisasi mata kuliah agama itu dikukuhkan dengan oleh sebagian para pimpinan perguruan tinggi yang menganggap mata kuliah agama sebagai mata kuliah pelengkap. Perkuliahan agama biasanya dilaksanakan secara masal dalam jumlah mahasiswa yang “overload” dalam satu ruangan yang diikuti oleh mahasiswa dari berbagai fakultas dan jurusan dengan alasan efisiensi.

Nasib mata kuliah agama tidak hanya sampai di situ, akibat rasio jumlah mahasiswa yang tidak ideal dan proporsional, mahasiswa tidak dapat diperhatikan lagi. Bahkan, perkuliahan agama ditempatkan pada semester pendek yang hanya dilakukan beberapa pertemuan saja, hanya untuk menghilangkan kesan sebagai perguruan tinggi yang sekuler. Menurut Muhammad Alim (2006: 2), ada beberapa perguruan tinggi yang justeru menghilangkan perkuliahan agama.

Di samping itu, materi mata kuliah agama terasa belum mampu berperan sebagai sumber pengembangan iptek dan pedoman perilaku keseharian, baik dalam kerja sebagai ilmuwan maupun dalam pergaulan sosial. Materi kuliah agama dipelajari secara parsial dan lepas kaitannya dengan mata kuliah-mata kuliah lainnya. Dengan kata lain, mata kuliah agama belum menunjukkan link and match dengan mata kuliah-mata kuliah lain (Mastuhu, 1999: 68).

Dampak dari marjinalisasi mata kuliah agama itu, standar kompetensi dosen kurang diperhatikan. Dalam kaitan ini, dosen agama sering mendapat predikat “cepat minggir dan parkir”. Sebaliknya, jika ada kekuarangan moral segenap civitas akademika, tuduhan justeru sering diarahkan kepada dosen agama. Masa depan dan karir dosen agama tampak masih belum prospektif. Di beberapa perguruan tinggi, masih jarang dosen agama lulusan S2 atau S3. Bahkan banyak di antara mereka belum memiliki gelar akademik, kecuali pengalaman dan pengetahuan agama, yang sebenarnya tidak memiliki kewenangan untuk mengajar.

Beberapa pengamat justeru melihat bahwa orientasi pendidikan agama memang sudah jauh dari idealisme pendidikan agama yang dapat membentuk manusia saleh. Harun Nasution (1995) mensinyalir bahwa pendidikan agama hanya diberikan dalam konteks “pengajaran” semata.
Dalam terminologi Mohtar Bukhari (1992), pendidikan agama itu hanya berorientasi pada aspek kognitif semata dan mengabaikan pembinaan aspek-aspek apektif dan konatif-volitif (kemauan dan tekad untuk mengamalkan nilai-nilai ajaran Islam). Dari sinilah terjadi kesenjangan antara pengetahuan dan pengalaman, antara gnosis dan praxis dalam kehidupan nilai agama. Pendapat serupa dikemukakan oleh Komarudin Hidayat dalam Fuadudin Hasan Bisri (1999), demikian juga Maftuh Basyuni (2004).

Dalam bahasa berbeda, M. Amin Abdullah (1998) menyebut pendidikan agama dalam dunia pendidikan Islam di Indonesia pada umumnya lebih terkonsentrasi pada persoalan-persoalan teoritis keagamaan yang bersifat kognitif, dan kurang concern terhadap persoalan-persoalan bagaimana mengubah pengetahuan agama yang kognitif menjadi “makna” dan “nilai” yang perlu diinternalisasikan dalam diri peserta didik melalui berbagai cara, media dan forum. Dalam bahasa yang sederhana, realitas pendidikan agama masih berorientasi to have Religion daripada Being Religious Oriented?

