Jumat, 19 Februari 2010

PAHALA DAN HUKUMAN

Categories:

Metode Pendidikan Islam
bagi Penghapusan Korupsi

Penulis : Moh. Sulhan


Abstrak

Didaktika Islamika - Serious problem faced up by Indonesian community is korruption. Recently corruption grew up widely in any sectors of life. Not only money hustle but also grow more scare fully caused due to contaminate in all attitudes, behaviors, values, mental and cultures which are called corrupted mind. It’s Ironic Matter and miserable. As a psychological disease can bring social chaos and abuse of power particularly in country where Islam is religion hold by majority of people in this country. To respond this critical problem, Islamic education offers “reward and punishment”, new method as an alternative to solve the problems as ethical review on corruption practices recently in Indonesian community.

Kata Kunci: korupsi, pendidikan Islam, metode hukuman dan pahala.


Pendahuluan

Pendidikan Islam, jika dilihat dari sumbernya Al-Quran dan As Sunnah, dapat disejajarkan dari kehendak agama Islam, sebagai agama kemanusiaan yang membawa misi pembebasan dan keselamatan. Islam hadir di muka bumi dalam rangka memberikan moralitas baru bagi transformasi sosial. Islam diyakini oleh para pemeluknya sebagai sumber moral, dikarenakan karakteristik Islam yang metafisik dan humanis. Islam tidak saja membawa ajaran yang menekankan pada aspek vertikal, pengabdian ilahiyyah, tetapi juga aspek sosial-horizontal. Mohammad Imarah (1996: 13-22) melihat watak Islam seperti ini, sebagai konsekwensi dari Islam yang hadir untuk memberi pemecahan terhadap problem realitas (al Islam huwa al hal). Islam, menurutnya, adalah ajaran yang bersumber dari Tuhan dan berorientasi kemanusiaan. Atas dasar seperti ini, Islam adalah agama yang tidak hanya agama yang membawa wahyu Tuhan, melainkan juga agama yang menjunjung tinggi kemanusiaan.

Pendidikan Islam agaknya, tetap memiliki momentum untuk unjuk peran dalam problem umat kekinian, sebagai sumber nilai yang diderivasi dari ajaran pokok Islam. Pendidikan Islam dipahami para ahli memiliki fungsi starategis bagi upaya menciptakan struktur masyarakat yang adil dan sejahtera. Pesan startegis yang dibawa oleh ajaran Islam ini, disebut Fazlur Rahman (1992: 123) sebagai nilai penting yang diperjuangkan Islam sebagai agama yang peduli pada problem kemanusiaan. Atas alasan ini, Islam akan tetap diterima sebagai sumber pedoman hidup yang sejalan dengan perjalanan sejarah umat manusia.

Kekayaan nilai dan perhatian Islam yang demikian baik pada persoalan kemanusiaan, menempatkan pendidikan Islam sebagai harapan masa depan. Khususnya sebagai landasan nilai untuk bersikap dan bertindak, agar manusia tidak terjebak pada kesesatan dan buramnya kehidupan. Noeng Muhadjir (1996: 20-30) secara teosentris humanis melihat pendidikan Islam menjadi harapan untuk masa depan kemanusiaan. Pendidikan Islam menurutnya, merupakan pendidikan yang dijiwai oleh nilai-nilai akidah dan moral Qurani, dan diterapkan pada semua level dan jenjang serta jenis pendidikan. Asumsi dasarnya adalah, bahwa nilai-nilai moral yang dikandung dalam Al-Quran dan Sunah Rasul memiliki sifat yang unggul, kompetitif, dan universal terhadap nilai moral yang selama ini berkembang dan diterapkan dewasa ini.

Keyakinan akan keunggulan nilai yang diusung oleh pendidikan Islam ini, desebabkan karena luasnya cakupan, ajaran, tradisi, dan dimensi yang disentuh oleh pendidikan Islam. Pendidikan Islam mengikat fungsi spiritual yang merupakan kebutuhan dasar umat dalam menemukan keutamaan akidah, keyakianan, dalam menuju hakikat, dan tujuan hidup manusia. Fungsi pendidikan ini memberikan jawaban atas problem spiritualitas, guna menemukan kebenaran dan makna hakiki kehidupan. Psikologi manusia yang seringkali dihadapkan pada ketidaknyamanan ontologis (ontological insecurity), psimisme dan penyakit psikologis (psychological maladjustment), secara klinis juga menjadi bagian menarik yang menjadi perhatian dan tujuan pendidikan Islam. Bagaimana manusia berprilaku, menyesuaikan sikap, akhlak dengan lingkungan, baik sebagai individu maupun sosial secara preskripsi diatur jelas dalam pendidikan Islam. Manusia tidak berdiri sendiri, tetapi ia terikat oleh lingkungannya. Oleh sebab itu manusia harus memerhatikan lingkungan dimana ia berpijak. Aspek sosial dan fungsi pendidikan Islam itu, mengatur hubungan manusia satu dengan lainnya, anggota masyarakat satu dengan lainnya, mengatur hak dan tanggung jawab antar warga di dalam kehidupan masyarakat (Langgulung, 1980: 12-24).