Dilihat dari segi metodologi, mata kuliah agama belum banyak yang diintrodusir oleh sisi-sisi rasionalitas ajaran agama. Pada umumnya mata kuliah agama diberikan segi tradisionalnya dan terkesan adanya pengulangan-pengulangan dengan tingkat sebelumnya, sehingga mata kuliah agama tidak diterima sebagai sesuatu yang hidup dan responsif dengan kebutuhan mahasiswa dan tantangan zaman. Hal ini, antara lain, disebabkan belum adanya kejelasan pembagian kerja dan kurikulum pengajaran agama di tingkat-tingkat sebelumnya dan perguruan tinggi. Dengan demikian, modal dasar pengetahuan agama mahasiswa beragam, dan mutu dosen masih perlu ditingkatkan (Mastuhu, 1999: 68). Furchan (1993) menambahkan bahwa penggunaan metode pembelajaran agama masih menggunakan cara-cara pembelajaran tradisional, normatif ahistoris dan akontektual.

Di sisi lain, Towaf (Muhaimin, 2007: 25) menambahkan bahwa kompetensi tenaga pengajar yang minim dapat menghambat pendidikan agama di perguruan tinggi. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa banyak tenaga pengajar yang kurang mampu melakukan elaborasi, inovasi dan kreasi materi yang sebenarnya dapat didialogkan dengan konteks sosial budaya, tetapi justeru kembali mengajar dengan menggunakan sistem tradisional-normatif.

Berdasarkan penjelasan tersebut, maka realitas pendidikan agama masih sangat memprihatinkan baik dari segi pengertian pendidikan yang disalahartikan, orientasi, kurikulum yang terbatas pada aspek normatif dan kurang menyentuh realitas, materi dan muatan yang belum jelas, metodologi yang parsial, dan dosen yang kurang mendapatkan perhatian dari lembaga pendidikan bersangkutan. Hal ini perlu dicarikan solusi untuk memecahkannya.

Pendidikan Agama di PTU: Pengertian, Tujuan dan Landasan

Dalam tulisan ini Pendidikan Agama merujuk pada pengertian yang dikemukakan Ahmad Tafsir (2004) ketika membedakan antara Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Islam. Pendidikan Agama Islam merupakan upaya mendidikkan agama Islam atau ajaran Islam dan nilai-nilainya agar menjadi way of life seseorang. Pendidikan agama dengan demikian, dapat berwujud: (1) segenap kegiatan yang dilakukan seseorang untuk membantu para peserta didik dalam menginternalisasikan dan menumbuhkembangkan ajaran agama (Islam) dan nilai-nilainya agar dijadikan sebagai pandangan hidupnya yang diwujudkan dalam sikap hidup dan keterampilan hidupnya sehari-hari; (2) segenap fenomena atau peristiwa perjumpaan antara dua orang atau lebih (guru dan peserta didik) yang dampaknya berupa penanaman dan penumbuhkembangan ajaran agama (Islam) dan nilai-nilainya pada salah satu atau beberapa pihak, (Muhaimin, 2007: 8). Pendidikan Agama dalam pengertian ini sejajar dengan Pendidikan Matematika, Pendidikan Biologi dan seterusnya.

Di dalam Kurikulum Pendidikan Agama di PTU dan UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, pendidikan agama merupakan usaha sadar untuk menyiapkan peserta didik dalam meyakini, memahami, menghayati dan mengamalkan ajaran agama melalui kegiatan bimbingan, pengajaran dan atau pelatihan dengan memperhatikan tuntutan untuk menghormati agam lain dalam hubungan kerukunan antarumat beragama dalam masyarakat untuk mewujudkan persatuan nasional. Berdasarkan pengertian pendidikan agama yang tertuang dalam kurikulum PTU dan UUSPN tersebut, pendidikan agama yang diselenggarakan di PTU diharapkan dapat membentuk kesalehan peserta didik baik kesalehan pribadi maupun kesalehan sosial, sehingga pendidikan tidak menumbuhkan semangat fanatisme, menumbuhkan sikap intoleran di kalangan mahasiswa dan masyarakat Indonesia dan memperlemah kerukunan hidup beragama serta kesatuan nasional. Dalam konteks masyarakat Indonesia yang pluralistik memang sangat rentan munculnya konflik dan perpecahan masyarakat, sehingga pendidikan agama dalam kalangan mahasiswa, dapat dipandang sebagai pisau bermata dua, menjadi faktor pemersatu sekaligus faktor pemecah belah. Fenomena semacam ini, menurut Muhaimin (2007: 77) paling tidak, akan ditentukan oleh: (1) teologi agama dan doktrin ajarannya, (2) sikap dan perilaku pemeluknya dalam memahami dan menghayati agama tersebut, (3) lingkungan sosio-kultural yang mengelilinginya, dan (4) peranan dan pengaruh dosen yang mengarahkannya.