Dengan kata lain, tujuan pendidikan Islam adalah bagaimana mewujudkan aspek psikologis, spiritual dan sosial berdasar nilai dan petunjuk ajaran Islam. Ia bukan sekedar nilai normatif semata, tetapi bagaimana tujuan tersebut memberi sifat (nilai) pada setiap usaha manusia (Marimba, 1962: 45-6). Ada usaha-usaha yang tujuannya luhur dan mulia. Untuk itu pendidikan Islam memberikan sifat agar tindakan manusia memiliki nilai yang tinggi dan mulia. Keseimbangan dari seluruh aspek kehidupan merupakan ciri dari kurikulum pendidikan, yang secara umum menonjolkan tujuan agama dan akhlak pada berbagai tujuan, kandungan, dan metodenya. Luasnya cakupan pendidikan Islam dan menyeluruh isi kandungannya, merupakan inti kurikulum yang mencerminkan semangat, pemikiran, ajaran yang komprehensif. Seluruh aspek perkembangan, kepribadian, intelektual, psikologis, spiritual dan sosial mendapat perhatian yang sama (Saibani, 1979: 476). Desain kurikulum pendidikan Islam seperti ini, diyakini akan menciptakan pribadi yang mantap untuk kehidupan saat ini, dan yang akan datang (Ahmad, 1981: 7-20). Pendidikan Islam akan menjadi rujukan sebagai etika kehidupan (Abdalati, 1981: 23) basis nilai yang mantap untuk membina generasi, agar memiliki komitmen berbuat dan bertindak sesuai dengan ajaran Islam.

Dari konstruksi pemikiran dia atas, setidaknya ada hal menarik yang dapat menjadi pijakan bersama, guna mengasumsikan pendidikan Islam sebagai salah satu instrumen untuk ikut memberikan pemecahan terhadap problem riil keumatan, yang membawa dampak pengaruh sangat luas, yaitu penyimpangan atau perilaku korupsi. Ketertarikan tersebut didasari atas alasan sebagai berikut. Pertama, respon masalah aktual ini merupakan wujud komitmen Pendidikan Islam pada problem realitas. Kedua, menguji kekayaan nilai dan pengajaran yang selama ini digambarkan para ahli Pendidikan Islam. Ketiga, Mengembangkan kajian Pendidikan Islam yang bertumpu pada masalah sosial kekinian, sebagai sumber argumen baru, untuk pengayaan konsepsi dan teori Pendidikan Islam.

Pendidikan Islam saatnya disinggungkan dengan realitas yang melingkupi kehidupan. Munculnya kasus-kasus korupsi yang menjerat para politisi, birokrasi, pejabat publik akhir-akhir ini menjadi sumber pudarnya kepercayaan masyarakat pada penyelenggara negara. Masalah terbaru mengenai kasus perseteruan KPK dan POLRI disinyalir karena masalah korupsi. Kasus Bank Century yang sedang menjadi perhatian publik, juga syarat penyimpangan keuangan. Dimulai dari proses dan berlangsungnya pemilu 2009 yang diikuti 38 partai nasional dan 6 partai lokal Aceh (44 partai) masih tak lepas dari masalah politik uang. Bahkan ketika partai sedang menjual citra dirinya, malah didapati anggotanya yang dijerat Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ini adalah masalah mendasar yang perlu dicermati. Pendidikan Islam punya momentum untuk ambil bagian dalam proses pembersihan dari penyimpangan kekuasaan. Mengabaikan fakta ini, sama saja dengan penghinaan nilai luhur yang selama ini dianut dan diajarkan dengan sungguh-sungguh. Sebaliknya, menjaga nilai luhur manusia dan komitmen pada nilai keadilan dan kemaslahatan manusia adalah perwujudan pengabdian pada Tuhan. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah, bagaimanakah pendidikan Islam memberikan kontribusi bagi basis rujukan etis atas praktik korupsi? Bagaimanakah metode Pendidikan Islam dalam meminimalisir praktik korupsi yang sudah menjalar demikian kritisnya? Sebagai komitmen pada tujuan kurikulum dan karakteristik ajaran sesuai dengan pemikiran Islam, pendidikan Islam kiranya dapat memberikan panduan etis, atas problem korupsi yang selama ini menjadi keprihatinan bersama.

Problem dan Antologi Korupsi

Korupsi dapat dilihat dari berbagai modus, yang prinsipnya berangkat dari penyimpangan kekuasaan atas aturan hukum atau norma-norma yang berlaku. Teten Masduki (2004: 78-85; 87-90) mendefinisikan korupsi sebagai pemikiran untuk berkuasa dengan cara merampas, mencuri, merampok, menjilat, atau menyuap. Perilaku korupsi dan penyimpangan kekuasaan, menjadi problem akut yang sekarang ini menjadi penyakit kronis yang menggerogoti seluruh dimensi kehidupan. Korupsi dilakukan tidak saja pada birokrasi-kekuasaan, pusat bisnis, partai, lembaga-usaha, bahkan sampai pada lembaga pendidikan dan keagamaan. Gejala ini nampaknya sudah sampai pada taraf yang nyaris mustahil disembuhkan. Berbagai penelitian menunjukkan bahwa korupsi sudah demikian mengakar dalam sistem, dan bahkan dalam nilai-nilai budaya yang cenderung membenarkan tindakan haram tersebut. Hal ini terlihat dari pesimisme dan sekaligus sinisme yang berkembang di masyarakat ketika isu ini menjadi topik perbincangan.