Jadi, tujuan pendidikan agama yang diberikan pada mahasiswa secara umum dalam rangka membentuk pribadi-pribadi yang saleh, baik saleh kepada Tuhan maupun saleh kepada sesamanya. Dalam konteks ini, pendidikan agama ingin membentuk mahasiswa agar menciptakan kebaikan baik untuk dirinya maupun untuk masyarakatnya, baik berkaitan dengan aspek ibadah maupun muamalah, baik urusan pribadi maupun uruan publik, yang implikasinya dapat menciptakan negara yang baldah thayyibah wa rabbun ghafûr. Tujuan ideal pendidikan agama tidak lain menciptakan pribadi yang saleh, membentuk calon anggota masyarakat yang berbudi luhur, dan mencetak calon-calon pemimpin yang memiliki kepribadian yang penuh tauladan.

Tujuan pendidikan agama tersebut sangat ideal dalam membentuk karakter (character building) para mahasiswa yang tidak semata-mata landasan teologis, tetapi dilandasi oleh tiga landasan, yaitu dasar yuridis, dasar religius dan dasar psikologis. Dasar yuridis terdiri dari: (1) dasar ideal Pancasila (sila pertama), (2) dasar struktural atau konstitusional UUD 1945 pasal 29 ayat 1 dan 2, (3) dasar opersional Tap MPR No. II/MPR/1993 tentang GBHN, bahwa pelaksanaan pendidikan agama secara langsung dimaksudkan dalam kurikulum sekolah-sekolah formal, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. Dasar religius, antara lain QS. Al-Nahl/16: 125, Ali Imran/3: 104, dan hadis Nabi s.a.w.: “sampaikanlah ajaran kepada orang lain walaupun hanya sedikit saja.” Sedangkan dasar psikologis didasarkan bahwa dalam kehidupannya manusia dihadapkan pada hal-hal yang membuat hatinya tidak tenang dan tidak tenteram akibat dari rasa frustasi, konflik dan kecemasan sehingga memerlukan adanya pegangan hidup (agama).
Berdasarkan landasan penyelenggaraan pendidikan agama di perguruan tinggi, maka pendidikan agama sesuai UUSPN No. 2/1989 pasal 39 ayat 2, merupakan usaha untuk memperkuat iman dan ketakwaan terhadap Tuhan YME sesuai dengan agama yang dianut para peserta didik, (Muhaimin, 2004: 75; Shaleh, 2005: 15). Mata kuliah pendidikan agama di perguruan tinggi merupakan bentuk penyelenggaraan dalam upaya pencapaian tujuan pendidikan nasional, yaitu mengembangkan manusia Indonesia seutuhnya, manusia yang beriman kepada Tuhan YME dan berbudi pekerti luhur, mempunyai pengetahuan dan keterampilan, kesehatan jasmani dan rohani, kepribadian yang mantap dan mandiri serta memiliki rasa tanggung jawab kemasyarakatan dan kebangsaan (Alim, 2006: 7).

Kurikulum Pendidikan Agama di PTU: Prinsip-prinsip dan Muatan Kurikulum

Tujuan dan landasan pendidikan agama tersebut, akan lebih gamblang jika sudah tertuang dalam kurikulum dan silabus kurikulum. Tidak mudah memang mendefinisikan kurikulum, karena masing-masing mendefinisikan dari perspektif dan penekanan tertentu oleh masing-masing pembuat definisi. Secara umum, pendefinisian kurkulum dapat dilihat dari tiga landasan filosofisnya. Menurut aliran perrenialisme dan essensialisme, kurikulum lebih ditekankan pada isi pelajaran atau mata kuliah, dalam arti sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh untuk mencapai ijazah, termasuk dalam UUSPN No. 20/2003. Penekanan kurikulum yang menekankan pada aspek isi bertolak dari asumsi bahwa masyarakat bersifat statis, sedangkan pendidikan berfungsi memelihara dan mewariskan pengetahuan, konsep dan nilai yang telah ada baik nilai insani maupun nilai ilahi, yang disusun secara sistematis oleh kelompok ahli tanpa melibatkan guru/dosen apalagi mahasiswa.

Bagi aliran progresivisme dan eksistensialisme, kurikulum lebih ditekankan pada proses atau pengalaman bertolak dari asumsi bahwa peserta didik sejak dilahirkan telah memiliki potensi-potensi, baik potensi untuk berpikir, berbuat, memecahkan masalah, belajar dan berkembang sendiri. Pendidikan berfungsi menciptakan situasi atau lingkungan yang menunjang perkembangan potensi-potensi tersebut. Karena itu, kurikulum dikembangkan dengan bertolak pada kebutuhan dan minat peserta didik. Materi ajar dipilih sesuai dengan minat dan kebutuhan mahasiswa. Posisi guru atau dosen hanya sebagai psikolog yang memahami segala kebutuhan dan masalah peserta didik. Pengembangan kurikulum dilakukan oleh guru dan dosen dengan melibatkan mahasiswa (Muhaimin, 2007: 4).

Selain dua aliran tersebut, muncul aliran yang berusaha mensinergikan pandangan dua aliran sebelumnya yang disebut aliran rekonstruksi sosial. Aliran ini berusaha menekankan kurikulum, baik pada isi maupun proses pendidikan atau pengalaman belajar sekaligus. Aliran ini berasumsi bahwa manusia sebagai makhluk sosial dalam kehidupannya selalu membutuhkan manusia lain, selalu hidup bersama, berinteraksi dan bekerja sama. Melalui penghidupan bersama itulah manusia dapat hidup, berkembang dan mampu memenuhi kebutuhan hidup dan memecahkan masalah yang dihadapi. Pendidikan bertujuan membantu peserta didik menjadi cakap dan selanjutnya mampu ikut bertanggung jawab terhadap pembangunan dan pengembangan masyarakatnya. Berdasarkan asumsi tersebut, maka isi pendidikan terdiri dari problem-problem aktual yang dihadapi dalam kehidupan nyata di masyarakat. Proses pendidikan dan pengalaman belajar peserta didik berbentuk kegiatan belajar kelompok yang mengutamakan kerja sama, baik mahasiswa maupun dosen. Oleh karena itu, penyusunan kurikulum atau program pendidikan bertolak dari problem yang dihadapi dalam masyarakat sebagai isi pendidikan.

Adanya berbagai aliran, termasuk aliran yang mensinergikan dua aliran lainnya, menunjukkan bahwa dalam pengembangan kurikulum harus memperhatikan aspek relevansi (relevansi pendidikan dengan lingkungan peserta didik, relevansi pendidikan dengan kehidupan sekarang dan akan datang dan relevansi pendidikan dengan perkembangan iptek), efektivitas dan efisiensi, kontinuitas (kesinambungan) dan fleksibilitas (Ahmad, 1998: 65-70). Berdasarkan prinsip-prinsip tersebut, kurikulum tidak harus bersifat statis, tetapi bersifat dinamis. Bahkan, yang paling penting kurikulum dan isi pendidikan tidak harus bersifat indoktrinasi. Sejauh ini belum ada kurikulum baku yang dapat dipedomani untuk pendidikan agama di perguruan tinggi umum, sehingga sulit diidentifkasi untuk mengukur apakah kurikulum tersebut sudah relevan dengan tujuan pendidikan agama atau tidak.