Ragam korupsi terjadi dan menjelma dalam berbagai bentuk. W.F. Wertheim (1965) menyebut diantaranya: (1) penyuapan, (2) pemerasan, (3) nepotisme. Dalam terminologi ajaran Islam mirip dengan (1) risywah, yang dimaknai oleh Azumardi Azra (2000: 3) dengan suap. Menurutnya, pola seperti ini akan mengacaukan manajemen organisasi, lembaga pemerintah, karena relasi yang terjadi bukan pada standar mutu, tetapi jumlah nominal tertentu. Alasan inilah dalam tradisi Islam sering menyebut harfiah suap dengan al-birthil, yang berarti ‘batu bulat jika dibungkamkan ke mulut seseorang ia tidak dapat berbicara apa pun’ (M. Al Azhuri III/I). Suap membungkam seseorang dari kebenaran (A’la, 2004: 181-2). (2) Ghulul (penipuan), menurut Masdar F. Mas’udi (2001: 13) dapat terjadi kepada seseorang yang diberi amanah tertentu, diupah dengan harga tertentu, meminta biaya tambahan sebagai imbalan terhadap orang yang menggunakan jasa pada bidang yang menjadi otoritasnya. (3) Ulama mutakhirin mengidentikan dengan syariqoh, yaitu pencurian, penjarahan, dimana dengan wewenang yang dimiliki, Ahl zimmah, penguasa mengambil kesempatan dengan menggunakan otoritas yang dimilikinya, mengambil keuntungan untuk memperkaya diri. Secara khusus syariq biasa merujuk pada pencurian tanpa hak, yang dilakukan seseorang, lembaga atau penguasa.

Penyimpangan yang membawa pengaruh yang sangat luas ini harus secepatnya dibenahi. Korupsi biasa terjadi akibat rendahnya perilaku kekuasaan dan rendahnya kontrol diri, pengawasan, yang menyebabkan penyimpangan. Akibat akut dari kontrol diri yang lemah ini, banyak orang, pejabat yang ramai-ramai menjarah uang yang seharusnya ia kelola untuk memakmurkan masyarakatnya. Kwik Kian Gie menyatakan bahwa korupsi harus di berantas. Pemberantasan korupsi yang diistilahkan KKN, harus menjadi prioritas utama, karena kalau mengabaikan ini, apa pun yang dilakukan untuk memperbaiki bangsa ini tidak akan optimal. KKN adalah akar dari segala praktek permasalahan bangsa yang sedang kita hadapi dewasa ini. KKN is the root of all evil (2003: 1). Perilaku korupsi selain menciptakan kesulitan hidup masyarakat, mengacaukan manajemen organisasi/pemerintah, menghilangkan kepercayaan publik, lambat laun juga akan membentuk sikap mental, nilai, budaya, pola pikir, dan tindakan seseorang yang disebut corrupted mind.

Budaya korupsi, kolusi, nepotisme pada dasarnya berpusat pada kultur politik yang menjadi struktur birokrasi kekuasaan (Asy’ari, 2001: 66; 2005), tetapi ini juga berlaku bagi siapa saja yang bermental korup. Budaya korupsi, menurut Robert Klitgard (2001: 123) bisa juga berlaku bukan saja, pada setiap orang yang melakukan korupsi, tetapi juga diperparah gejala, kebanyakan orang yang enggan melaporkan koruptor. Laporan UNDP 2001 yang dipresentasikan pada 20 Oktober 2001, menyebutkan bahwa korupsi disektor publik itu dianggap lazim oleh 75% responden. Ini diperparah oleh temuan lainnya bahwa 45% dari repsponden bukan hanya menduga tentang praktik korupsi, tetapi terlibat secara langsung dalam praktik ini. Terutama menyangkut pejabat daerah. Dari 40% responden yang telah melihat korupsi, kurang dari 10% yang dilaporkan. Responden rumah tangga menempati prosentase tertinggi dalam hal tak melaporkan kasus korupsi (98%). Penelitian ICW (Indonesian Corruption Watch), sebanyak 43,7% responden tak melaporkan korupsi, 29,9% menegur, dan 26% melaporkan.

Pengawasan dan kontrol masyarakat yang minim, menyebabkan korupsi menyebar ke segala penjuru. Waterbury menyebut tiga hal penyebaran utama masalah ini; (1) korupsi epidemis, berhubungan dengan kegiatan pemerintahan, menyangkut perizinan, menyangkut penegakan hukum, pelayanan dan sebaginya, (2) korupsi terencana, berhubungan dengan politik, penyimpangan anggaran (mark up, duplikasi, fiktif), (3) korupsi pembangunan, berkait dengan peningkatan usaha rumah tangga, seperti pengusaha, export, import, produsen, penyalur, dan sebagainya.

Dalam pasal 2 dan 3 UU No. 31/1999, menyebutkan bahwa tindakan seseorang disebut korupsi, apabila memuat beberapa unsur berikut : (1) bertentangan dengan hukum, (2) memperkaya diri sendiri atau orang lain/lembaga tertentu, (3) merugikan keuangan negara, (4) menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau lembaga tertentu, (5) menyalahgunakan kewenangan, kesempatan, dan sarana karena jabatan atau kedudukan.

Menurut Suparno, “Korupsi terjadi karena disebabkan lemahnya mental agama pelaku, kolusi, lemahnya pengawasan masyarakat dan pemerintah, dan lemahnya manajemen serta administrasi” (Kompas, 11 Maret 2003). Hal ini ditambah dengan lemahnya peraturan perundang-undangan dan penegakan hukum. Korupsi dewasa ini dapat terjadi kapan pun dan di mana pun. Di legislatif, misalnya dalam pembuatan kebijakan (DPD, DPRD, DPR, MPR, BPD). Korupsi pada eksekutif bisa terjadi, misalnya dalam pelaksanakan kebijakan (RT, RW, desa, kelurahan, kabupaten, kecamatan, kota madya, propinsi, pemerintah pusat, BUMN, BUMND), sekolah, rumah sakit, kepolisian, militer, departemen, dan lain-lain. Korupsi di Yudikatif sangat erat terkait dengan lembaga peradilan (kejaksaan, pengadilan, Mahkamah Agung, Badan Pengawas, Dirjen hingga BPK). Pada kehidupan swasta juga terjangkit persoalan korupsi, misalnya badan, industri kecil, menengah, besar. Organisasi politik dan kemasyarakatan; seperti parpol, ormas, OKP, yayasan, kelompok kerja, LSM dan lain-lain.