Terlepas dari itu semua, mengacu kepada tujuan UUSPN No. 2/1989 mengenai penyelenggaraan pendidikan agama di perguruan tinggi, maka muatan kurikulum pendidikan agama untuk PTU paling tidak dapat meliputi: (1) al-Quran dan Hadis sebagai sumber ajaran, (2) keimanan sebagai basis segala perbuatan manusia, (3) akhlak sebagai sistem nilai, dan (4) masalah-masalah kemanusiaan. Empat aspek ini merupakan materi umum bagi pengembangan materi-materi lainnya. Materi-materi ini, sesuai prinsip dan asas kurikulum bukan mengulang materi yang sudah dipelajari dan dialami di tingkat-tingkat sebelumnya, melainkan lebih dikembangkan pada aspek-aspek yang lebih bersifat filosofis dan mengarah pada wilayah-wilayah partisipatoris, sebagaimana dapat dilihat dalam metodologi pendidikan agama.

Indonesia yang tengah terjangkit penyakit sosial begitu menahun seperti KKN, misalnya, kurikulum yang dikembangkan tidak terbatas pada materi mencuri (syirqah), sebagaimana dalam fikih selama ini. Materi ini harus dikembangkan dengan melibatkan ilmu sosial, ilmu politik, etika, dan lain-lain. Sebab, budaya KKN bukan terjadi secara tiba-tiba dan instan dengan sebab yang sepele. Tindakan anarchisme, free sex, tawuran atarpelajar dan mahasiswa atau premanisme dan seterusnya, bukan semata-mata masalah ekonomi. Hal ini sangat berkaitan dengan keteladanan, kemiskinan, tingkat pendidikan, akhlak, politik dan sebagainya, sehingga mengajarkan agama tidak cukup ilmu agama, tetapi bagaimana mendialektikakan fenomena-fenomena tersebut dengan realitas empiris, sehingga agama bukan dijadikan satu-satunya faktor yang disalahkan ketika terjadi berbagai krisis tersebut.

Oleh karena itu, pendidikan agama harus mencakup pula masalah-masalah kontemporer yang urgen di masyarakat, seperti multikulturalisme, pluralisme, HAM, demokrasi, dan sebagainya. Di saat bangsa Indonesia sedang meratap akibat sering munculnya tindak kekerasan dalam rumah tangga, sangat wajar jika feminisme dan jender menjadi bagian dari bahasan pendidikan agama.

Mencari Metodologi yang Relevan: Paradigma Sistemik-Organism

Kurikulum sebaik apapun tidak akan dapat terealisasi dengan baik tanpa didukung oleh metodologi yang tepat. Beberapa hal yang pelu dicatat, bahwa dalam studi agama tidak ada pemisahan antara istilah “pendidikan” dan “pengajaran”. Keduanya merupakan satu kesatuan integral, hanya dapat dibedakan, tetapi tidak dapat dipisahkan. Pengajaran merupakan strategi untuk mengaktualkan pendidikan, sedangkan pendidikan merupakan suatu nilai (value) yang terus berjalan agar dapat diwujudkan. Pendidikan harus diprogramkan ke dalam target-target atau level-level tertentu, seperti diwujudkan dalam rencana-rencana pelajaran, cara-cara mengajar, praktikum, dan percobaan-percobaan. Inilah yang disebut dengan “pengajaran” sebagai teknologi atau kiat merealisasikan pendidikan. Dengan demikian, dalam istilah pengajaran dapat dibuat terminal-terminal atau paket-paket yang harus dilalui sesuai dengan kebutuhan dan taraf anak didik. Oleh karena itu, pengajaran selalu dilandasi dengan nilai-nilai kependidikan dan kependidikan selalu diwujudkan melalui kegiatan pengajaran. Hal ini dapat dilihat, misalnya, sekolah boleh selesai dan boleh dipenggal-penggal menjadi beberapa jenjang, tetapi belajar tidak pernah selesai sekalipun seorang telah menyelesaikan pendidikan S3 (Mastuhu, 1999: 74).