Sementara jika diamati, pelaku korupsi dapat dilakukan siapa saja yang menyalahgunakan wewenang, penyuapan, penggelapan, penipuan, dan pemerasan. Korupsi juga dapat dilakukan oleh anggota BPD, DPRD, DPR, MPR, RT, RW, camat, kepala desa, bupati, walikota, gurbernur, presiden, direktur, dan bawahan-bawahannya. Pelaku korupsi yang paling ramai di lembaga peradilan, yang melibatkan jaksa, hakim, terdakwa, pengacara dan sebagainya.

Teten Masduki (2001: 15) menyebutkan penyalahgunakan kekuasaan saat ini makin menyebar dan dilakukan orang yang memegang kekuasaan. Ciri-ciri pelaku biasanya: (1) memiliki jabatan atau wewenang, (2) dilakukan secara sembunyi-sembunyi, (3) berlindung dibalik pembenahan hukum, (4) melanggar norma masyarakat, (5) melibatkan beberapa orang yang memiliki jabatan dengan timbal balik keuntungan dan (6) korbannya adalah masyarakat dan negara.

Sesuatu yang sangat menyedihkan, Indonesia yang jumlah penduduknya 210 Juta Jiwa, mayoritasnya (80%) adalah pemeluk agama Islam, namun masalah korupsi pada peringkat nomor satu. Besarnya pemeluk Islam yang mayoritas ini, belum sejalan dengan harapan dan cita-cita Islam membentuk masyarakat adil, etis, egaliter, yang memiliki keamanan ontologis, baik secara individu maupun masyarakat. Jumlah besar pemeluk agama ini masih belum disertai kualitas, sehingga agama gagal dalam menjadi basis nilai untuk menunjang pembangunan. Malah sebaliknya, agama hanya sebagai tirai yang cenderung dimanipulasi. Korupsi di negeri kaum beragama, adalah satire bagi legitimasi keagamaan. Adakah korupsi itu identik dengan iman? Padahal nalar sehat mafhum, tak mungkin iman yang tulus dan ikhlas menerima korupsi. Ini jelas faktor kemunafikan semata.

Saatnya mengambil pelajaran penting, pendidikan Islam berbicara dan fokus pada masalah realitas. Bagaimana Pendidikan Islam menjadi nilai penting sebagai pengalaman individu, penunjang akhlak sosial, sehingga akrab sebagai pengalaman sehari-hari. Jika pendidikan Islam berkutat pada persoalan normatif, spiritualitas semata, akan menuai kegagalan dalam tingkat implementasi. Akibatnya, hiprokasi, kemunafikan menjamur sebagai penyakit mental yang sulit disembuhkan. Fenomena belakangan ini, muncul orang bagus dari sisi luar, fisik, tetapi sebenarnya ia sakit, hina, karena mengorbankan hal yang paling asasi dari dirinya, yaitu kebaikan hatinya.

Inilah penyakit mental terbesar dasa warsa terakhir ini. Orang mengkhianati hati nuraninya. Manusia bohong pada diri sendiri, sehingga tidak aneh jika banyak orang merasa tak berdosa jika berbohong di depan publik. Demi kekuasan, uang dan kedudukan, apapun dikorbankan asal tujuan tercapai. Kondisi seperti ini akan menggiring pada wilayah yang sering disebut Syed Husain Al-Atas (1981; 1987) dengan sosiologi korupsi.

Amanah Kekuasaan

Islam adalah agama nilai, dimana ajarannya kaya akan petunjuk bagi umat manusia. Atas alasan ini Islam menyebut dirinya rahmatan lil ‘alamin, karena memang jika diterima sepenuhnya, nilai-nilai, aturan hukum, dan norma-norma yang dikandung ajarannya, akan menciptakan struktur masyarakat yang adil dan didasarkan pada etika (Rahman, 1996: 54).

Dalam hubungannya dengan masyarakat dan relasi diantara anggota masyarakat, prinsip persamaan, persaudaraan, musyawarah, kebebasan, dan keadilan harus diutamakan sebagai nilai-nilai yang membatasi, sekaligus menjadi acuan nilai di dalam masyarakat yang dibentuk oleh manusia. Dalam Islam ada istilah al-kulliyat al-khamsah yang terdiri dari: memilihara agama (hifz ad-dîn), menjaga keturunan (hifz al-nasl), memelihara kreativitas akal (hifd al-‘aql), menjaga keselamatan jiwa (hifd al-nafs), dan menjaga hak milik (hifd al-mâl). Ini merupakan kaidah yang harus dihormati, sebagai sarana memelihara keseimbangan dalam interaksi anggota masyarakatnya, sehingga tidak ada kezaliman, menghisap, menindas, hegemoni dan semacamnya.

Untuk itu, ahli dzimmah, ahli amanah, penguasa dan siapa saja yang diberi atau menerima amanat dari anggota, masyarakat, atau lembaga, harus memelihara dengan sebaik-baiknya. Al-Qur’an menyebut dalam surat al-Nahl ayat 90, Allah berfirman: “Sesungguhnya Allah memerintahkan berbuat adil dan berbuat baik”. Begitu juga dalam surat an-Nisa ayat 58, Al-Qur’an menjelaskan: “Sesungguhnya Allah memerintahkan kepadamu untuk menyampaikan amanat kepada ahlinya”. Dari ayat di atas, ada dua kunci yang menjadi dasar nilai yang hendaknya ada pada seorang pemimpin, yaitu tuntutan untuk berbuat adil dan amanah.