Dalam melaksanakan metodologi pendidikan dan pengajaran agama harus dipergunakan paradigma holistik, yaitu memandang kehidupan sebagai satu kesatuan, mulai sesuatu yang konkret dan dekat dengan kepentingan hidup sehari-hari sampai dengan hal-hal abstrak dan transendental. Dengan kata lain, materi pelajaran agama harus selalu terintegrasi dengan disiplin ilmu umum, dan ilmu umum harus disajikan dalam paradigma nilai agama. Dalam kaitan ini menarik pandangan Muhaimin (2007: 31), bahwa pendidikan agama untuk era sekarang sangat relevan jika memilih paradigma organism atau sistemik. Paradigma ini merupakan antitesis dari paradigma dikotomis dan paradigma mechanism. Menurut paradigma dikotomis, pendidikan agama seolah hanya mengurusi persoalan ritual dan spiritual, sedangkan kehidupan ekonomi, politik, sosial, budaya dianggap sebagai urusan dunaiwi (sekuler). Paradigma dikotomis berimplikasi terhadap pengembangan pendidikan agama yang hanya mengurusi masalah-masalah keakhiratan, sedangkan masalah keduniaan dianggap tidak penting. Pendekatan yang digunakan lebih bersifat keagamaan normatif, doktriner dan absolutis. Para peserta didik (mahasiswa) diarahkan untuk menjadi aktor yang loyal, militan, memiliki sikap komitmen dan pengabdian terhadap agama yang dipelajari. Sedangkan kajian-kajian keilmuan yang bersifat empiris, rasional, kritis, dianggap dapat menggoyahkan iman, sehingga perlu ditutup oleh pendekatan yang normatif dan bersifat indoktrinasi. Kasus-kasus tindak terorisme yang terjadi belakangan ini di Indonesia, dimungkinkan akibat penggunaan pendekatan indoktrinasi ini.
Paradigma kedua mekanisme yang memandang bahwa kehidupan terdiri dari berbagai aspek dan pendidikan dipandang sebagai penanaman dan pengembangan seperangkat nilai kehidupan yang masing-masing bergerak dan berjalan menurut komponen dan elemen-elemen yang masing-masing menjalankan fungsinya, tidak saling berkonsultasi. Relasi hanya sebatas lateral-sekuensial, berarti masing-masing mata kuliah mempunyai relasi sederajat. Paradigma tersebut masih umum di berbagai lembaga pendidikan tinggi umum, yang di dalamnya diberikan perangkat mata kuliah yang di dalamnya mata kuliah agama hanya diberikan 2 hingga 3 mata pelajaran per minggu dan diposisikan sebagai mata kuliah MKDU dalam rangka pembentukan kepribadian yang religius.

Adanya paradigma mechanism ini sering memunculkan berbagai ketegangan di kalangan peserta didik (mahasiswa), terutama jika pendidikan agama dan pendidikan umum saling memaksa kebenaran pandangannya. Ketika pandangan agama mendominasi pikirannya, terkadang ada kecenderungan berikap fatalistik, pasif dan statis. Jika pengetahuan umum mendominasi pikirannya, maka ada kecenderungan untuk bersikap split of personality sebagaimana yang terjadi di Indonesia akhir-akhir ini, seperti KKN, anarkhisme, free sex, homoseksual, tawuran massal, dan lain-lain. Menurut Muhaimin (2007: 39), paradigma mechanism menerapkan pola relasi horizontal lateral dan lateral sekuensial.