Konsep amanah itu melebur dari komitmen pemimpin, baik dalam rasa atau perbuatannya. Sebagian ulama memberi tafsir amanah sebagai perasaan seseorang dengan segala perangainya pada setiap perkara yang diserahkan kepadanya, (Hamsiy, t.th.).

Sedangkan makna adil, sebagian mufasir menjelaskan makna adil sebagai ‘memberikan setiap hak kepada orang yang berhak menerimanya’. Pemaknaan ini lebih emansipatoris dari pendekatan konvensional yang menyebut adil sebagai ‘menempatkan sesuatu pada tempatnya’. Karena sering berlaku tidak demokratis, karena melihat sesuatu berdasarkan posisi dan kedudukan, tidak seimbang antara satu dengan yang lainnya.

Kedua konsep di atas, yaitu adil dan amanah, adalah dua hal yang memiliki nilai tinggi, sebagai rambu-rambu yang menjadi acuan pemimpin atau ahli amanah. Jika mengabaikan dua prinsip di atas, pemimpin akan menjadi sewenang-wenang, otoriter, dan hanya memerhatikan dirinya sendiri. Akibatnya, betapa banyak organisasi, lembaga, badan usaha, departemen, sampai negara yang jatuh terperosok dalam krisis yang berkepanjangan. Pangkalnya dari pemimpin atau ahli amanah yang tidak adil lagi amanah, (Sulhan, 2004: 151-171). Akibatnya, inefisiensi dimana-mana, lemahnya kualitas lembaga, etos kerja menurun, bahkan krisis kepemimpinan selalu terkait dengan tidak adanya komitmen yang tegas pada keadilan dan amanah. Praktik telanjang dari tidak adanya amanah dari kalangan pemimpin dapat disaksikan tiap detik di negeri ini.

Amanah dan adil, semua orang mudah mengingat, tetapi sulit diwujudkan dalam komitmen. Untuk hal ini harus dimulai menjadi kesadaran umum, membiasakan diri berbuat jujur, adil dan tidak menggunakan barang yang bukan menjadi haknya. Para pemegang amanah, sejak dini harus menyadari bahwa amanah itu nanti akan dimintai pertanggung jawabannya di hadapan Allah SWT. Salah satu Hadits riwayat Bukhori, Nabi menyebut bahwa, “Setiap kamu adalah pemimpin dan setiap kamu akan dimintai pertanggung jawabannya,” (HR Bukhari).

Pemimpin adalah abdi bagi umatnya. Pemimpin adalah pelayan masyarakatnya, karena umat yang memberi amanah. Umat yang memilih, untuk itu setiap kebijakan pemimpin harus mengacu kepada kemaslahatan umat. Kaidah fikhiyah menyebutkan ‘tasarraful imâm ala ra’iyyatihi manûtun bil maslahah; kebijakan seorang imam atau pemimpin harus mengacu pada kemaslahatan masyarakatnya’.

Jika pemimpin, masyarakat dan siapa saja mau mendengar suara hati, menggunakan mata dan telinga yang benar, maka tidak akan pernah ada cerita tentang penyimpangan, penyelewengan, korupsi, manipulasi, duplikasi atau proyek fiktif. Kasus-kasus seperti BUMN yang mencapai kerugian nyata sebesar 17.09 triliyun, yang menimpa PT DI, PT KAI, PT TASPEN, dan PT PUSRI adalah karena adanya biaya tinggi dan rendahnya mentalitas prilaku kekuasaan. Untuk itu saatnya untuk mendengar nasihat dari dalam diri manusia. Dalam surat Al-Isra ayat 36 diebutkan: “Sesungguhnya penglihatan, pendengaran dan hati, semuanya akan dimintai pertanggung jawaban”.

Jika semua ahli amanah, pemimpin, dan siapa saja yang memiliki komitmen pada suara hati, nilai-nilai Islam dan nasihat sekelilingnya, maka tidak ada lagi penyimpangan. Kekecewaan masyarakat yang memiliki hak, dapat diminimalisir sedemikian rupa. Karena kesewenang-wenangan seorang pemimpin sangat melukai hati nurani masyarakat. Nasehat ini harus menjadi renungan, guna mencapai tujuan pendidikan Islam, yaitu untuk memperoleh keamanan ontologis baik pada tingkat individu maupun masyarakat.

Pahala dan Hukuman: Metode Pendidikan Islam

Pahala dan Hukuman (at-targhib wa tarhib) adalah bentuk ancaman dan juga reward sebagai panduan etis untuk basis berperilaku. Dalam istilah lain sering disebut dengan carrot and stick. Metode ini menjadi pilihan alternatif ketika metode yang lebih halus tidak sanggup memberikan pemecahan terhadap problem kehidupan manusia. Muhammad Qutub (1984) mengatakan: “Bila teladan dan nasihat tidak mampu, maka pada waktu itu harus diadakan tindakan tegas yang dapat meletakan persoalan di tempat yang benar. Tindakan itu adalah hukuman”.

Islam menggunakan seluruh teknik pendidikan, tidak membiarkan satu jendelapun yang tidak dimasuki untuk sampai ke dalam jiwa. Islam menggunakan contoh teladan dan nasihat, serta pahala dan hukuman, tetapi disamping itu juga menempuh cara dengan menakut-nakuti dan mengancam dengan berbagai tingkatannya dari ancaman sampai pada pelaksanaan ancaman itu. Di dalam Al-Qur’an, hukuman biasa dikenal dengan nama “adzab” yang diulang sebanyak 373 kali (Baqy, tt: 450). Jumlah yang besar ini menunjukkan perhatian Al-Qur’an yang amat besar terhadap masalah hukuman ini. Ini berarti sekaligus meminta perhatian umat manusia.

Sedangkan kata pahala dalam Al-Qur’an disebut dalam kata “ajrun” yang diulang sebanyak 150 kali dan ini tentu jumlah yang cukup besar. Berkaitan dengan hukuman ini, misalnya dijumpai ayat-ayat yang artinya: “Bila kamu tidak patuh, seperti dulu kamu pernah tidak patuh Dia akan menghukummu dengan siksaan yang pedih” (Q.S. 48 :16), “Bila kamu tidak berangkat untuk berperang niscaya Allah akan menyiksa kamu dengan siksaan yang pedih dan menggantimu dengan bangsa lain”, (Q.S. 9: 74), “Bila mereka tidak patuh, maka Allah akan menghukum mereka dengan hukuman yang pedih di dunia dan di Akhirat (Q.S. 9: 74), “Laki-laki dan perempuan yang berzinah, masing-masing deralah 100 kali”, (Q.S. 24: 24), “Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah olehmu kedua tangannya, sebagai balasan atas apa yang mereka kerjakan”, (Q.S. 5: 38).

Ayat-ayat tersebut selain mengakui keberadaan hukuman dalam rangka perbaikan umat manusia, juga menunjukkan bahwa hukuman itu tidak diberlakukan kepada semua manusia, melainkan khusus kepada manusia yang melakukan pelanggaran saja. Manusia yang seperti ini, biasanya sudah sulit diperbaiki hanya dengan nasihat dan keteladanan, melainkan harus lebih berat lagi, yaitu hukuman.

Berdasar pada pendapat Muhamad Qutub, dan juga argumentasi pada ayat di atas, maka metode pendidikan Islam yang tepat bagi penyimpangan atau perilaku korupsi adalah melalui ancaman dan hukuman. Hukuman ini menjadi sarana ancaman bagi para pelaku korupsi dengan segala derivasinya baik dalam bentuk syariq, ryswah atau ghulul. Dalam surat Al Maidah ayat 38, Al-Qur’an menyebut: “Laki-laki dan perempuan yang mencuri, potonglah kedua tangannya olehmu sebagai balasan terhadap apa yang mereka kerjakan”, (Q.S. Al Maidah: 38). Sabda Nabi: “Orang-orang terdahulu itu binasa karena bila seorang pejabat mencuri atau menjarah, mereka membiarkannya saja, namun bila yang mencuri rakyat kecil, maka ditegakkan hukum atasnya, (H.R. Bukhari dan Muslim).

Ancaman terhadap ryswah sangat jelas disebut dalam surat Al-Baqarah: 188. Allah berfirman: “Dan janganlah sebagian kamu memakan harta sebagian yang lain diantara kamu dengan jalan yang bathil, dan janganlah kamu membawa urusan harta itu kepada hakim, supaya kamu dapat memakan sebagian dari harta benda orang lain dengan cara berbuat dosa, padahal kamu mengetahui”. Sabda Nabi: “Allah mengutuk orang yang menyuap dan yang menerima suap”, (H.R. Ahmad); “Rasulullah SAW. melaknat orang yang menyuap dan menerima suap”, (H.R. Imam Abu Daud dan Al Tirmidzi); “Orang yang menyuap dan yang disuap, Neraka tempatnya”, (Al Hadits).

Ancaman penipuan (ghulul) nampak dari sabda Nabi, dari riwayat Makil bin Ya’sar r.a., berkata: “Aku pernah mendengar Rasulullah SAW. bersabda, ‘barang siapa ditaklifkan Allah untuk memimpin rakyatnya, lalu mati dalam keadaan menipu rakyatnya, niscaya Allah mengharamkan surga padanya,’” (H.R. Bukhori).

Dari Khaulah Al Anshoriyah r.a., katanya: “Saya mendengar Rasulullah SAW bersabda, ‘Sesungguhnya orang-orang yang menggunakan harta orang-orang muslim secara bathil, bagi mereka adalah api Neraka di akhirat,’” (H.R. Bukhari).

Sabda Nabi diriwayatkan dari Urwah bin Murah, berkata kepada Muawiyah, sesunguhnya saya mendengar Rasulullah SAW bersabda: “Tidaklah seorang pemimpin mengunci pintunya sehingga orang-orang yang mempunyai kepentingan, kefakiran, dan kemiskinan menjadi terhalang, kecuali Allah akan mengunci pintu-pintu langit, sehingga ia terhalang kepemimpinannya, kefakirannya, dan kemiskinannya”. Maka Muawiyah menjadi pemimpin yang berada di atas keperluan-keperluan manusia (H.R. Timidzi). Dari riwayat Aisyah r.a., Rasulullah bersabda: “Ya Allah, semoga orang yang mengurusi umatku, lalu mereka memberatkan mereka, maka beratkanlah dia. Dan barang siapa mengurusi urusan umatku lalu menyayangi mereka, maka sayangilah dia,” (H.R. Muslim).