Paradigma pertama dan kedua masih menyimpan resistensi, sehingga ada tawaran paradigma ketiga, yaitu paradigma sistematik-organism. Paradigma ini secara umum menjelaskan sistem pendidikan itu harus mengintegrasikan nilai-nilai ilmu pengetahuan, nilai-nilai agama dan etik serta mampu melahirkan manusia yang menguasai dan menerapkan ilmu pengetahuan dan teknologi serta seni, memiliki kematangan profesional dan sekaligus hidup di dalam nilai-nilai agama. Pendidikan Agama di Perguruan Tinggi Umum, menurut Keputusan Dirjen Dikti Depdiknas RI Nomor: 38/DIKTI/Kep/2002 tentang Rambu-rambu Pelaksanaan Mata Kuliah Pengembangan Kepribadian di Perguruan Tinggi, merupakan salah satu mata kuliah kelompok pengembangan kepribadian (MPK). Misi mata kuliah tersebut menjadi sumber nilai dan pedoman bagi penyelenggaraan program studi dalam mengantarkan peserta didik mengembangkan kepribadiannya. Sedangkan misinya membantu peserta didik agar mampu mewujudkan nilai dasar agama dalam menerapkan ilmu pengetahuan teknologi dan seni yang diuasainya dengan rasa tanggung jawab kemanusiaan. Berdasarkan visi dan fungsi pendidikan agama di PTU, maka secara konseptual pendidikan agama di PTU dikembangkan ke arah paradigma organisme. Akan tetapi, realitas di lapangan PTU pada umumnya masih berkutat pada paradigma dikotomis atau mekanisme.

Dalam rangka mengimpelementasikan paradigma organisme itulah, maka dalam pembelajaran perlu dipergunakan model penjelasan yang rasional, di samping pelatihan dan keharusan melaksanakan ketentuan-ketentuan doktrin spiritual dan norma peribadatan. Model penjelasan yang rasional, misalnya, digunakan dalam menjelaskan rukun iman yang enam. Selain itu, masih perlu mengembangkan pemikiran-pemikiran rasional, kreatif, inovatif, dan provokatif dalam mempelajari agama. Di samping itu, perlu digunakan teknik-teknik pergumulan pembelajaran partisipatori. Pergumulan berarti mahasiswa aktif menggunakan permasalahan dan bertanggung jawab akan pemecahan masalah dengan ikut serta merasakan dan mengamalkannya. Hal ini dapat melalui kisah-kisah atau cerita yang terjadi dalam kitab suci, seolah-olah mahasiswa ikut terlibat secara aktif sebagai perilaku.

Pembelajaran berarti melibatkan ketiga komponen dalam proses belajar: dosen, mahasiswa dan civitas akademika. Partisipatori berarti mahasiswa sendiri yang belajar; mengidentifikasi masalah, mengonsepkan pemecahan dan mengambil keputusan. Hal ini dapat dilakukan secara kolektif dalam satu forum atau dengan cara berkonsultasi dengan berbagai ahli. Bahkan, perlu digunakan model pendekatan empirik untuk melengkapi model deduktif. Upaya untuk menghadirkan iman dalam kehidupan, selain melalui pendekatan wahyu, manusia harus menerima-berhadapan dengan hukum alam ciptaan Tuhan. Hal itu dapat pula melalui pendekatan antropologis, dari pengalaman empirik ke alam transendental. Di sini manusia dihargai sebagai mahluk yang mampu mengakhirinya, manusia lebih menghargai “penghargaan” daripada “hadiah”, dan lebih menghargai nilai daripada materi, manusia mendambakan keabadian (Mastuhu, 1999: 75).