Haramnya ghulul terlihat juga dalam Lu’lu’ wal Marjan dimana Nabi berdiri di hadapan para sahabat menerangkan tentang ghulul. Hadis tersebut berbunyi: “Berdiri Nabi di hadapan kita berbicara tentang ghulul dan besar dosanya, ‘Jangan sampai aku bertemu dengan salah satu dari kalian di hari Kiamat, di punggungnya kambing yang sedang mengembek, pada pundaknya kuda yang sedang beker’. Mereka berkata: ‘Tolonglah saya ya Rasulullah?’ Jawab Nabi, ‘Saya tak ada kuasa apa-apa padamu, saya sudah sampaikan kepadamu berita (ghulul). Orang yang di pundaknya unta yang sedang bersuara beker’. ‘Tolonglah aku ya Rasulullah?’ Jawab Nabi, ‘Aku tak punya kuasa padamu suatu apa pun. Sudah kusampaikan berita (ghulul) kepadamu’”, (H.R. Bukhori).

Sementara hadis dari Ibnu Hamid As-Saidi, tentang haramnya menerima hadiah dari pekerjaan. Dapat dilihat berikut ini. Katanya, “Nabi menugaskan seorang laki-laki dari Bani As’at yang disebut Ibnu Al Lutiyah untuk mengambil zakat, kemudian setelah kembali ia berkata kepada Nabi: ‘Ini untuk tuan dan ini diberikan kepadaku’, kemudian Nabi bangkit ke mimbar, Nabi menyebut puji Allah dan menyanjung-Nya lantas bersabda, ‘Apa-apaan tugas ini, aku utus kembali seraya berkata, ‘Ini untukmu dan ini diberikan kepadaku?’ Maka cobalah ia duduk saja di rumah orang tuanya (tidak menjadi petugas) dan mengandaikan ia diberi hadiah atau tidak? Demi Zat yang di tangan-Nyalah diriku, maka ia tidak mendapat apa-apa kecuali datang di hari kiamat dengan memikul di atas leher, kalaupun berupa unta, sapi atau kambing yang semuanya meringkik.’ Kemudian Nabi mengangkat kedua tangannya sampai kulihat putihnya ketiak beliau dan sabda Nabi, ‘Bukankan telah aku sampaikan?’” diulanginya tiga kali, (H.R. Bukhari).

Alasan yang paling mendasar kenapa Nabi melarang hadiah bagi pegawainya itu adalah kekuasaan. Hal ini terekam dari sabda beliau, “fahala jalasa fi baiti abihi…, dari sini juga dapat pula dijadikan dasar hukum, hibah atau hadiah aparat, para pejabat, pekerja, hakim dan lain-lain. Larangan hukum ini terjadi akibat indikasi tidak akan diberikan kecuali karena dijadikan alat bagi pemberinya untuk melemahkan hati orang yang diberi. Jika hati berhasil dikuasai, otomatis ia akan selalu memihak kepada pemberi. Hadis Nabi, riwayat Ahmad dan Bukhari dari Abu Hamid As-Saidi dari Abas dari Nabi SAW.: “Sesungguhnya Nabi SAW bersabda: ‘Hadiah-hadiah pada pejabat adalah pengkhianatan’”. Rasulullah menegaskan, dari riwayat Abu Ya’la dari Khuzaifah, Rasulullah bersabda: “Hadiah-hadiah para aparat (negara) haram hukumnya”.

Sementara dari hadis riwayat Ali r.a., Nabi bersabda: “Penerimaan hadiah oleh seorang penguasa adalah bentuk pengambilan barang haram dan penerimaan suap seorang hakim adalah bentuk kekufuran”.

Berdasarkan hadis-hadis tersebut, Umar bin Khattab memberi peringatan keras kepada para pegawainya, “Berhati-hatilah pada hadiah, karena hadiah termasuk suap”. Ungkapan ini disandarkan pada hadis dari Buraidah dari Rasulullah SAW. bersabda: “Barang siapa kami kerjakan untuk tugas tertentu dan kami telah memberinya rizki atau ongkos sebagai gaji tetap, maka apa pun yang diambil di luar ketentuan gaji itu adalah bentuk penghianatan (ghulul)”.

Sebaliknya, jika para pemegang amanah itu adil dan istiqomah terhadap tanggung jawabnya, baginya pahala yang baik dari sisi Allah. Firman Allah, “Mereka itu balasannya ampunan dari Tuhannya, dan Surga yang di dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya. Itulah balasan bagi orang-orang yang beramal (Q.S. 3: 135). Sabda Nabi pula, “Pemimpin adalah payung Allah di muka bumi, berlindung kepadanya orang-orang yang teraniaya dari hamba-Nya, jika adil baginya pahala, dan rakyat akan bersyukur, tetapi jika ia kejam, centang dan zalim, baginya dosa”, (H.R. Ibnu Majah).

Beberapa Hadis dan Firman Tuhan di atas, dapat dijadikan panduan etis dalam membina perilaku manusia dalam mengemban amanah kekuasaan. Untuk itu metode ini kiranya dapat dipromosikan sebagai kampanye anti korupsi, sekaligus sebagai kontribusi pemikiran pendidikan Islam dalam ikut membenahi praktik penyimpangan kekuasaan yang demikian luar biasa dampaknya bagi kehidupan secara keseluruhan. Sekaligus komitmen pendidikan Islam dalam merespon problem riil yang terjadi saat ini.

Simpulan

Dari pemaparan di atas dapat disimpulkan secara sederhana dalam dua catatan berikut ini.

1. Metode pendidikan Islam bisa meminimalisir penyimpangan dan praktik korupsi, melalui metode pahala dan hukuman. Cara ini merupakan pilihan, sebab metode cerita, keteladanan, nasihat, kisah-kisah, pembiasaan, ceramah dan diskusi, kurang membawa perubahan yang signifikan. Metode ancaman dan pahala menjadi pilihan terakhir, guna ikut meminimalisir perilaku korupsi yang sudah demikian membudaya, merasuk di berbagai lini kehidupan.
Keberadaan hukuman dan pahala diakui dalam Islam dan digunakan dalam rangka membina umat manusia melalui kegiatan pendidikan. Hukuman dan pahala ini diberikan kepada sasaran untuk pembinaan yang lebih khusus, yaitu hukuman untuk orang melanggar dan berbuat jahat, sedangkan pahala untuk orang patuh dan menunjukan perbuatan baik. Pahala dan hukuman menjadi semacam panduan etis bagi para pemangku jabatan, pekerja, dan para pemegang amanah yang mengurusi masalah publik.
2. Problem korupsi adalah problem mentalitas, problem akhlak dan problem lemahnya kontrol diri. Melalui metode pahala dan hukuman, pendidikan Islam dapat diperkenalkan sejak dini, menyangkut kekayaan tentang nilai, konsepsi dan antologi kekuasaan. Tujuan pendidikan Islam untuk membentuk kepribadian sempurna, sikap mental yang kokoh, memperbaiki budi pekerti sebagaimana dikampanyekan Hamid Affandi (1996), Athiyah (1978), Al-Ghazali atau Syed Ali Ashraf, dapat diwujudkan dalam tingkat implementasi, aktualisasi dalam setiap tindakan. Membentuk kepribadian total manusia yang tidak mudah terombang ambing, khususnya ketika berhadapan dengan kekuasaan. Perfect humanisme, istilah Edgar Faure (1972), manusia yang memiliki budi pekerti istilah Athiyah, memang perlu diperjuangkan guna mencapai struktur masyarakat bebas korupsi.


Daftar Pustaka

Abdalati, H. (1981). Islam dalam Sorotan. Anshari Thoyib (Pent.). Surabaya: Bina Ilmu.
Abrasiy, Al-, A. (1978). Dasar-dasar Pokok Pendidikan Islam. Jakarta: Bintang.
Affandi, M.H. “Nahwa Manhaji Islamiatin”, diindonesiakan dalam publikasi Jurnal Lektur, seri 4. 1996.
Ahmad, M.A.Q. (1981). Thuruq at Ta’lim at Tarbiyat al Islamiyat. Mesir: Maktab an Nahdlah al Misriyat.
Atas, Al-, S.H. (1981). Sosiologi Korupsi. Jakarta: LP3ES.
Atas, Al-, S.H. (1987). Korupsi: Sifat, Sebab, dan Fungsi. Jakarta: LP3ES.
A’la, R. (2004). ”Suap dalam Perspektif Islam”, dalam Korupsi di Negeri Kaum Beragama. Jakarta: P3M-Partnership.
Asy’ari, M. (2005). “Keluar dari Kemelut Multi Dimensi”, dalam Memerangi Korupsi. Jakarta: P3M.
Azra, A. (2000). Pendidikan Islam. Jakarta: Logos.
Burhan, AS. (Editor). (2004). Menolak Korupsi; Membangun Kesalehan Sosial. Jakarta: P3M.
Faure, E. et al. (1972). Learning To Be World of Education To Day and Tomorrow. London: UNESCO Press.
Gie, K.K. (2003). Pemberantasan Korupsi Untuk Meraih Kemandirian, Kemakmuran, Kesejahteraan dan Keadilan. Jakarta: tp. Edisi revisi, II.
Hamsiy, A. (t.th.). Al Quran al Karim al Bayan ma’a Asbab an Nuzul li as Suyuty. Beirut: Dar Fikr.
Imarah, M. (1996). Hal al Islam Huwa al Hall: Kaifa wa Limadza? Kairo: Dar al Shorouk.
Langgulung, H. (1980). Beberapa Pemikiran Tentang Pendidikan Islam. Bandung: Al Ma’arif.
Marimba, A.D. (1962). Pengantar Filsafat Pendidikan Islam. Bandung: Al Ma’arif.
Masduki, T. (2004). “Strategi Memerangi Korupsi”; “Gerakan Sosial Memerangi Korupsi; “Suatu Pilihan Mewujudkan Pemerintahan yang Bersih”, dalam Korupsi di Negeri Kaum Beragama. Jakarta: P3M-Partnership. hal. 78-85 dan 87-90.
Masduki, T. Orasi 100 Hari Hari Rusli. Bandung, 2 April 2005.
Mas’udi, M.F. “Syariah Islam tentang Uang Negara”, dalam Halaqah, Edisi 12 tahun 2001.
Mohadjir, N. (1996). “Pendidikan Islam untuk Kemanusiaan”, dalam Jurnal Lektur, Cirebon, LKPPI, IAIN Cirebon.
Qutb, M. (1984). Sistem Pendidikan Islam. Bandung: Ma’arif.
Rahman, F. (1992). Tema-Tema Pokok Al Quran. Bandung: Mizan.
Saibaniy, As., U.M.T. (1979). Falsafah Pendidikan Islam. Hasan Langgulung (Pent.). Jakarta: Bulan Bintang.
Sulhan, M. (2004). “Agama, Anggaran Publik, dan Gerakan Anti Korupsi”, dalam Memerangi Korupsi; Geliat Agamawan Atas Problem Korupsi di Indonesia. Jakarta: P3M-Partnership.
Suparno, P. “Pemberantasan Korupsi Lewat Pendidikan,” dalam Kompas, 11 Maret 2003.

Moh. Sulhan, dosen Fakultas Tarbiyah dan Keguruan UIN Sunan Gunung Djati Bandung. E-mail: Crisis5kng@yahoo.co.id.

Spread The Love, Share Our Article

Related Posts

1 Response to PAHALA DAN HUKUMAN

Posting Komentar