Berkaitan dengan evaluasi, sangat bergantung pada jenis tes. Jika yang akan dites berkaitan dengan kemampuan dasar (aptitude), maka digunakan penilaian acuan norma (PAN). Jika yang akan dites berkaitan dengan prestasi belajar (achiavement), maka digunakan penilaian acuan norma (PAP). Jika yang akan dites berkaitan dengan kepribadian (personality), maka digunakan penilaian acuan etik. Pendidikan agama banyak berkaitan dengan masalah ini. Jika guru/dosen hanya mengacu pada PAP dan PAN dalam melakukan penilaian, maka hasil pendidikan akan seperti yang disinyalir pada bagian pendahuluan. Pendidikan hanya berkutat pada to have religion dengan angka 80 (A), sedangkan being religious ternyata kosong dan nol besar.

Simpulan

Dalam rangka reorientasi pendidikan agama di Perguruan Tinggi Umum (PTU), maka orientasi tidak hanya sebatas to know religion tetapi harus menonjolkan being reiligious. Pendidikan agama sendiri bertujuan untuk membentuk kesalehan individu dan kesalehan sosial. Being religious inilah yang dimaksudkan dalam tujuan pendidikan sebagai pembentukan kesalehan. Oleh karena itu, kurikulum pendidikan agama harus berorientasi juga pada konstruktivisme sosial dengan mengembangkan kajian-kajian yang menyentuh kebutuhan sosial masyarakat. Metodologi pengajaran tidak melulu content oriented dengan pendekatan tradisional yang dilaksanakan secara terpisah-pisah, tetapi dilaksanakan dengan pendekatan partisipatoris-induktif dan holistik. Evaluasi tidak terbatas pada PAP (Penilaian Acuan Patokan) atau PAN (Penilaian Acuan Norma), bila perlu menggunakan PAE (Penilaian Acuan Etika).

Daftar Pustaka

Abdullah, M.A. (1998). ”Problem Epistemologis-Metodologis Pendidikan Islam”, dalam Mulkhan, A.K., et al. Religiusitas Iptek. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ahmad, M. (1998). Pengembangan Kurikulum. Bandung: Pustaka Setia.
Alim, M. (2006). Pendidikan Agama Islam: Upaya Pembentukan Pemikiran dan Kepribadian Muslim. Bandung: Rosdakarya.
Azra, A. (2003). Agama dan Pemberantasan Korupsi. Harian Umum Kompas, September.
Furchan, A. (1993). “Developed Pancasilaist Muslim: Islamic Religions Education In Public School in Indonesia.” Disertasi Doktor tidak dipublikasikan, La Troble University Bundoora Victoria, Australia.
Mastuhu. (1999). Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bukhari, M. (1992). “Posisi dan Fungsi Pendidikan Agama Islam dalam Kurikulum Perguruan Tinggi Umum,” makalah, yang dikutip oleh Muhaimin. 2007. Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo.
Muhaimin. (2004). Paradigma Pendidikan Islam: Upaya Mengefektifkan Pendidikan Agama di Sekolah. Bandung: Rosdakarya.
Muhaimin. (2007). Pengembangan Kurikulum Pendidikan Agama Islam di Sekolah, Madrasah dan Perguruan Tinggi. Jakarta: RajaGrafindo.
Rahawarin, Y. (2006). Pendidikan Agama di PTU: Mata Kuliah Agama dalam Dilema. Makalah, Ambon.
Shaleh, A. R. (2005). Pendidikan Agama dan Pembangunan Watak Bangsa. Jakarta: RajaGrafindo.
Tafsir, A. (2004). Cakrawala Pemikiran Pendidikan Islam. Bandung: Mimbar Pustaka.


M. Karman, dosen Fakultas Tarbiyah IAIN Ambon. E-mail: mamankarman@yahoo.co.id

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

No Response to "REORIENTASI PENDIDIKAN AGAMA DI PERGURUAN TINGGI UMUM"

Posting Komentar